Pemerintah Indonesia berencana membuka sekolah lagi di bulan Juli 2021. Ini kabar menggembirakan, mengingat bahwa bagi beberapa anak, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan dan sudah banyak kita ketahui bahwa pembelajaran jarak jauh memiliki dampak yang merugikan termasuk ancaman putus sekolah.
Beberapa peneliti Inggris dalam editorial British Medical Journal (BMJ) pada 23 Februari 2021 yang berjudul “Closing Schools Is Not Evidence Based and Harms Children” mengidentifikasi bahwa selama penutupan sekolah atau selama pembelajaran jarak jauh, hal-hal buruk yang harus dialami oleh anak-anak berupa kehilangan belajar, interaksi sosial yang berkurang, aktivitas fisik berkurang, isolasi yang terkait dengan meningkatnya masalah kesehatan mental, eksploitasi, dan bahkan penelantaran.
Tentu fenomena yang dialami anak-anak selama pembelajaran jarak jauh di Inggris bisa dibandingkan dengan situasi yang terjadi di Indonesia, sebagaimana yang kita dengar dari percakapan sehari-hari.
Selain itu, kita juga mendengar keluhan dari orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus mungkin sangat rindu bermain bersama teman-teman yang selama ini ramah pada mereka di lingkungan sekolah.
Sulit dibantah, bahwa penutupan sekolah dan pembelajaran jarak jauh, yang tidak optimal mendukung aspek tumbuh kembang anak-anak, berpotensi mengurangi harapan hidup di masa depan anak-anak tersebut.
Di sisi lain kita bisa paham adanya orangtua yang khawatir dengan rencana pemerintah untuk belajar di sekolah lagi. Kekhawatiran yang saya kira terkait dengan narasi adanya kasus positif Covid-19 pada saat sekolah dibuka dan adanya istilah klaster sekolah; kasus yang masih tinggi di negara lain yang mungkin dapat berpengaruh ke Indonesia; risiko Covid-19 pada anak-anak dan risiko penularannya dari anak-anak ke guru dan orangtua terutama lansia.
Semua itu membutuhkan pendekatan perspektif lain agar dipahami para orang tua demi mengurangi kekhawatiran.
Karena itu, sebagai orang tua yang bukan nakes namun memiliki anak-anak yang butuh untuk dapat sekolah temu muka kembali, saya ingin berbagi apa yang saya pahami.
Hal yang mungkin membuat khawatir orang tua adalah angka kasus yang masih relatif naik turun. Relasi angka kasus dan tes yang berujung pada nilai positivity rate, sebaiknya kita lihat dengan mencoba memahami terlebih dahulu bagaimana sistem atau prosedur tes serta pelaporan kasus di suatu negara, yang ini juga berkaitan dengan kapan seseorang harus dites dan kapan tidak perlu dites.
Pemerintah Indonesia melalui Kepmenkes RI Nomor HK.01.07/MENKES/446/2021 mengatur penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen (tes antigen) untuk tes Covid-19. Jika tes antigen hasilnya negatif dengan pasien asimptomatik (tanpa gejala) maka dianggap tidak ada Covid-19, jika tes antigen hasilnya positif dengan asimptomatik maka dilanjutkan dengan tes NAAT seperti tes qRT-PCR (PCR), jika tes PCR hasilnya positif maka terkonfirmasi Covid-19, sedangkan jika tes PCR hasilnya negatif maka dianggap tidak ada Covid-19.
Sedangkan pada situasi pasien ada gejala (simptomatik) maka jika tes antigen hasilnya positif maka terkonfirmasi Covid-19 dan jika tes antigen hasilnya negatif maka dilakukan konfirmasi menggunakan PCR dengan ketentuan yang sama seperti di atas.
Alhasil dapat diketahui bahwa pemeriksaan menggunakan PCR menjadi faktor penting untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kasus Covid-19 baik yang berupa simptomatik maupun asimptomatik.
Protokol Tatalaksana Covid-19 Buku Saku Edisi 2 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada Januari 2021 menyatakan bahwa bila kondisi seseorang secara klinis adalah baik, dan tidak ada gejala (asimptomatik), namun hasil tes PCR menunjukkan positif, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan bahwa yang terdeteksi oleh PCR adalah fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif dan tidak menularkan.
Oleh sebab itu dokter yang bertanggungjawab perlu mempertimbangkan nilai cycle threshold (CT value) untuk menilai infeksius atau tidaknya.
