Rabu, April 24, 2024

Dilema Seniman dan Gerakan Sosial

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

Belum lewat ingatan kita tentang Ratna Sarumpaet, seorang seniman Teater yang cukup senior yang menjadi sorotan. Bukan karena karya monumental yang dipentaskan, namun karena karya opera nya dalam panggung kehidupan nyata, kehidupan politik sampai perdebatan etika.

Hampir seluruh media online maupun cetak mengangkat pengakuan kebohongannya sebagai fokus liputan bahkan headline, bahkan di media sosial tagar #WajahmuPlasttik bertengger di media sosial setidaknya pada tanggal minggu pertama Oktober 2018. Ratna Sarumpaet mengakui kebohongan atas pengakuan sebelumnya bahwa telah dianiaya sekelompok orang tak dikenal. Luka-luka di wajah Ratna Sarumpaet yang awalnya diakui sebagai luka akibat operasi plastik yang dilakukannya di Rumah Sakit Bina Estetika Jakarta, bukan akibat dianiaya.

Pengakuan ini sontak mengagetkan, karena isu penganiayaan ini telah direspon secara serius, terutama pada kelompok oposisi, bahkan para tokoh utamanya, seperti Prabowo Subianto, Amien Rais, Fadli Zon, Fachry Hamzah, Rizal Ramli dan beberapa yang lain.Ratna Sarumpaet  salah satu seniman yang mendapatkan citra publik sebagai seniman yang tak lelah melakukan gerakan sosial, dengan selalu mengangkat pembelaan kaum marginal. Semenjak Orde Baru, kita masih ingat Ratna Sarumpaet menggelar pentas teater Marsinah Menggugat, yang kala itu banyak merepotkan Pemerintah Orde Baru.

Kisah pengakuannya membuat kita bertanya-tanya tentang wujud konsistensi seorang seniman dan keterlibatannya dalam gerakan sosial. Ataukah posisi seorang seniman dalam gerakan sosial hanyalah panggung untuk mempertahankan eksistensinya? Ataukah dia tidak sadar panggung gerakan sosial, bukanlah pentas teater, dimana imajinasi, perubahan watak dan bermain peran sesuai skenario yang di rancang oleh sutradara pentas itu?

Seniman dan Gerakan Sosial 

Gerakan sosial seringkali merujuk pada suatu upaya yang konsisten untuk melakukan pendampingan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mengalami penderitaan, marginalisasi, peminggiran, dan bahkan diskriminasi. Sederhananya gerakan sosial adalah pembelaan yang konsisten terhadap kaum mustadhafin, kaum yang mengalami penindasan akibat hubungan sosial yang tidak adil. Mulai dari aksi-aksi jalanan, panggung-panggung pementasan sampai kegiatan pembelaan hukum untuk membela kaum marginal ini.

Keahlian seseorang sebagai seniman sangat dibutuhkan oleh gerakan sosial, karena dia dapat mengartikulasikan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat marginal dalam tema-tema yang mudah diterima oleh masyarakat kebanyakan, dari berbagai kelas sosial.

Gerakan Sosial yang dilakukan kelompok seniman memiliki kelenturan tersendiri, dari berbagai ancaman dituduh subversi oleh kelompok dominan atau memiliki kekuasaan. Gerakan sosial dengan penggunaan kesenian, merupaka gerakan sosial alternatif, apalagi kesenian yang bertumbuh dan berakar dari kebudayaan kaum marjinal. Tentu gerakan sosial seniman akan sangat efektif.

Gagasan seni sebagai gerakan sosial berakar dari gagasan realisme sosialis yang mengusung semangat, nafas dan gerakan kesenian dan kesusastraan harus melayani dan menggambarkan  semangat kaum marginal yang sedang memperjuangkan kondisi sosial yang lebih baik bagi mereka .

Di era Soekarno banyak lembaga seni menjadikan gerakan sosial melalui kesenian sebagai perhatian utamanya. Setidaknya setiap partai politik saat itu menjadikan kesenian sebagai medium gerakan sosial dan politik, dan seniman sebagai aktor dalam gerakan sosial dan politik tersebut. Saat itu PNI memiliki Lembaga Kesenian Nasional, PKI memikiki Lekra, NU memiliki LESBUMI,  dan Masyumi dengan HSBI nya.

