Pertanian merupakan salah satu sektor yang bertahan di era pandemi seiring sektor industri dan jasa yang melambat. Sejak COVID-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, produksi dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cenderung menjadi salah satu fundamental yang kuat pada perekonomian. Laju pertumbuhan sektor pertanian mencatat tren positif hingga 3.38 persen pada triwulan I 2021 (y-o-y). Walaupun laju pertumbuhan pertanian sempat menurun ke angka 0.43 persen pada triwulan II 2021, sektor tersebut berhasil bounce back pada triwulan III 2021, yang mencatat pertumbuhan 0.88 persen.
Melambatnya sektor pertanian sejak pertengahan 2021, disebabkan oleh permintaan domestik dan luar negeri yang menurun. Ini ditandai oleh kecilnya volume produksi sayuran, tanaman padi, dan palawija hingga triwulan III 2021. Bahkan, sektor tersebut menyumbang kontraksi sebesar -5.23 persen hingga -5.80 persen (y-o-y).
Di samping itu, sektor-sektor seperti perkebunan, perikanan, serta kehutanan berhasil tumbuh 0.17 persen hingga 8.34 persen akibat kenaikan produksi dan budidaya lahan. Penurunan kapasitas produksi pada sub-sektor pertanian bisa menjadi salah satu petaka ketahanan negara. Produksi pangan yang terganggu dapat membuat kenaikan harga pangan. Pada akhirnya menimbulkan politik yang tidak stabil. Bahkan, kedaulatan pangan Republik Indonesia (RI) bisa jatuh di mata dunia jika impor pangan selalu menjadi alternatif solusi.
Namun, dari semua keraguan itu. sektor pertanian telah menjadi sektor penyelamat ekonomi nasional di masa pandemi. Bayangkan, dari sisi produksi, sektor pertanian merupakan sektor pemasok pangan untuk kebutuhan 270-an juta masyarakat Indonesia. Maka dari itu, jelas sektor pertanian memiliki pangsa pasar yang besar.
Sementara, jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian mencatat sekitar 37.13 juta jiwa atau 28.33 persen per Agustus 2021. Kita dapat perhatikan bahwa sektor pertanian memiliki pasar dan potensi yang luas jika ingin dikembangkan. Misalkan saja, ketika sektor industri dan jasa mengalami perlambatan sehingga harus dilakukan tindakan PHK. Oleh karenanya, sektor pertanian dapat berpotensi memberikan kejutan dengan menyerap sekitar jutaan tenaga kerja selama pandemi.
Fenomena tersebut menunjukkan sektor pertanian menjadi salah satu pondasi yang cukup kuat dari ekonomi nasional. Pasalnya, sektor pertanian bisa mengurangi lonjakan pengangguran akibat dari derasnya tindakan PHK. Bahkan, peran sektor pertanian dapat menjadi peluang dalam menurunkan angka kemiskinan karena setiap orang yang di-PHK bisa di serap ke dalam lapangan kerja pertanian. Sementara, jika kita perhatikan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional mencapai 108.34 persen pada Desember 2021, yang mengalami kenaikan 1.08 persen dari bulan sebelumnya. Kenaikan NTP ini merepresentasikan pendapatan petani mengalami kenaikan dan lebih besar dari pengeluaran mereka.
Dari dinamika di atas, pertanian harus menjadi sektor pamungkas di Indonesia sesuai dengan julukan negara agraris yaitu “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tongkat Kayu Menjadi Tanaman”. Pertanyaannya, Apakah negeri ini cocok menyandang julukan itu?
Banyak yang beranggapan Indonesia memiliki kekayaan alam dari Sabang hingga Marauke. Namun, apakah kita negara yang kaya akan alam khususnya pertanian? Jelas Tidak. Dapat kita lihat Indonesia masih jauh dari kata sempurna dalam memaksimalkan sumber daya alam-nya. Terbukti kekayaan alam hanya mencapai US$ 9.443, yang lebih kecil dari Thailand US$ 10.144 dan Malaysia US$ 28.657 pada periode 2018-2019 (World Bank, 2021).
Ini menunjukkan masih banyak sektor kekayaan alam yang belum dimaksimalkan sehingga tidak memberikan nilai positif kepada RI. Bahkan, sektor perikanan yang basis pengelolaannya di 2/3 lautan dari total luas Indonesia mengalami pertumbuhan yang menurun tajam dari 6.41 persen per triwulan II 2021 ke –3.25 persen per triwulan III 2021 (q-to-q).
Kedepan, kebijakan pembangunan yang fokus pada ketahanan pertanian harus berorientasi pada kesejahteraan petani serta isi kebijakan juga harus lebih ke arah pengentasan kemiskinan dan ketimpangan. Fakta yang terjadi saat ini, cukup banyak petani yang dikategorikan sebagai petani gurem.
Tercatat hingga periode 2018-2019, petani gurem di Indonesia mencapai 1.5-1.6 juta jiwa atau 10.95 persen. Maka dari itu, untuk menunjang kesejahteraan petani, tindakan seperti mewujudkan swasembada beras, mendorong revolusi hijau seperti era Orde Baru, dan mengembalikan subsidi terhadap sektor pertanian harus dilakukan.
Bagaimana melakukannya ? Indonesia sepatutnya mengubah konsep pertanian yang liberal menjadi pertanian yang terpusat. Tahun 1995 merupakan tahun petaka bagi petani RI. Pada saat itu, Indonesia masuk ke dalam Agriculture on Agreement (AoA). Sementara tahun 1997, International Monetary Fund (IMF) menerima Letter of Intent (LoI), yang tujuannya menyerahkan sistem pertanian kepada mekanisme pasar.
Dampaknya, sistem pertanian RI dan nasib petani sudah berlandaskan permintaan dan penawaran, sehingga itu dapat menimbulkan potensi liberalisme pertarungan bebas. Beberapa kebijakan yang ada dalam AoA seperti pengurangan dukungan domestik, perluasan akses pasar, serta pengurangan subsidi ekspor.
Praktik kebijakan seperti itu, jelas menimbulkan kerugian yang besar bagi petani Indonesia. Kesejahteraan petani harus ditingkatkan jika ingin menunjang ketahanan pangan dan pertanian.
Selain itu, petani miskin harus diberdayakan bukan justru dianggap tidak ada, akibat dari kewajiban negara yang tunduk oleh aturan hukum-hukum bisnis pertanian komersial. Di sisi lain, subsidi terhadap sektor pertanian harus menjadi prioritas. Karena dengan penerapan subsidi dukungan domestik dapat berpotensi meningkatkan daya saing petani, bukan harus menyerahkan nasib petani kepada pasar bebas.