Informasi mengenai, adanya kemungkinan fragmen virus yang tidak aktif tapi terdeteksi PCR dari sampel, juga diperkuat dengan apa yang bisa kita peroleh dari protokol pemeriksaan Covid-19 yang berlaku di Inggris. Protokol pemeriksaan Covid-19 yang berlaku di Inggris menyatakan bahwa setelah tes awal PCR yang hasilnya positif, jika selanjutnya tidak ada gejala maka harus dibebaskan dari tes PCR dalam jangka waktu 90 hari, kecuali jika dalam 90 hari tersebut pasien menunjukkan ada gejala.
Penggunaan informasi tambahan seperti nilai ambang siklus atau CT value akan membantu dokter dalam mendiagnosis, pada gejala yang ada maupun berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya.
Editorial BMJ pada 22 September 2020 yang berjudul “Operation Moonshot proposals are scientifically unsound” yang ditulis oleh Profesor biostatistik Jonathan J Deeks, Profesor genetika Anthony J Brookes, dan Profesor Kesehatan Masyarakat Allyson M Pollock, menyatakan bahwa CT value berkorelasi dengan gejala. Orang dengan nilai CT value rendah menunjukkan lebih banyak materi virus, yang berarti orang tersebut paling mungkin menularkan. Penggunaan CT value maksimum 30 telah disarankan untuk mengurangi deteksi bermasalah dari virus mati yang tidak lagi dapat menularkan.
Repotnya, CT value maksimum memang masih bervariasi berdasarkan alat tes PCR dan reagen yang digunakan, dan memang sampai kini belum dilakukan standarisasi internasional terkait CT value maksimum untuk Covid-19 pada produsen alat tes PCR.
WHO pada 22 Januari 2021 hanya memberikan edaran mengenai pentingnya untuk membaca instruksi penggunaan alat tes PCR secara cermat serta melaporkan CT value untuk mengurangi risiko positif palsu.
Bagaimanapun, informasi tambahan terkait CT value pada hasil tes PCR akan membantu pemahaman orang tua mengenai hasil positif Covid-19 tanpa gejala berdasarkan tes PCR.
Jika interpretasi hasil tes PCR dan pengaturan tes yang ditetapkan dapat dipahami oleh sebanyak-banyaknya elemen masyarakat, maka diharapkan akan berkurang kekhawatiran di tengah masyarakat mengenai naik turunnya angka kasus di Indonesia, termasuk angka kasus di negara lain yang pengaturan tes dan pelaporan kasusnya belum tentu sama dengan pengaturan tes dan pelaporan kasus Covid-19 yang berlaku di Indonesia.
Memahami bagaimana konfirmasi suatu kasus dan kematian Covid-19 juga didukung dengan perkembangan terbaru yang diberitakan the telegraph pada 13 April 2021 bahwa 23% kematian Covid-19 di Inggris merupakan “kematian dengan Covid-19” bukan “kematian karena Covid-19.”
Berikutnya, yang perlu dipertimbangkan oleh para orang tua adalah sangat rendahnya risiko penularan tanpa gejala (asimptomatik) di rumah tangga yaitu di angka 0,7% berdasarkan penelitian tinjauan sistematis yang dipublikasikan di jurnal JAMA pada 14 Desember 2020.
Memang ada perbedaan antara asimptomatik dan presimptomatik yang keduanya mengacu pada tidak adanya gejala, tapi perbedaan risiko penularan antara asimptomatik dan presimptomatik agar tidak menjadi sesuatu yang dilebih-lebihkan setelah pandemi ini berusia lebih dari setahun, dan adanya kemungkinan bahwa selama ini kita pernah terinfeksi Covid-19 namun tanpa terhitung sebagai kasus Covid-19.
Bagaimana bisa? Studi yang dipublikasikan oleh Profesor John Ioannidis dari Universitas Stanford pada 26 Maret 2021 yang berjudul “Reconciling estimates of global spread and infection fatality rates of COVID‐19: An overview of systematic evaluations” menyampaikan bahwa hingga Februari 2021 di seluruh dunia terdapat 1,5-2,0 miliar infeksi dengan rata-rata tingkat kematian akibat infeksi (IFR) secara global yaitu 0.15%. Nilai tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan angka kasus Covid-19 global per tanggal 15 April 2021 yang menunjukkan 138 juta kasus dengan total kematian 2,97 juta.
Perbedaan ini diperoleh karena studi yang dilakukan oleh Ioannidis adalah berdasarkan studi seroprevalensi yang mengumpulkan hasil positif berdasarkan spesimen serologi (serum darah) bukan berdasarkan hasil positif dari tes antigen ataupun tes PCR.