Gerakan sosial yang dilakukan seniman ini, ternyata amat efektif memainkan emosi massa, dan bahkan menjadi pendorong gerakan sosial yang lebih luas. Dimasa kini sebagian seniman tetap aktif bergabung dengan gerakan sosial seperti Sujiwo Tedjo, Iwan Fals dan sejenisnya,ada juga memasuki gerakan sosial yang bersinggungan langsung dengan kegiatan politik praktis seperti Ratna Sarumpaet.

Hanya pertanyaannya apakah para seniman membangun gerakan sosial yang beririsan langsung dengan politik praktis tidak akan tergoda oleh langgam politik praktis. Politik praktis yang biasanya akrab dengan intrik dan bahkan cenderung menggunakan fitnah, menyebar kebencian sebagai strategi dalam menggalang dukungan. Langgam politik praktis itu sangat berbeda bahkan paradoks dengan kebiasaan yang dimiliki oleh seniman. Seniman biasakan menyatakan dengan kegelisahan sosial sebagaimana apa adanya melalui ekspresinya, tanpa motif atau kepentingan mengakumulasi kekuasaan pada dirinya.

Para seniman terbiasa mengikuti kata hati dalam berkarya, sementara politik praktis betapa sulitnya konsisten dengan kata hati. Seorang politisi dapat bertindak berbeda dengan kata hatinya, jika ada keuntungan politik yang dia dapatkan dari kebohongannya tersebut. Di dalam politik praktis kita harus terbiasa dengan hal-hal yang berhubungan dengan uang untuk mempengaruhi pendapat dan pilihan orang, dan bahkan membelokkan apa yang seharusnya menjadi suara nurani rakyat.

Ada beberapa seniman hidup dalam dalam situasi ini. Dia hidup dalam habitus, dimana posisinya sebagai seniman dapat  mudah diserap dalam kultur politik praktis yang abu-abu tersebut. Dan bahkan bisa jadi Ratna Sarumpaet, bisa menjelma menjadi aktor politik yang lebih cangging di banding politisi gaek, karena dapat menggabungkan keahliannya bermain watak dan bermain peran sekaligus dengan permainan abu-abu penuh fitnah kebohongan, provokasi. Suatu kombinasi yang bisa jadi lebih merusak.

Membayang Relasi Ideal Seniman dan Politik Praktis

Terilhami dari kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, para seniman seharusnya dapat menyusun sebuah gerakan sosial yang lebih bermartabat. Pertama: penting bagi kita, terutama seniman untuk semakin mencipta beragam komunitas kesenian yang lebih banyak mengeksplorasi suara kaum marginal tanpa terkait dengan aktivitas politik praktis, atau politisi sebagai sponsor dan pemberi donasi utama.

Sebab dalam perkembangan sosial, mengakibatkan pola hubungan seni dan para seniman menjadi hubungan komodifikatif. Terjadi relasi antara pemberi donasi dengan para pekerja seni. Dimana isu-isu gerakan sosial yang ingin di gerakkan para seniman terjebak dalam kepentingan para juragan dan jebakan membangun popularitas.

Untuk memotong rantai ini, maka perlu untuk membangun dan menguatkan seni sebagai komunitas, agar pola relasional yang terjadi lebih egaliter. Dengan begitu para seniman memiliki saham yang sama untuk menentukan mengenai ekspresi seni yang harus ditampilkan, sehingga tidak sepenuhnya dalam kontrol pemberi donasi atau sponsor.

Bersamaan dengan itu, para seniman penting untuk terus mensosialisasi semangat menyuarakan nurani kaum marginal dalam komunitas seniman itu sendiri. Kedua; jika dalam tahap pertama telah dilakukan, maka pada tahap selanjutnya seniman dapat terus memasukkan unsur kritik sosial dalam pasar seni yang lebih luas. Salah satu seni yang menarik untuk dikembangkan adalah seni grafiti, karena nafas kritik sosial ini telah lama diinspirasi oleh para seniman sejak masa kemerdekaan. Kita bisa lihat foto-foto ‘jadul’ di tembok-tembok tertulis “Merdeka atau Mati”.

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.