“Gaji sudah naik, tapi mengapa tetap pas-pasan?” Kalimat ini menjadi gumaman umum di kalangan kelas menengah urban Indonesia. Fenomena ketika penghasilan rutin tetap tidak mencukupi kebutuhan harian bahkan sebelum akhir bulan tiba kini bukan sekedar keluhan pribadi, tapi cerminan masalah struktural yang lebih dalam. Kondisi ini dikenal luas sebagai middle-class survival syndrome, sebuah situasi di mana masyarakat kelas menengah tampak mapan secara kasat mata, namun sesungguhnya hidup dalam pola bertahan yang melelahkan secara finansial dan psikologis.
Kelas Menengah yang Besar tapi Tak aman
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat bahwa lebih dari 56% penduduk Indonesia tergolong dalam kelas menengah, ditandai dengan pengeluaran antara Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per bulan per kapita. Angka ini mencerminkan kekuatan konsumsi domestik yang dominan. Namun di balik besarnya proporsi ini, terdapat paradoks: semakin besar kelas menengah, samakin rapuh pula ketahanannya.
Laporan Bank Dunia (2021) menggarisbawahi bahwa masyarakat kelas menengah Indonesia sangat Rentan terlempar kembali ke kelompok rentan miskin hanya karena satu guncangan ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan atau kebutuhan medis mendadak. Banyak dari mereka sesungguhnya bukan sedang hidup nyaman, melainkan sedang bertahan.
Kenapa Gaji Cepat Ludes?
Ada sejumlah penyebab mengapa masyarakat kelas menengah kerap merasa penghasilannya “hanya numpang lewat”.
Pertama, biaya hidup yang terus meningkat, mulai dari perumahan, pendidikan, transportasi, hingga kesehatan. Di sisi lain, peningkatan penghasilan sering kali dibarengi dengan naiknya gaya hidup, fenomena yang dikenal sebagai lifestyle inflation. Saat gaji bertambah, keinginan untuk meningkatkan standar hidup juga ikut naik. Konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan, tapi menjadi simbol status sosial.
Survei Katadata Insight Center (2022) menemukan bahwa 63% responden dari kelas menengah mengaku kesulitan menabung akibat pola hidup konsumtif. Media sosial dan lingkungan turut menciptakan tekanan untuk tampil “sukses” secara visual, seperti membeli barang branded, makan di restoran mahal, atau liburan mewah.
Kedua, ketergantungan pada skema cicilan dan kredit. Rumah melalui KPR, kendaraan bermotor, hingga barang elektronik kini didapat melalui skema angsuran. Bahkan, metode paylater semakin populer di kalangan urban. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat peningkatan pengguna paylater hingga 70% pada 2022, sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat perkotaan. Sistem ini memang memberi kemudahan, tapi pada akhirnya menciptakan beban finansial jangka panjang dan menyempitkan ruang fiskal rumah tangga.
Ketiga, literasi keuangan yang masih rendah. Laporan Standard & Poor’s Global Financial Literacy Survey (2020) menunjukkan bahwa hanya 38% masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman dasar soal pengelolaan keuangan. Banyak yang tidak memiliki perencanaan keuangan jangka panjang, seperti dana darurat, asuransi, atau investasi. Padahal, pengetahuan ini sangat vital untuk menciptakan stabilitas ekonomi pribadi.
Ilusi Kemampuan di Era Digital
Dalam konteks kebijakan publik, kelas menengah Indonesia Kerap berada dalam “ruang abu-abu” yang terabaikan. Mereka terlalu “kaya” untuk menerima bantuan sosial, tapi tidak cukup kuat untuk menghadapi risiko ekonomi secara mandiri. Program pemerintah seperti bantuan langsung tunai atau subsidi upah sering kali hanya menyasar mereka yang bergaji di bawah UMR, sementara kelompok yang sedikit di atas itu dibiarkan bertahan sendiri.
Selain itu, Kebijakan fiskal lebih condong berpihak pada korporasi besar dan kelas atas melalui insentif pajak, sedangkan kelas menengah terus dibebani beban pajak tanpa kompensasi langsung. Padahal, mereka adalah tulang punggung konsumsi nasional dan roda ekonomi domestik.
Jalan Keluar: Edukasi dan Reformasi
Untuk merespons sindrom ini, diperlukan perubahan di dua ini: personal dan struktural. Pada level individu, masyarakat kelas menengah perlu meningkatkan kesadaran finansial seperti menyusun anggaran, memprioritaskan kebutuhan, serta membangun tabungan dan divestasi. Di sisi lain, perlu ada keberanian untuk menahan ego sosial: memilih hidup realistis ketimbang mengejar pengakuan digital.
Pada level negara, pemerintah perlu merancang kebijakan afirmatif untuk kelas menengah. Misalnya, pemberian keringanan pajak penghasilan bagi segmen tertentu, akses kredit dengan bunga rendah untuk kebutuhan produktif, serta memperluas edukasi finansial ke dalam kurikulum pendidikan. Jika tidak, jurang antara tampilan dan kenyataan akan terus melebar, dan ketimpangan sosial-ekonomi makin sulit dijembatani.
Kelas menengah Tidak Butuh Pujian, Tapi Perlindungan
Kelas menengah bukan hanya simbol keberhasilan pembangunan, tetapi juga refleksi kerapuhan sistem ekonomi kita. Mereka menopang konsumsi nasional, namun tanpa jaring pengaman yang cukup. Jika terus dibiarkan hidup dalam pola bertahan, maka kita tengah membangun masyarakat yang rapuh di atas fondasi ilusi.
Sudah saatnya kelas menengah dilihat sebagai subjek kebijakan yang perlu diperkuat, bukan sekadar kelompok yang “aman” dan bisa dibiarkan. Karena di balik stabilitas semu mereka, tersimpan potensi krisis yang bisa menggerus ketahanan sosial bangsa.