Senin, Mei 13, 2024

Duhai Generasi Muda, Pertanian Memanggilmu

Ludi Ludi
Ludi Ludi
Seorang content writer

Indonesia dikenal sebagai negara agraris sampai sekarang dan dipercaya oleh masyakatnya dari anak-anak hingga mereka yang uzur. Predikat sebagai negara agraris berangkat dari kenyataan luasnya lahan pertanian yang membentang dari Sabang hingga Merauke, selain itu kondisi alam dan tanah yang subur menjadikan faktor utama Indonesia sebagai negara agraris.

Bahkan jika kita ingat lagu ‘Kolam Susu’ yang diciptakan oleh Band Koes Plus pada tahun 1973 seolah memberikan gambaran kepada kita bahwa bangsa ini telah dianugerahkan kekayaan alam yang berlimpah oleh Tuhan.

Namun dalam perkembangannya kondisi pertanian Indonesia terus melemah, masih banyak permasalahan yang terjadi dalam sektor pertanian, dimulai dari keterbatasan lahan dimana telah banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian, lalu masalah permodalan, banyak petani yang mengeluh karena keterbatasannya modal, hingga masalah regenerasi petani yang kian hari kian memprihatinkan. Jika permasalahan ini tidak ditangani, bukan tidak mungkin dimasa yang akan datang Indonesia akan kehilangan predikat sebagai negara agraris.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) proporsisi penduduk yang bekerja disektor pertanian terus menurun dalam satu dekade ini, pada tahun 2011 tercatat ada 29,18% pemuda yang bekerja disektor pertanian, angka ini terus merosot hingga akhirnya menjadi 19,18% pada tahun 2021.

Rendahnya minat pemuda yang bekerja pada sektor pertanian terlihat juga dalam data jumlah petani berdasarkan kelompok usia, data BPS tahun 2018 menunjukkan, hanya terdapat 885,077 petani yang berada di bawah usia 25 tahun. Untuk kelompok yang mendominasi berada pada usia 44 hingga 54 tahun, yakni 19,9 juta jiwa.

Dari data yang sudah saya jabarkan di atas, dapat kita lihat bahwa regenerasi petani di Indonesia menjadi sebuah ancaman yang serius, kenyataannya data yang berbicara mengatakan bahwa saat ini pertanian lebih banyak dikelola oleh mereka yang sebagian besar merupakan generasi tua, sedangkan generasi muda hari ini tidak banyak menaruh minat dan perhatiannya terhadap usaha pertanian.

Keadaan ini bisa dibaca sebagai gambaran awal tentang kehancuran Indonesia sebagai negara agraris, dimana keberlangsungan usaha pertanian akan semakin terancam dimasa yang akan datang. Rendahnya minat pemuda yang bergelut dalam usaha pertanian membuat negara ini harus puas berada pada posisi ke-6 sebagai negara dengan jumlah tenaga kerja pertanian tertinggi di Asia Tenggara, data ini dijabarkan oleh Asean Statistics Division, Bahkan yang menjadi ironis, negara kita berada di bawah Kamboja dan yang menjadi negara dengan jumlah tenaga kerja pertanian tertinggi dipegang oleh Myanmar.

Secara teori menurut Yoga Prasta dan Hina Herawati yang mengutip (White), terdapat 3 faktor yang menyebabkan anak muda tidak tertarik untuk bekerja dalam sektor pertanian, yakni (1) Sistem pendidikan yang menanamkan ide tentang bertani bukan sebagai pekerjaan yang menarik, jika kita ingat semasa sekolah dulu pertanian tidak digambarkan sebagai sektor strategis yang turut menggerakkan ekonomi nasional. (2) Adanya pengabaian dalam jangka panjang dari pemerintah terhadap pertanian skala kecil dan infrasktruktur pedesaan dibanyak wilayah. (3) Terbatasnya akses pemuda terhadap lahan pertanian akibat adanya pencaplokan oleh para korporasi dan para petani tua yang belum mau mengalokasikan tanah mereka untuk dikelola oleh generasi muda.

