Minggu, Oktober 6, 2024

E-KTP, Lintah di Senayan, dan Alarm Keindonesiaan

Sebuah kabar buruk berhembus dari kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 6 Maret 2017, KPK mengumumkan sebuah dokumen dakwaan yang merincikan bahwa uang negara sebesar 2,3 Trilyun rupiah untuk membereskan karut-marut administrasi kependudukan, ditengah jalan telah dirompak dan dibagi-bagi ke kantong pribadi 24 orang pejabat negara.

Geliat nafsu itu semula terendus dari aroma tak sedap penyelenggaraan perjanjian konsorsium. KPK menaruh kecurigaan besar bahwa ada kongkalikong busuk atas nama pemerintah dan perusahaan pemenang tender proyek.

Tahun 2010, mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi dua kali diperingatkan melalui surat dari KPK. Seiring dengan itu prasangka negatif kepada proyek E-Ktp makin membubung ke atas. Puncaknya, Enam tahun setelah itu, KPK menetapkan mantan Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irwan sebagai tersangka.

Menyusul kemudian nama Sugiharto Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen yang diseret KPK menjadi terdakwa baru. Mereka berdua dijatuhkan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Menyaksikan borok ini, tentu saja imaji liar sipapapun tak dapat dibendung. Saya lalu meracau, bagaimana jika uang dengan jumlah yang segar itu ditukar untuk membeli bahan sembako bagi warga Yahukimo di Papua yang hari ini masih merenggang nyawa karena kelaparan.

Apa terjadi, kalau uang seaduhai itu digunakan untuk membiayai operasi para penderita Hidrosefalus yang sedang tak berdaya di rumah menanti ajal. Saya dalam delusi mulai berandai-andai semisal bapak ibu saya kecipratan sedikit saja uang itu, barangkali adek saya tidak harus membenturkan kepala di tembok untuk berburu mencari beasiswa agar bisa lanjut kuliah.

Persoalan-persoalan tadi merupakan sebuah penanda bahwa uang E-ktp lebih dari senilai uang , seperti apa yang ada di dalam pikiran nista kita. Para bandit itu bukan saja telah mengambil harta milik negara. Tetapi ada sesuatu disana – yang dalam narasi besar keadilan – kita menyebutnya sebagai nasib. Ruang hidup banyak manusia yang telah disesaki oleh kebengisan, dan keserakahan hingga akhirnya mereka dilemahkan kemudian mati.

Jadi, skandal E-Ktp merupakan musibah kemanusiaan. Ada ancaman serius terhadap hidup para segelitir manusia yang tak memiliki. Pandangan kita perlahan mulai gelap dengan berfikir : bukankah dengan uang trilyunan itu, negara (pemerintah) sebetulnya bisa membeli ratusan peti peluru untuk dipakai menghamburkan seluruh isi kepala dari para si pencuri ?

Terjadi suap di senayan

Sejumlah Anggota DPR dinyatakan terlibat di dalam kejahatan korupsi skandal E-KTP. Gedung parlemen menjadi laboratorium proses rencana jahat tersebut. Persisnya, uang sebagai belanja modal sebesar 11 persen dari nilai total proyek E-KTP dipasok ke senayan sebagai uang suap untuk memperlancar “ketuk palu” pelaksanaan proyek.

Berita ini sebenarnya tidak begitu mengejutkan , bahkan bisa dikata tak seberapa. Mengingat sesuatu fakta bahwa benih-benih koruptif memang sudah sejak lama tumbuh disana. Gedung miring di senayan pun sudah memiliki makna sejalan dengan laku dari para penghuninya.
Jargon moralis yang kerap di ucapkan oleh mulut mereka . Sama sekali tak dapat mengubah cara pandang kita bahwa, negara sedang berada dibawah kangkangan para linta penghisap darah.

Akal sehat mereka terlanjur digantung pada kursi-kursi kekuasaan yang sekarang mereka duduki. Sementara rakyatnya menjadi tebusan. Padahal untuk disadari, bahwa sejauh yang dinikmati itu adalah milik rakyat. Sedikit apapun itu, angkara murka tetap akan hidup seterusnya dan selalu menjadi ingatan rakyat yang selalu terjaga.

Rakyat yang lain boleh saja lupa dan tertipu, tetapi tidak bagi yang lain. Rakyat yang lain boleh saja menepuk tangani para elit-elit yang korup. Tetapi harga sebuah negara tak bisa ditukarkan dengan apapun. Mereka inilah yang tetap memilih untuk mengepalkan tangan-tangan kepada penguasa.

Netizen Reminder

Rakyat kecil yang tidak memiliki akses politik dan alat pemukul untuk melakukan intervensi dan memberikan hukuman pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Situasi ini menjadikan persoalan korupsi sulit untuk digagalkan.
Sikap apatis pada bahaya yang jelas-jelas yang mengancam bukanlah sesuatu yang terpuji. Agenda pemberantasan korupsi yang gencar dilakukan oleh pemerintah harus mendapat-paling tidak dukungan- penetrasi yang kuat dari rakyatnya sendiri.
Meskipun di titik ini, belumlah pantas untuk menyebutkan bahwa agenda anti korupsi pemerintah, bukanlah ruang yang hampa atas kepentingan. Penyelesaian korupsi di Indonesia masih saja terkonsentrasi pada segelintir tangan-tangan pemilik kekuasaan. Dan dijadikan semacam kontestasi politik.
Oleh karena itu belum cukup hanya dengan menyerahkan bulat-bulat kepada negara. Sebab tidak hanya negara, rakyat lah yang menanggung seluruh beban atas perbuatan korupsi para penyelenggara negara. Hari-hari ini kita tahu bahwa, tidak ada satupun yang luput dari praktik-praktik korupsi.
Tidak akan betul-betul selesai. Jika warga negara tidak mengambil peran sebagai lokomotif perubahan. Maka dampak kepada pencari keadilan di negeri ini juga tidak akan kemudian terberi. Kisah seperti petani kendeng yang meminta keadilan justru yang akan semakin mencuat di negara ini.
Dalam keadaan yang seperti ini, Mohammad sobary mengingatkan kita bahwa ada alarm yang berbunyi ; Negara indonesia kita sedang sekarat. Ia hampir mati bagi orang-orang kecil tetapi gegap gempita bagi orang-orang yang punya kekuasaan dan rakus.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.