Sabtu, April 20, 2024

Disharmonisasi RUU EBT: Hambatan Bagi Kedaulatan Energi Nasional

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas

Indonesia kaya akan sumber energi fosil maupun energi non fosil, namun tata kelola energi yang buruk mengakibatkan Indonesia akan menghadapi krisis energi di masa depan. Indonesia sangat bergantung pada pemanfaatan energi kotor (energi fosil), yang berdampak buruk bagi lingkungan. Eksploitasi tanpa diversifikasi sumber daya energi dengan menggali sumber energi terbarukan akan membawa Indonesia pada mimpi buruk krisis energi di masa depan.

Potensi energi baru dan terbarukan di Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 441 GW, namun pemanfaatannya baru sekitar 8,89 GW. Potensi EBT tersebut tentu sangat sayang jika disia-siakan maka dari itu diperlukan akselerasi kapasitas pertumbuhan pembangkit energi terbarukan hingga 6-8 kali lipat agar Indonesia dapat mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi nasional di masa depan. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah menetapkan target bauran energi dari energi terbarukan harus mencapai minimal 23% pada tahun 2025. Untuk itu, payung hukum yang jelas mengatur energi terbarukan mutlak diperlukan.

Urgensi RUU EBT

Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi (UU Energi) belum mendukung penuh pengembangan energi terbarukan (ET) dengan karakteristik khusus yang berbeda dari energi fosil. Pengaturan ET kerap diatur di tingkat aturan yang lebih lemah seperti perpres dan permen sehingga rentan terhadap perubahan dan preferensi menteri sektoral yang bermuara pada ketidakpastian hukum. Produk hukum setingkat undang-undang diperlukan untuk melegitimasi pengembangan dan pengelolaan ET sehingga akan menciptakan kepastian hukum dalam rangka mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi nasional.

Desain kebijakan tata kelola energi yang buruk telah menghambat pengembangan ET. Dengan membentuk UU ET yang secara khusus mengatur penetapan standar, peta jalan pengembangan industri ET, koordinasi antar lembaga, pengawasan dan penegakan target, dukungan penelitian dan pengembangan proyek ET, serta akses pendanaan ET akan mempercepat pengembangan ET. Negara-negara yang mempunyai UU ET seperti Tiongkok, Chili, dan Malaysia sudah terbukti mengalami perkembangan ET yang pesat.

Sejak tahun 2017, pemerintah dan DPR telah membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) guna mendorong pengembangan EBT di Indonesia yang sampai saat ini belum rampung. Dengan proses legislasi yang terbilang lambat, RUU ini masih menyisakan banyak masalah.

Sengkarut Substansi RUU EBT

Pembentukan suatu undang-undang yang efektif sejatinya harus mampu mengisi kekosongan hukum, mencegah disharmoni dan tumpang tindih peraturan, dan memperbaiki kebijakan tata kelola. Sayangnya, RUU EBT belum efektif untuk menjawab persoalan ET dari hulu  hingga hilir. Materi muatan RUU EBT lebih banyak membahas hal-hal yang sudah diatur dalam UU Energi.

Dilansir dari website ICEL, menurut  Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Indonesia Center for Environmental Law, salah satu permasalahan pokok ET adalah tumpang tindih peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan ET. Sayangnya, RUU ini justru tidak mengatur secara detail batas kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Padahal hal ini bertujuan untuk memastikan tidak adanya tumpang tindih antara perizinan, pengawasan, pembinaan, serta pengelolaan ET sehingga desentralisasi ET guna mempercepat proses transisi energi menuju energi berkelanjutan dapat tercapai.

Potensi tumpang tindih peraturan dapat kita lihat dari ketentuan sanksi yang diatur berbeda dalam RUU EBT dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Menurut ketentuan UU PPLH, sanksi bagi pihak yang tidak memiliki izin usaha adalah pidana penjara dan pidana denda, sementara dalam pasal 31 RUU EBT hanya dikenakan sanksi administratif. Hal ini tentu akan menyulitkan proses penegakan hukum dan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

Sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2021, RUU EBT akan sulit diimplementasikan di masa depan sebab RUU lain yang memiliki keterkaitan dengan RUU EBT seperti RUU Energi, RUU Minyak dan Gas Bumi, RUU Pemanfaatan Tenaga Surya, RUU Ketenaganukliran, dan RUU Ketenagalistrikan tidak masuk sebagai RUU Prolegnas Prioritas tahunan 2021. Disharmoni peraturan ini dapat mengakibatkan implemetasi RUU ini berhenti di tengah jalan, sehingga pengembangan ET terhambat.

Dimasukkannya aturan mengenai energi baru dalam RUU ini bukan pilihan tepat, sebab selain pengembangannya tidak sejalan dengan amanat transisi energi menuju energi bersih dan berkelanjutan, hal ini juga akan menyebakan disharmoni antar RUU. Dimana pengaturan dua jenis energi yang berbeda dalam satu UU mengharuskan adanya pendetilan bab mengenai energi baru—nuklir padahal sudah ada RUU Ketenaganukliran.

Pemerintah dan DPR masih memiliki kesempatan untuk menghasilkan UU EBT yang lebih baik. Pendalaman materi dengan melibatkan partipasi masyarakat secara luas mutlak diperlukan, karena hal ini menyangkut hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“The greatest happiness of the greatest number is the foundation of morals and legislation.”—Jeremy Bentham (1748-1832)

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.