Jumat, April 19, 2024

Dunia Pendidikan dan Perangkat Lunak Bajakan

Febty Febriani
Febty Febriani
Seorang peneliti di lembaga pemerintah yang mencintai dunia menulis. Bisa dikontak melalui febty82@gmail.com

Anak pertama saya yang sekarang duduk di kelas 4 SD minta ditemani untuk mengerjakan tugas mata pelajaran Teknologi Informasi dan dan Komunikasi (TIK) dari sekolahnya. Saat mengajarkan beberapa rumus melalui mata pelajaran TIK, gurunya menggunakan Excel.

Karena komitmen pribadi yang dipicu oleh perkataan seorang senior di kantor, saya dan suami sejak 2008 memang berkomitmen untuk menggunakan perangkat lunak yang legal, bukan bajakan. “Kita itu muslim. Mendirikan sholat. Namun, juga menggunakan perangkat bajakan. Padahal itu sama dengan mencuri.” Begitulah kira-kira ucapan senior saya saat itu.

Karena sebagian besar komputer dan laptop yang ada di rumah saya menggunakan Linux, maka saya mengajarkan anak pertama saya terkait penggunaan rumus dengan menggunakan WPS Spreadsheet. WPS Spreadsheet ini adalah perangkat lunak yang legal yang fungsinya sama dengan Microsoft Excel.

Saat mengajarkan penggunaan beberapa rumus di WPS Spreadsheet ini, timbul pertanyaan menggelitik di kepala saya. Bisakah pendidikan ikut berkontribusi dalam pengurangan penggunaan perangkat lunak di Indonesia?

Persoalan perangkat lunak bajakan di negeri tercinta ini mungkin sama dengan persoalan ayam dan telur. Manakah yang duluan, ayam atau telur? Begitu juga dengan perangkat lunak bajakan, dari titik yang manakah persoalan ini akan bisa diselesaikan?

Kalau dari sisi ayamnya apakah kita akan menyalahkan begitu banyaknya perangkat lunak bajakan yang dijual di Indonesia, baik di yang dijual secara offline atau online? Atau kalau dari sisi telurnya, apakah kita akan menyalahkan ada banyak pengguna perangkat lunak bajakan ini? Siapakah yang bersalah? Penjual atau pembelinya? Sepertinya pertanyaan ini tidak akan menemukan jawabannya.

Nampaknya persoalan maraknya penggunaan perangkat lunak bajakan ini bisa menyentuh kepada banyak aspek. Aspek pertama kemungkinannya adalah ketidakmampuan kita menghargai hasil karya orang lain. Aspek yang lain adalah bisa juga karena ketidaktahuan kalau perangkat lunak yang digunakan selama ini adalah perangkat lunak bajakan. Toh, selama ini kita juga mengeluarkan uang untuk membeli perangkat lunak bajakan ini.

Aspek manakah yang lebih dominan di antara kedua aspek di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin perlu ada riset secara komprehensif. Tapi, saat ini saya tidak hendak membahas pertanyaan di atas. Bagaimana kalau kita fokus kepada pertanyaan di atas, apakah sistem pendidikan kita bisa ikut berperan serta untuk mengurangi penggunaan perangkat bajakan ini?

Pendidikan bukan hanya bisa berperan untuk mengurangi penggunaan perangkat bajakan. Tapi, lebih dari itu. Pendidikan harus berperan untuk mengurangi penggunaan perangkat bajakan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan. Artinya melalui proses pendidikan ini akan terjadi proses pengubahan sikap dan tingkah laku. Melalui pendidikan ada proses transfer ilmu sehingga orang yang sebelumnya tidak mengetahui kemudian dia akan menjadi mengetahui.

Di tingkat TK, anak-anak sudah dikenalkan dengan komputer. Di tingkat SD, anak-anak kemudian lebih mengenal komputer dan perangkat lunaknya dengan melalui mata pelajaran TIK. Bahkan, sebelum menamatkan pendidikan dasarnya, anak-anak harus mengikuti asesmen nasional yang dilaksanakan juga dengan menggunakan komputer. Artinya, sejak memasuki usia sekolah, anak-anak kita sudah dikenalkan dengan komputer dan beberapa perangkat lunak.

