Menristekdikti pernah mengeluarkan siaran pers, yang salah satunya menyebut ancaman penghentian tunjuangan Guru Besar dan Dosen yang tidak mempublikasikasikan tulisannya di jurnal internasional. Tentu ini melecut para dosen untuk mempublikasikan penelitiannya di berbagai Jurnal Internasional yang terideks Scopus.
Bahkan Menristek mengklaim peningkatan publikasi ilmiah pada tahun 2018 sebagai pencapaian spektakuler. Pertama dalam 20 tahun terakhir kita karena mengungguli Thailand dan Singapura. Publikasi internasional meningkat dua kali lipat per Mei 2018, sebanyak 8.269 jurnal bandingkan dengan pada 2014 hanya 4.200 jurnal.
Bagi dosen Indonesia, menulis di jurnal internasional kini menjadi trend yang sedang dikejar, karena dianggap merupakan pencapaian prestisius bagi insan ilmiah. Maqam penulis jurnal internasional maqamnya naik berlipat-lipat melompati para penulis koran, apalagi penulis satire di kolom-kolom media populer. (Para penulis satire, dilarang ngambek).
Jumlah publikasi internasional yang meningkat tajam ini membuktikan, bahwa para dosen kita memang luar biasa. Bahkan bisa sebanding dengan kehebatan disebut superheronya Marvel. Kurang hebat apa coba? Sekali hentak dua tiga pulau terlampaui, eh dua tiga negara terlampaui dalam jumlah tulisan jurnal internasional yang dihasilkan.
Tentu para dosen muda dan tentunya mahasiswa program magister, atau yang sedang menempuh doktor, perlu tau tips hebat dapat menulis di Jurnal Internasional seperti para dosen hebat itu. Tulisan ini sebagian besar adalah testimoni para dosen hebat itu, dan sebagiannya hasil dialog imajiner dengan para penyedia jasa translator dan juga editor publikasi internasional. Berikut tips nya…
Pertama, anda harus menghindari kopi, rokok dan pastel. Ingat bukan copy dan paste lho. Karena kopi biasanya berteman dengan rokok, plus makanan kecil, adalah hidangan spesialis para penulis populer, dan barangkali mayoritas penulis di suatu situs satire. Para penulis populer (dan satire) mendapatkan ide dari kenyataan mulai yang remeh temeh sampai yang lagi hits.
Dan itu, salah satunya bisa didapatkan dari angkringan sampai We Te Es alias Warung Tengah Sawah. Barangkali dosen hebat dan keren, harus meningkatkan nutrisinya dengan jus buah Naga, alpukat atau duren, dan jangan lupa berhenti merokok. Khusus untuk soal rokok ini, anda harus super hati-hati, itu dapat mengganggu pengeluaran untuk riset anda bisa berlipat ganda.
Kedua, Jangan membuang waktu dengan terlalu banyak bergaul apalagi berdiskusi para aktivis dan mahasiswa macan kampus. Diskusi dengan para aktivis, mahasiswa macan kampus, terlalu banyak diisi selengekan atau bahkan kadang-kadang diselingi dari infotainment seperti perseteruan Via Vallen dengan JRx Superman Is Dead, atau Vicky Prastyo dan Angel Lelga.
Dan itu sama artinya dengan membuang-buang waktu percuma. Sementara dosen hebat harus menulis artikel dengan melakukan riset, akrab membaca bertumpuk-tumpuk buku, naskah kuno, sampai eksperimen berulang-ulang dengan norma yang ketat. Artinya apa? Jurnal internasional tidak bisa dihasilkan dari canda tawa, main kartu dan ruangan diskusi penuh asap rokok.
Ketiga, anda harus belajar ikhlas. Lho kok? Iya. Itu perlu banyak pengorbanan. Waktu dan biaya yang tidak singkat. Apalagi kalau gunakan jasa editor dan translete, harus konsultasi guru besar sana sini, menggunakan jasa reviewer dan validator ahli, mendeseminasikan gagasan di seminar internasional dan konferensi.
Apakah itu gratis? Gratis mbahmu. Bertamu kepada mereka semua, para dewa di bidang akademik, adalah peristiwa besar, dan tentu sebagai orang Jawa, bertamu tanpa gulo kopi adalah tindakan bertentangan dengan adat ketimuran. Apalagi itu para penyedia jasa editor, translator itu adalah profesional, tentu ada tarif nya.
Belum lagi kalau kita kena jebakan jurnal abal-abal. Kabarnya Jurnal abal-abal itu ciri-cirinya gampang dikenali, misalnya, artikel jurnal kita akan sangat mudah diterima tanpa melalui proses peer review. Tidak adanya review yang memadai dari para mitra bestari yang kompeten, adalah ciri jurnal abal-abal. Akibatnya dimuat jurnal Internasional abal-abal, kabarnya lebih cepat, bahkan bisa dalam hitungan minggu. Dan apakah jurnal jenis ini gratis? Jurnal jenis ini meminta bayaran dari artikel kita yang akan dimuat, dan bahkan nilainya bisa ribuan dollar Amrik. Lho, kok tahu? Iyalah, ada yang cerita….
Keempat. Pastikan istri atau pacar anda adalah orang-orang sabar. Biaya riset berjibun, atau jasa yang terkait dengan kepentingan pemuatan publikasi Internasional ini tentu mengurangi jatah belanja istri anda. Yang masih tahapan taaruf eh pacaran, tentu anggaran traktir mingguan anda bisa melorot drastis baik dari sisi tempat traktir atau frekuensi hang out bareng. Awalnya di restoran kelas wahid, merosot kelasnya di angkringan pinggir jalan. Dari tiap malam di akhir pekan, menjadi tiap awal bulan (sebulan sekali¸ waktu gajian), itupun belum tentu rutin.
Barangkali empat tips ini, bisa dicoba bagi mereka yang sedang mengejar publikasi di Jurnal Internasional, seperti para dosen hebat yang disebutkan pak Menteri Riset Dikti diatas. Para calon magister dan calon doktor, pun calon profesor dapat menerapkan berbagai tips yang diberikan. Lakukan riset secara serius, jangan ngopa-ngopi thok, hindari belanja sosial yang tidak perlu, belajarlah untuk ikhlas dengan semua yang terjadi, dan pastikan istri dan keluarga anda tetap bersabar atas jatah belanja yang berkurang gara-gara kegiatan riset untuk publikasi di Jurnal Internasional.
Tapi jika itu tak bisa dilakukan yakinlah para calon magister, calon doktor para dosen yang tulisannya belum dapat terpublikasi internasional, anda dapat mencoba mengirimkan tulisannya ke Jurnal Nasional yang sesuai dengan bidang keilmuan anda. Jangan kirimkan artikel Jurnal anda ke Mojok, karena kemungkinan besar tidak bisa diterima. Gagal menulis di Jurnal Internasional, bukan akhir dunia. Atau bisa jadi anda melabuhkan hati anda dengan mencoba menulis lepas di koran, media dan publikasi lainnya.. Tak harus merasa terdowngrade dengan menjadi penulis populer, karena ilmu anda akan lebih banyak di kunyah banyak orang.