Selasa, Agustus 26, 2025

Di Dunia yang Gila Kerja, Pulang Tepat Waktu adalah Dosa

Ferika Sandra Salfia
Ferika Sandra Salfia
Belajar Menulis untuk Menertibkan Pikiran.
- Advertisement -

Di dunia kerja hari ini, loyalitas sering disamakan dengan satu hal, kesediaan ditindas sambil tetap tersenyum. Datang tepat waktu bukan prestasi, tapi pulang tepat waktu justru dianggap dosa. Ironisnya, di tengah euforia digitalisasi dan jargon manajemen seperti well-being, employee engagement, dan work-life balance, kita masih dihantui logika colonial, pegawai yang setia adalah yang tak pulang sebelum atasannya pulang. Lebih ekstrem lagi, yang tetap siaga menunggu perintah meskipun sudah di rumah, menonton Netflix sambil makan mi instan.

Di sinilah para karyawan tenggo (teng, langsung go) menjadi korban stigma. Padahal yang mereka lakukan sederhana, mematuhi jam kerja. Masuk sesuai jadwal, bekerja dengan baik, lalu pulang. Tetapi di banyak kantor, pekerja yang pandai menjaga batas justru kalah apresiasi dibanding mereka yang “tahan gencet” dan selalu siap lembur tanpa batas.

Tenggo dan Kutukan Jam Pulang

Di sejumlah perusahaan, tenggo bukan sekadar kebiasaan, melainkan kelainan. Seseorang yang pulang tepat waktu bisa langsung dicap kurang loyal, tidak cinta pekerjaan, atau lebih halus, kurang inisiatif. Ironisnya, datang lima belas menit lebih awal dianggap biasa, tapi pulang tepat waktu dianggap kriminal.

Fenomena ini lahir dari standar ganda yang masih mengakar. Disuruh datang tepat waktu, tetapi giliran pulang tepat waktu, malah dipelototi. Tidak membalas pesan grup kantor setelah jam tujuh malam pun sering diartikan sebagai kurang solider. Padahal, pulang tenggo tidak berarti tidak berdedikasi. Bisa saja pekerjaan hari itu sudah selesai, bahkan sebagian tugas besok sudah dikerjakan. Tetapi di banyak kantor, penilaian bukan berdasar capaian, melainkan jam pulang.

“Mampu Bekerja di Bawah Tekanan”: Slogan atau Perangkap?

Di tengah absurditas itu, syarat mampu bekerja di bawah tekanan makin sering muncul di iklan lowongan. Jika yang dimaksud adalah sanggup mengejar tenggat waktu yang wajar, tentu bisa dimengerti. Namun, di banyak tempat, tekanan justru berarti siap lembur tanpa dibayar, siap diganggu di hari libur, siap menerima telepon tengah malam hanya karena atasan teringat sesuatu, hingga siap memahami mood bos yang berubah setiap menit.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Seorang rekruter mengatakan, loyalitas adalah kemauan untuk diganggu kapan pun, bahkan saat liburan atau tengah malam. Menurutnya, pegawai yang benar-benar loyal akan menjawab semua panggilan, merespons semua pesan, dan siap bekerja di mana pun, kapan pun. Work-life balance? Katanya, itu hanya mitos orang malas.

Beginilah standar loyalitas hari ini, bukan soal kualitas kerja, melainkan seberapa rela kita mengorbankan waktu hidup. Tidak heran jika burnout kini menjadi kata yang akrab di telinga para pekerja muda. Data statistik berbicara, survey yang dilakukan oleh Forbes menunjukkan bahwa sekitar 60% pekerja mengalami burnout. Kondisi tersebut mencakup kelelahan fisik, mental, dan emosional dari tekanan kerja kronis.

Ini bukan angka kosong. Lembur berlebihan tanpa kompensasi memicu stres dan penurunan produktivitas, sebuah ironi, mengingat lembur biasanya dianggap tanda loyalitas dan yang lebih parah adalah tidak mendapatkan kompensasi lembur.

Loyalitas: Komitmen atau Perbudakan Waktu?

Loyalitas yang sehat seharusnya berakar pada komitmen terhadap nilai dan tujuan organisasi. Pegawai loyal bukan berarti pegawai yang tidak punya kehidupan. Mereka bisa tetap berkontribusi maksimal sambil menjaga waktu istirahat. Namun, di Indonesia, loyalitas kerap diterjemahkan sebagai pengabdian total, yang dalam praktiknya mendekati perbudakan korporat berbalut slogan cinta pekerjaan.

Budaya tenggo-phobia ini nyata adanya, sistem absen yang ketat hanya saat datang, HRD yang memasukkan jam kerja ke penilaian kinerja tanpa menghitung output, hingga pimpinan yang memperlakukan WhatsApp kantor sebagai kanal komunikasi 24 jam yang wajib direspons dalam lima menit. Pegawai yang berani membela batas kerja-hidup pun sering dicap tidak fleksibel.

- Advertisement -

Padahal, tenggo kerap menjadi tanda efektivitas kerja. Karyawan yang mampu mengelola waktu dan fokus pada prioritas bisa menyelesaikan tugas tanpa lembur. Sementara mereka yang sering pulang larut belum tentu produktif, bisa saja waktunya habis untuk nongkrong di pantry atau diam-diam bermain Plants vs. Zombies.

Saatnya Mengembalikan Kewarasan

Menormalisasi tenggo adalah langkah awal menuju budaya kerja yang manusiawi. Ini bukan pembenaran bagi pegawai yang lari dari tanggung jawab, melainkan pengakuan bahwa setiap pekerja punya keluarga, tubuh yang perlu istirahat, dan kehidupan di luar pekerjaan.

Sudah waktunya kita berhenti mengukur loyalitas dari seberapa lama pegawai berada di kantor atau seberapa cepat ia membalas pesan tengah malam. Loyalitas adalah soal nilai, bukan soal waktu. Pulang tepat waktu bukan tanda kurang setia, tetapi bentuk disiplin dan penghormatan pada sistem kerja yang sehat.

Jika atasan masih menganggap loyalitas berarti siap lembur gratis, diganggu kapan saja, dan tak butuh istirahat, maka yang bermasalah bukan pegawainya, melainkan sistem kerja itu sendiri—sistem yang tidak loyal pada kesehatan pegawai, abai pada kemanusiaan, dan mengabaikan masa depan tenaga kerja.

Perusahaan yang sehat bukanlah yang pegawainya tahan ditekan, melainkan yang pegawainya bisa pulang tenang tanpa beban. Hidup Karjimut, Karyawan Bergaji Imut!

Ferika Sandra Salfia
Ferika Sandra Salfia
Belajar Menulis untuk Menertibkan Pikiran.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.