Jumat, Maret 29, 2024

DPR: Instrumen Kelas Borjuis

Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Penulis untuk beberapa media, kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sejauh mana tingkatan perkembangan suatu bangsa—maju atau mundur—dapat dilihat dari tahapan fundamental ekonominya. Begitulah tulisan Jose Mariátegui dalam bukunya ‘On Peruvian Reality’. Begitu pula yang diutarakan Friedrich Engels dalam karyanya ‘Ludwig Feurbach’, bahwa sejak masa slavery, tahapan kondisi material ekonomilah sebagai penentu segala aspek manusia.

Dalam kasus populer yakni revolusi Perancis, walaupun, telah terjadi 232 tahun lamanya, memendam suatu perasaan akan hebatnya revolusi yang digerakkan manusia yang bersendikan basis material ekonomi.

Di mana mode produksi yang feodal telah mencapai perkembangan mutlak dan mengalami ekses-ekses penuh kontradiksi, yakni akibat pertentangan kepentingan kaum bangsawan dan kelas borjuasi kota yang semakin berkembang. Yang pada akhirnya pula, dimenangkan oleh kaum borjuasi Perancis.

Kemenangan borjuasi Perancis ini, tentu saja atas perubahan material ekonomi, menentukan perubahan posisi parlemen. Yang sebelumnya pengadilan-pengadilan lokal pada masa feodal, berubah menjadi demokrasi parlemen sebagai pengukuhan kuasa kapitalisme industri.

Bagaimanapun, kekuasaan politik parlemen, atau dalam skala luas yakni suprastruktur masyarakat, selalu mengokohkan keadaan material ekonomi bangsa itu.

Tak ada bedanya juga, di negeri timur yang jauh sana, yakni Indonesia. Pada masa Orde Lama, Indonesia mengalami kondisi ekonomi dari hasil ekses-ekses feodal dan kolonial yang melahirkan bentuk setengah jajahan dan setengah kolonial seperti perkataan Sukarno.

Ditengah kondisi material seperti ini, bangsa kita saat itu, sedang mencari corak produksi atas perkembangan yang lebih lanjut (ke sosialistis). Perkembangan material ke arah sosialistis ini menandai juga perubahan dalam suprastruktur masyarakat (contohnya militansi rakyat), terutama parlemen (DPR-GR).

Dengan demikian, pemerintah melalui DPR-GR akhirnya mengambil langkah nasionalisasi. Pada 31 Desember 1958 terbit UU No 86/1958. Dilain sisi pula pada bidang pertanian, perubahan ekonomi terjadi, atas landasan perubahan ini, DPR-GR akhir menyetujui rancangan UU Pokok Agraria tahun 1960 sebagai sifat atas landasan kepemilikan tanah yang bersifat komunalistik.

‘Borjuistis’ DPR

Bersandar pada materialisme historis, bahwa sosialisme, seperti kata Engels, berada dalam tingkat perkembangan kekayaan material yang tinggi, lebih tinggi daripada peradaban kapitalisme mana pun. Sosialisme tidak dapat dipaksakan dalam keadaan “tanpa material kapitalisme’ seperti kasus di Indonesia.

Atas konsepsi materialis pada sejarah tersebut, kegagalan sosialisme Sukarno pun dapat ditebak. Sehingga, pasca kemunduran Sukarno dan peralihan ke Suharto, terjadi kemunduran keadaan material ekonomi ke kapitalisme awal. Kapitalisme baru yang segar sebagai tonggak kekuatan baru.

Suprastruktur masyarakat dipengaruhi oleh basis ekonomi, dan ini terjadi juga pada awal Orde Baru. Untuk mempertahankan sistem kapitalisme baru ini, DPR-GR merancang UU yang terkenal, yakni UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967. UU No. 1/1967 menjanjikan beragam insentif dan jaminan kepada para calon investor asing.

Di dalamnya termasuk masa bebas pajak dan jaminan tidak adanya nasionalisasi. Hal ini, membuktikan bahwa DPR-GR yang berada di alam kapitalisme secara ‘tak sadar’ juga ikut berada di alamnya, dan pada akhirnya, menjadi perkakas kaum borjuis. Akhirnya pula, tingkat PDB bangsa kita tumbuh sebesar 13,92% pada tahun setelahnya.

Dengan dikokohkannya suprastruktur atas basis material ekonomi ini, berkembang pesat kapitalisme bangsa kita, dimana-mana mata memandang industri-industri baru di berbagai kota.