Dengan demikian, saya menduga dan memaknai bahwa jumlah kasus sesungguhnya yang terjadi di Indonesia bisa saja lebih besar daripada angka kasus yang kita lihat per hari ini di media, yaitu angka kasus yang diperoleh berdasarkan hasil konfirmasi positif tes Antigen maupun positif tes PCR.
Namun dugaan tersebut jangan menjadi kekhawatiran baru, sebab tingginya angka kesembuhan Covid-19 di Indonesia, dan kemungkinan lebih banyak orang yang pernah terinfeksi Covid-19, disertai juga dengan bukti adanya kekebalan atau imunitas yang dapat diperoleh pasca terinfeksi.
Bahkan studi di The Lancet menunjukkan bahwa kekebalan yang diperoleh pasca terinfeksi dapat bertahan rata-rata 7 bulan dan bersifat protektif terhadap terhadap infeksi ulang dengan varian B.1.1.7.
Terkait risiko Covid-19 pada anak-anak, WHO pada edaran tanggal 18 September 2020 menginformasikan bahwa data menunjukkan bahwa kematian anak-anak di bawah usia 18 tahun relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok usia lain dan biasanya anak-anak- tersebut penyakitnya ringan.
Bahkan dalam edaran berjudul “Coronavirus disease (COVID-19): Schools” tersebut, WHO tidak mewajibkan vaksinasi untuk anak-anak sebagai syarat untuk dilakukan kegiatan sekolah tatap muka kembali.
Pada artikel yang dimuat di Nature, pada 10 Desember 2020 disampaikan bahwa semakin banyak bukti menunjukkan bahwa sistem kekebalan anak-anak tampaknya lebih siap untuk menghilangkan SARS-CoV-2 daripada orang dewasa. Alasdair Munro seorang ahli pediatrik dari University Hospital Southampton menyatakan bahwa kemampuan anak-anak untuk menetralkan virus mungkin juga terkait dengan fakta bahwa mereka memiliki respons imun bawaan yang kuat sejak lahir.
Rendahnya risiko Covid-19 pada anak-anak diperkuat bukti empiris dari laporan Jonas Ludvigsson, epidemiolog Swedia, pada 6 Januari 2021 yang mencatat di antara 1,95 juta anak-anak Swedia yang berusia 1-16 tahun, hanya 15 anak yang menderita Covid-19 dan atau sindrom inflamasi multi sistem(MIS-C) yang dirawat di ICU, setara dengan 1 dari 130.000 anak, meskipun Swedia tetap membuka sekolah selama pandemi.
Kita bisa berempati pada para guru yang masih khawatir untuk bisa bekerja di sekolah kembali. Tapi sebagaimana yang disampaikan oleh para ahli-ahli pendukung Great Barrington Declaration, seperti Profesor Martin Kulldorf dari Harvard University, guru tidak memiliki risiko infeksi Covid-19 yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata profesi lain. Ahli di Indonesia seperti Syahrizal Syarif dari UI, juga menyatakan bahwa yang paling rentan dalam Covid-19 ini adalah para lansia.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa menolak strategi perlindungan yang terfokus. Untuk pembukaan sekolah kembali, dimungkinkan menggunakan sistem hybrid dengan sebagian tetap PJJ dan sebagian lagi sekolah tatap muka, dengan mempertimbangkan kondisi mencakup, usia guru yang mengajar, dan kekhawatiran orang tua yang mungkin anak-anak tersebut tinggal bersama lansia. Sambil nanti kita mengevaluasi setelah dua atau tiga bulan sekolah dibuka kembali berdasarkan fakta yang ada.
Perlindungan yang terfokus, terutama pada para lansia, dapat dilakukan dengan mengedukasi masyarakat bagaimana cara mengatasi Covid-19, seperti yang dilakukan oleh Heal Community, komunitas di Facebook yang mengedukasi, misalnya, bagaimana pentingnya untuk mengenali demam sebagai gejala Covid-19 serta bed rest untuk mengurangi risiko keparahan Covid-19.
Pentingnya informasi ilmiah mengenai tindakan awal cara mengatasi Covid-19 yang dapat dilakukan oleh orang awam diharapkan dapat mengurangi kecemasan akan kematian, terutama kecemasan yang diderita para lansia karena minimnya pengetahuan mengenai Covid-19, yang justru kecemasan tersebut dapat memperburuk sistem kekebalan tubuh mereka.
Menyajikan angka risiko yang rendah bukan berarti mengabaikan kemungkinan bila risiko tersebut menimpa kita atau keluarga kita, tapi kita perlu realistis dan proporsional untuk menyelamatkan lebih banyak aspek kehidupan secara berimbang berdasarkan fakta pendukung yang ada.
