Pekerja informasi seperti pustakawan kini menempati posisi strategis dalam dunia kerja modern. Seiring dengan meningkatnya kesadaran lembaga terhadap pentingnya pengelola informasi, profesi ini dipandang sebagai solusi atas kekacauan sistem dokumentasi pustaka dan kemudahan akses data. Memilih menjadi pustakawan di era serba digital adalah pekerjaan yang penuh harapan sekaligus tekanan.
Di satu sisi, kini pustakawan diakui sebagai profesi strategis dalam mendukung pengelolaan pengetahuan. Di lain sisi, ekspektasi yang diberikan terhadap peran pustakawan terus meningkat tanpa diiringi dukungan memadai dari instansi perekrut.
Pustakawan diangkat dengan harapan besar, yaitu mampu menata ulang koleksi yang tercecer, memiliki ide-ide brilian terhadap inovasi literasi, mendigitalkan koleksi, membangun sistem yang andal, dan semuanya diharapkan dapat berjalan bersama dalam waktu singkat tanpa dukungan berarti.
Ironisnya, pustakawan dituntut untuk mewujudkan transformasi digital dalam kondisi institusi yang bahkan belum siap secara teknis dan struktural. Atau yang lebih mengenaskannya, seluruh tanggung jawab tersebut dibebankan hanya kepada seorang pustakawan yang dianggap cukup untuk menyukseskan visi dan misi perpustakaan digital masa depan.
Pekerjaan Sunyi di Tengah Euforia Digital
Lembaga pendidikan, pemerintahan, hingga organisasi swasta, kini berlomba-lomba menyebut “digitalisasi perpustakaan” sebagai bagian dari transformasi layanan. Namun kerap kali kalimat itu hanya berhenti sebagai visi. Di lapangan, pustakawan masih bekerja dengan sistem manual, komputer lawas, bahkan tanpa software pengelola koleksi yang layak. Kata digital dijadikan tolok ukur kemajuan birokrasi. Tetapi masih banyak kasus digitalisasi dipahami secara sempit, hanya sebagai upaya memindahkan koleksi ke layar, bukan sebagai reformasi sistem layanan informasi. Tidak ada perencanaan jangka panjang, tidak ada sumber daya yang siap mendukung.
Pustakawan berada dalam posisi serba salah, diharapkan mampu membawa perubahan, namun dibiarkan bekerja dalam keterbatasan. Kondisi ini menciptakan paradoks. Mereka dituntut menyulap sistem yang berantakan menjadi tertib dan terintegrasi. Didorong untuk ‘go digital’ namun perangkat lunak katalogisasi belum memadai, ruangan tidak ramah pengguna, data koleksi belum tertata, dan proses pemutakhiran data masih bergantung pada tenaga manual.
Antara Misi dan Slogan Institusi
Situasi makin pelik ketika lembaga menuntut pustakawan untuk menjadi serba bisa, mulai dari menjadi teknisi IT, desainer ruang baca, petugas katalogisasi, hingga operator web. Fenomena “pustakawan palu gada” ini muncul karena institusi kerap menggampangkan kompleksitas kerja pengelolaan informasi. Mereka menganggap pustakawan cukup dibekali keahlian dasar tanpa dukungan sistem, anggaran, atau kebijakan pendukung yang memadai. Di balik semangat modernisasi, ada kecenderungan untuk melimpahkan beban transformasi digital sepenuhnya ke pundak individu, bukan sebagai tanggung jawab kolektif.
Tak jarang, pustakawan menjadi korban dari ambisi instansi yang ingin tampil “modern” tanpa membenahi akar masalah. Padahal persoalan utama bukan hanya perihal alat dan sistem, melainkan minimnya kesadaran institusional terhadap pentingnya tata kelola informasi, lemahnya budaya baca, serta rendahnya literasi informasi di kalangan pengambil kebijakan. Alih-alih membangun perubahan secara bertahap dan terencana, transformasi digital justru sering dijadikan jargon politik institusi dalam presentasi rapat, ketimbang program kerja yang konkret. Pustakawan ditinggalkan sendirian, seolah ditugasi membangun rumah pintar dengan alat pertukangan yang nyaris rusak.
Kegagapan Institusi Memahami Fungsi Pustakawan
Lebih dalam lagi, problem utama terletak pada kegagapan institusi dalam memahami peran pustakawan secara menyeluruh. Selama pustakawan hanya diposisikan sebagai penjaga rak buku, bukan pengelola sistem pengetahuan, maka akan terus terjadi peminggiran terhadap kapasitas profesi ini. Padahal pustakawan bukan sekadar pekerja belakang meja, mereka adalah perancang layanan informasi, navigator literasi, dan penjaga integritas sumber pengetahuan. Tanpa melibatkan mereka dalam perencanaan strategis, institusi hanya akan membangun sistem informasi yang rapuh, tanpa arah, dan jauh dari kebutuhan pengguna.
Alih-alih diberdayakan sebagai aktor strategis dalam transformasi digital, pustakawan justru sering terjebak dalam pusaran ekspektasi instan. Profesi ini direduksi sekadar sebagai “tukang rapi-rapi” koleksi, bukan sebagai mitra intelektual dalam membangun sistem informasi jangka panjang. Banyak institusi masih menganggap kehadiran pustakawan cukup diwakili satu orang dengan ruang kerja sempit, peralatan seadanya, dan daftar tugas administratif yang tak ada habisnya. Padahal, pustakawan memegang peran penting dalam mengurasi pengetahuan, merancang alur informasi, serta membangun akses literasi bagi publik.
Dari Beban Menuju Perubahan
Sudah saatnya skenario “superman” terhadap pustakawan dihentikan. Ekspektasi bahwa satu atau dua orang pustakawan bisa mengubah wajah perpustakaan secara instan, bukan hanya tidak realistis, tapi juga merusak martabat profesi. Transformasi perpustakaan harus dimulai dari pemahaman bahwa kerja pustakawan adalah kerja kolaboratif, memerlukan dukungan lintas unit, dan harus ditopang oleh kebijakan institusional yang serius. Tidak bisa hanya mengandalkan kreativitas pustakawan di level teknis.
Institusi perlu membangun infrastruktur, memberikan pelatihan, menyediakan anggaran, dan yang paling penting, memberi ruang pustakawan untuk bersuara dalam perencanaan jangka panjang. Jika ingin serius membangun perpustakaan berbasis digital, maka langkah pertama bukan memesan perangkat keras, melainkan menyusun ulang paradigma. Apakah pustakawan dianggap bagian dari tim perencana? Apakah ada strategi literasi informasi yang konkret? Apakah data koleksi dan kebutuhan pengguna sudah dipetakan?
Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, digitalisasi perpustakaan hanya akan menjadi proyek coba-coba yang menghabiskan anggaran tanpa hasil jangka panjang. Digitalisasi bukan tentang alat, melainkan tentang kesadaran. Kesadaran bahwa perpustakaan bukan ruang mati, dan pustakawan bukan profesi pinggiran. Digitalisasi hanya bisa berhasil jika dimulai dari keberanian institusi untuk menghargai kerja intelektual pustakawan. Bukan hanya menyebut “digitalisasi” dalam visi misi, melainkan menyusun ulang komitmen terhadap dasar-dasar pengelolaan informasi. Tanpa ini, institusi hanya akan terus membebani pustakawan dengan ekspektasi muluk di atas fondasi yang keropos.