Dietrich Bonhoeffer adalah anak keenam dari pasangan Karl Ludwig dan Paula Bonhoeffer di Jerman. Kedua orang tuanya adalah guru besar psikiatri dan neurologi yang cukup terpandang.
Ia dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung nilai agama, kemanusiaan, dan kebebasan. Ia pun tumbuh menjadi pribadi yang terbuka, berani, periang, kreatif, dan belas kasih. Ia adalah orang yang realistis dan sadar akan sosialisme nasional.
Bonhoeffer hidup di masa kekuasaan Hitler dan Nazi di Jerman. Nazi terlibat dalam berbagai kekerasan dan pembantaian kaum Yahudi. Tahun 1935 terdapat undang-undang yang melarang pernikahan warga Jerman dengan Yahudi dan menganggap bahwa orang Yahudi bukanlah warga Jerman. Kekejaman ini didasari akan kebencian terhadap kaum Yahudi. Kaum-kaum Yahudi kemudian disiksa oleh Nazi.
Di sisi lain, kebanyakan warga Jerman menyambut baik kebangkitan Nazisme. Mereka menyambut baik Nazi sebagai harapan baru di tengah perubahan sosial, politik, dan ekonomi pasca kekalahan Jerman di PD 1 dan reaksi terhadap kegagalan republik Weimar. Semangat nasionalisme Nazi dianggap kekuatan besar untuk melawan komunisme. Beberapa lembaga keagamaan Jerman juga mendukung atau tidak campur tangan dengan pemerintahan.
Dalam bukunya, The Cost of Discipleship, Bonhoeffer menunjukkan bahwa iman tidak dibatasi hanya dalam ranah agama tetapi juga harus terlibat dalam ranah politik. Iman pun dituntut tidak hanya menyangkut ranah pribadi tetapi harus mampu menjumpai orang lain. Iman yang privat hanya menjadi semacam pelarian diri dari hiruk pikuk dunia. Beriman dalam ranah privat jatuh dalam ide dan pemikiran semata. Sementara beriman harus mampu berbicara tentang ‘surga’ dan ‘keterlibatan’ dalam dunia.
Iman (dan agama) tidak hanya berbicara tentang surga tetapi juga terikat pada tugas dunia. Iman harus mampu hadir dan menunjukkan pengaruhnya bagi dunia. Sekalipun dalam dunia yang penuh kekejaman seperti saat Nazi berkuasa, yang sepertinya Allah tidak hadir, beriman harus menjadi “iman tak-beragama”. Dalam arti ini, iman harus meleburkan diri dalam dunia dan tidak lagi saling memisahkan. Iman yang sejati mengandalkan Allah yang tersembunyi di dunia.
Bonhoeffer melihat bahwa untuk tetap tinggal dengan Allah di dunia, berarti juga hidup di tengah keluh kesah dunia dan menunjukkan pengaruh bagi dunia.
Pada intinya, iman harus sampai pada aksi yang nyata agar tidak jatuh pada privatisasi iman. Iman harus tercermin dalam tindakan dan pelayanan kepada sesama, terutama bagi mereka yang menderita. Beriman bukan berarti memberikan standar yang berbeda antara dunia dan agama.
Keduanya memiliki hubungan yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan bagi Bonhoeffer. Action springs not from thought, but from a readiness for responsibility: menghayati iman dengan jujur berarti siap sedia untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan terutama ketika kehidupan itu terancam.
Bonhoeffer tidak hanya menawarkan pemikiran teologis tetapi juga kesaksian hidupnya. Ia aktif terlibat dalam usaha menggulingkan Hitler dan partai Nazi. Ia juga melawan segala penindasan terhadap bangsa Yahudi dan membantu menyelundupkan orang-orang Yahudi keluar dari Jerman. Setelah ditangkap, ia dimasukkan ke kamp konsentrasi dan dihukum mati.