Sebagai penutup, rencana pembukaan sekolah kembali sangat penting didukung oleh edukasi masif dari para ahli medis. Tentu kita juga berharap adanya peningkatan aspek lain yang mendukung pembukaan sekolah kembali seperti peningkatan fasilitas kesehatan dan semakin baiknya pemahaman dan penanganan nakes dalam tindakan kuratif pada Covid-19.
Edukasi masif namun proporsional mengenai risiko dan peluang pada Covid-19 terkait bagaimana penularannya, yang lebih banyak melalui droplet di area dengan ventilasi yang buruk, bagaimana memahami sistem tes Covid-19, dan bagaimana tindakan awal yang perlu dilakukan bila ada gejala Covid-19, akan melengkapi edukasi yang bersifat preventif yang telah dilakukan selama ini terkait kampanye 3 M.
Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan dan dapat meningkatkan kesehatan mental dan kualitas hidup, khususnya pada lansia sebagai kelompok paling rentan Covid-19. Bukan malah sebarkan ketakutan yg berdampak kecemasan publik dan akhirnya merugikan lansia itu sendiri dan keluarganya, serta menghambat pembukaan sekolah kembali. Selesai.
RUJUKAN
[1] S. J. Lewis, A. P. S. Munro, G. D. Smith, and A. M. Pollock, “Closing schools is not evidence based and harms children,” BMJ, vol. 372, no. 521, Feb. 2021, doi: https://doi.org/10.1136/bmj.n521.
[2] “Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/446/2021 tentang Penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen Dalam Pemeriksaan Covid-19,” Kementerian Kesehatan RI, Feb. 08, 2021.
[3] “Protokol Tatalaksana Covid-19 Buku Saku Edisi 2,” Kementerian Kesehatan RI, Jan. 2021.
[4] “Guidance COVID-19: management of staff and exposed patients or residents in health and social care settings,” Public Health England, Jan. 28, 2021.
[5] E. Surkova, V. Nikolayevskyy, and D. Francis, “False-positive COVID-19 results: hidden problems and costs,” The Lancet, vol. 8, no. 12, Sep. 2020, doi: https://doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30453-7.
[6] J. J. Deeks, A. J. Brookes, and A. M. Pollock, “Operation Moonshot proposals are scientifically unsound,” BMJ, Sep. 2020, doi: https://doi.org/10.1136/bmj.m3699.
[7] “WHO Information Notice for IVD Users 2020/05, Nucleic acid testing (NAT) technologies that use polymerase chain reaction (PCR) for detection of SARS-CoV-2,” WHO, Jan. 20, 2021.
[8] “Quarter of Covid deaths not caused by virus, new figures show,” The Telegraph, Apr. 13, 2021.
[9] Z. J. Madewell, PhD, Y. Yang, PhD, and I. M. Longini Jr, PhD, “Household Transmission of SARS-CoV-2, A Systematic Review and Meta-analysis,” JAMA Netw. Open, Dec. 2020, doi: doi:10.1001/jamanetworkopen.2020.31756.
[10] J. P. A. I. Ioannidis, “Reconciling estimates of global spread and infection fatality rates of COVID‐19: An overview of systematic evaluations,” Mar. 2021, doi: https://doi.org/10.1111/eci.13554.
[11] V. J. Hall et al., “SARS-CoV-2 infection rates of antibody-positive compared with antibody-negative health-care workers in England: a large, multicentre, prospective cohort study (SIREN),” The Lancet, Apr. 2021, doi: https://doi.org/10.1016/S0140-6736(21)00675-9
[12] “Coronavirus disease (COVID-19): Schools,” WHO, Sep. 18, 2020.
[13] B. Nogrady, “How kids’ immune systems can evade COVID,” Nature, Dec. 2020, doi: https://doi.org/10.1038/d41586-020-03496-7.
[14] J. F. Ludvigsson and L. Engerström, “Open Schools, Covid-19, and Child and Teacher Morbidity in Sweden,” NEJM, Jan. 2021, doi: 10.1056/NEJMc2026670.
[15] J. Bhattacharya and M. Kulldorff, “The Case Against Covid Tests for the Young and Healthy,” WSJ, Sep. 03, 2020.
[16] F. Khademi, S. Moayedi, M. Golitaleb, and N. karbalaie, “The COVID‐19 pandemic and death anxiety in the elderly,” Int. J. Ment. Health Nurs., Dec. 2020, doi: https://doi.org/10.1111/inm.12824.
[17] C. J. Heneghan et al., “SARS-CoV-2 and the role of airborne transmission: a systematic review,” F1000Research, Mar. 2021, doi: https://doi.org/10.12688/f1000research.52091.1.