Di sinilah pengenalan perbedaan perangkat lunak yang legal dan perangkat lunak yang bajakan bisa dimulai. Pada usia sekolah TK bisa dilakukan melalui komitmen sekolah ketika mengenalkan komputer dan perangkat lunaknya, maka yang mulai dikenalkan ke anak-anak usia sekolah TK dan SD ini adalah perangkat-perangat lunak yang legal.

Di tingkat SD, SMP dan SMA pendidikan terkait perangkat lunak legal dan bajakan ini bisa dilanjutkan ke arah penanaman karakter yang kemudian menyentuh sisi etika dan mentalitas. Bagaimana anak-anak usia SD, SMP dan SMA ini ditanamkan pada pemahaman jika menggunakan perangkat lunak bajakan sama saja dengan melakukan pencurian atas karya orang lain.

Di tingkat universitas, kemudian bisa juga dengan adanya sanksi jika seorang mahasiswa menggunakan perangkat bajakan saat mengerjakan tugasnya, maka dia dianggap sama dengan tidak mengerjakan tugas. Atau lebih ekstrim bisa saja misalnya universitas memberlakukan sebuah peraturan bahwa setiap tugas yang dibuat dengan perangkat lunak bajakan maka tidak akan mendapatkan nilai.

Proses di atas akan berjalan dengan baik dan menghasilkan perubahan perilaku jika didukung juga oleh lingkungan sekolah yang mempunyai komitmen bahwa perangkat lunak yang digunakan di lingkungan sekolah adalah bukanlah perangkat lunak bajakan.

Artinya, jika memang sekolah atau universitas tidak mempunyai dana untuk pengadaan perangkat lunak legal, maka sekolah dan universitas bisa memilih menggunakan perangkat-perangkat lunak yang berlabel open-source software di semua komputer yang ada lingkungan sekolah dan universitas. Para guru dan dosen juga mesti mempunyai komitmen untuk menggunakan perangkat lunak legal ini pada laptop dan komputer mereka.

Mengutip dari wikipedia, open-source software adalah perangkat lunak yang bersifat bebas dan sekaligus sumbernya terbuka. Artinya, perangkat-perangkat lunak ini bisa kita gunakan tanpa terlebih dahulu juga membayarnya.

Misalnya sebagai alternatif Windows, kita bisa menggunakan Linux. Ada banyak jenis Linux ini. Misalnya Debian, Redhat, Ubuntu, CentOs, Slackware, Fedora dan lain-lain. WPS Office atau Libre Office bisa digunakan sebagai pengganti Microsoft Office. Perangkat lunak Inkscape bisa menggantikan Corel Draw. Matlab bisa menggantikan Octave. ArcGIS bajakan bisa digantikan oleh QGIS.

Proses pendidikan ini, akan lebih terintegrasi jika kemudian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai payung dari semua jenjang pendidikan di Indonesia, juga mempunyai komitmen dalam bentuk peraturan yang bersifat memaksa sekolah mulai dari TK sampai universitas untuk menggunakan perangkat lunak legal di lingkungan sekolah dan universitas.

Artinya, ada sanksi yang diberikan kepada sekolah, jika di lingkungan sekolah dan universitas yang digunakan adalah perangkat lunak bajakan. Jika perlu lebih tegas, bisa saja dalam bentuk peraturan berupa tidak adanya dana bantuan operasional sekolah untuk sekolah yang masih menggunakan perangkat lunak bajakan. Pilihan konsekuensi lain adalah adanya peninjauan ulang akreditasi sekolah dan universitas yang menggunakan perangkat lunak bajakan.

Awalnya mungkin terasa berat. Tapi, bukankah sebuah pepatah pernah mengatakan: alah bisa karena biasa?

Febty Febriani
Febty Febriani
Seorang peneliti di lembaga pemerintah yang mencintai dunia menulis. Bisa dikontak melalui febty82@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.