Seperti kita ketahui bersama, bidang pertanian sebagai elemen penting di negeri ini yang berkontribusi memasok kebutuhan pangan masyarakat, kemungkinan besar tidak akan berkembang jika data di atas yang saya jabarkan tidak ada perubahan dimana ketika generasi muda sedikit yang terjun di usaha pertanian.

Seorang peneliti masalah pangan yang berasal dari organisasi FAO, bernama Peter Timmer mengatakan, bahwa tidak ada negara yang akan bisa keluar dari garis kemiskinan tanpa dukungan sektor pertanian yang produktif, artinya pertanian menjadi sektor ekonomi yang perlu menjadi perhatian serius, tidak hanya sebatas menjadi pilar ekonomi nasional tapi yang terpenting mempunyai misi besar untuk menyediakan pangan bagi masyakarat kita.

Berdasarkan minimnya generasi muda yang ingin terjun ke usaha pertanian sebagaimana tergambarkan dalam data di atas, saya teringat ketika turun ke ladang bersama kawan untuk melihat perkembangan pertanian di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Bogor.

Di sana kami bertemu dengan salah satu petani cabai bernama pak Martin yang sudah berusia 48 tahun. Beliau menceritakan kepada kami tentang keluhannya terhadap usaha pertanian yang sudah lama dia jalani, dimulai dari masalah keterbatasan modal yang dimiliki untuk budidaya cabai, masalah para pengepul yang memainkan harga jual cabai, permasalahan lahan yang semakin berkurang, hingga ada satu keresahan beliau terhadap pertanian nasional yang juga membuat saya terkejut, beliau menceritakan tentang banyak anak muda yang tidak mau bertani.

Selama beliau bertani bahkan tidak pernah menemukan petani muda atau anak muda yang turut serta bertani, bahkan untuk sekedar membantu orang tuanya di ladang pun pak Martin tidak pernah melihat hal itu terjadi.  Memang kebanyakan generasi muda hari ini cenderung lebih memilih bekerja pada sektor industri, seperti menjadi buruh pabrik atau menjadi seorang kasir di swalayan. Mereka enggan bekerja pada sektor pertanian karena memandangnya sebagai pekerjaan masyarakat tidak terdidik, pekerjaan yang lusuh, pekerjaan kotor, identik dengan mereka yang sudah uzur, dan penghasilan yang dianggap tidak menetap.

Saya teringat dengan peryataan yang sampaikan pak Martin ketika kami berdiskusi:

“Gak ada saya lihat itu anak muda yang turun ke pertanian, padahal pertanian itu cukup menjanjikan juga. Kadang saya denger mereka itu bilang ngapain masuk ke kebun. Padahal kami orang tua ini butuh pemikiran dari anak muda itu, mengedukasi orang tua itu seperti apa, dan berikan pendapatmu”.

Saya bisa merasakan begitu besar harapan pak Martin bagi anak muda untuk bisa terjun ke pertanian. Di sini juga saya melihat teryata narasi suci tentang kesejahteraan dan regenerasi petani yang sering digaungkan oleh pemerintah nampaknya masih jauh dari kenyataan. Generasi muda sebagai generasi penerus dan sebagai generasi penggerak harus memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap sektor pertanian yang kian hari kian memprihatinkan.

Masalah regenerasi petani perlu menjadi perhatian semua pihak, jika permasalahan ini dibiarkan perlahan tapi pasti jumlah petani akan terus berkurang, akibatnya produksi pangan akan menurun dan akan terjadi ketidak-seimbangan antara produksi dan permintaan. Jadi sudah siapkah negara ini hilang predikat sebagai negara agraris? mungkin dalam jangka pendek bisa diatasi dengan impor, tapi apakah kita sudah siap jika impor pangan harus menjadi kewajiban? Sudah siap jika pertanian hilang ketika tak ada lahan dan tak ada yang melanjutkan?

Sumber:

[1] https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/03/06/metafora-sebelum-food-estate

[2] https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/krisis-petani-muda-di-negara-agraris

[3] https://islambergerak.com/2014/08/sinyal-merah-dunia-pertanian-untuk-joko-widodo/

Ludi Ludi
Ludi Ludi
Seorang content writer
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.