Juga, atas perubahan material ekonomi ini, memengaruhi struktur masyarakat yang awalnya anti-kapitalisme menjadi terbuka terhadap kapitalisme dari luar.

Pada tahun 1998, kapitalisme yang tengah menunjukkan tingkat perkembangannya ini mengalami krisis akibat ekses-ekses kontradiksi kapitalisme itu sendiri yang tak terelakkan bagi Indonesia dan beberapa negara lain. Perkembangan kapitalisme yang turun ini, hukumnya wajib untuk terus dipertahankan karena natur mode produksi sudah menjadi alamnya.

Dengan kondisi seperti itu, perkakas kelas borjuis, DPR, terus berupaya melanggengkan suasana alam mode produksi kapitalisme ini. Dengan cara, DPR berusaha untuk ‘membujuk’ pemerintah menjadi ‘pasien’ IMF.

Indonesia, pada akhirnya, berusaha melepas dari krisis kapitalisme—bayang-bayang mengerikan itu. Kapitalisme mulai untuk bekerja dalam perkembangannya, dalam memastikan mode produksi ini berlangsung, DPR merancang UU No 19 Tahun 2003 baru tentang privatisasi atas BUMN yang ada.

Hal ini memungkinkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas kapital, menciptakan struktur industri yang kompetitif dalam persaingan bebas. Dengan ‘dalih’ inilah, lembaga pemerintah seperti DPR telah menjadi perkakas yang sempurna bagi kaum borjuis Indonesia.

Namun, kendati berupaya penuh melanggengkan mode produksi ini, dalam lapangan tidak sesuai harapan. Hal ini karena masih lambatnya usaha privatisasi, membuat performa realisasi investasi tidak optimal. Dan, nilai realisasi investasi pada 2004 hanya mencapai Rp132,64 triliun.

Era SBY pun dimulai, SBY sempat memberikan penjelasan alasan rendahnya realisasi investasi dalam tahun itu. Dalam sebuah pidato di awal 2007, SBY menyebut faktor suku bunga dan berbelitnya izin penanaman modal adalah penghambat investasi terjadi.

Hal ini tidak mengherankan karena kontradiksi krisis kapitalisme masih memberikan efek panjang pada mode produksi. Hingga akhirnya, upaya untuk melancarkan mode produksi dikeluarkan UU baru, yakni UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lantas terbit beberapa bulan setelahnya.

Dalam masa kepemimpinan Jokowi sekarang, di mana, kapitalisme yang tengah turun ini akibat pandemi, ditambah tumbuhnya oligarki-oligarki yang semakin rumit akibat ekses kapitalisme.

Kapitalisme yang tengah ‘niedergang’, seperti kata teman saya, melahirkan upaya-upaya baru untuk terus melancarkan perkembangan mode produksi ini, bagaimanapun, walau mengorbankan rakyat. DPR, sebagai kaki tangan borjuis, melahirkan beberapa UU yang kontroversial antara lain UU Cipta Kerja.

UU ini diharapkan memberi ruang luas bagi kapitalisme yang tengah menurun ini, agar mode produksi terus berjalan pada suasana pandemi. DPR dan negara sebaik mungkin menyediakan ‘fasilitas’ mewah bagi para investor-borjuis. Namun, disisi lain, fasilitas mewah ini menelan banyak biaya yang ditanggung dari balik layar, yakni kaum buruh. 

Ya, mode produksi yang kita alami saat ini, yang kita rasakan saat ini, menjadi suatu kewajaran dan memengaruhi tingkatan struktur masyarakat bahkan lembaga-lembaga negara. Namun, mode produksi yang ada sekarang sifatnya kontradiktif, internal yang selalu kontradiktif seperti kata Marx.

Contohnya bagaimana? Contohlah lahirnya revisi UU KPK yang mengakibatkan kekuasaan pemberantasan korupsi menjadi sempit kuasanya, hal ini karena sifat kapitalisme yakni individual-maruk memengaruhi tindakan negara.

Pada akhirnya, saya teringat kata-kata Maria S.W Sumardjono yang mengatakan, kebijakan pemerintah yang lebih pro pada pertumbuhan ekonomi, bukan kepada kemampuan rakyat itulah yang menjadi faktor meletusnya konflik kontradiksi.

Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Penulis untuk beberapa media, kini mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.