Kamis, November 7, 2024

Demagog Proteksionisme di Pilpres 2019

Aurelia Vizal
Aurelia Vizal
Siswi SMA yang aktif menulis dan menjadi pembicara isu-isu sosial dan politik. Kini sedang sibuk menyusun prioritas.
- Advertisement -

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 1 — 3 November 2018, lebih dari 1.000 pelaku bisnis dan tokoh politik internasional menghadiri acara The 16th Asia Pasific Conference of German Business (APK). Perhelatan APK ini diharapkan bisa mengenalkan potensi bisnis di Indonesia.

Dalam acara tersebut, ada pembahasan mengenai “Connecting Asia and Europe: Belt and Road and Beyond” pada Jumat, 2 November dengan panelis Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, CEO dan President Siemens AG Joe Kaeser, Deputy Chairman dan CEO HSBC Asia Peter Wong dan Anggota Parlemen Eropa Reinhard Buetikofer. Sri Mulyani Indrawati juga turut menyampaikan fokus dan prioritas Indonesia dalam pembangunan infrastruktur untuk menciptakan konektivitas antar-wilayah.

Selain itu, topik yang dibahas sangat beragam, mulai dari inovasi, infrastruktur, kecerdasan buatan, urbanisasi, hingga stabilitas politik dibahas dalam perhelatan acara tersebut, di salah satu hotel di kawasan Sudirman Central Business District atau SCBD Jakarta.

Suatu hal menarik yang mengundang perhatian di media adalah pernyataan Menteri Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier yang mengungkapkan, “Mari membentuk aliansi global yang mendukung ekonomi pasar, inilah yang dibutuhkan dunia, bukan proteksionisme.”

Sangat berlawanan dengan pandangan publik yang hingga kini begitu anti terhadap kegiatan ekspor-impor, hingga dianggap sebagai salah satu bentuk kolonialisme modern. Saat rakyat yang tidak tahu sistem kerja pasar, mudah saja memberikan pidato menyentuh sanubari dan membangkitkan rasa kamerad, bahwasanya kegiatan impor hanya akan memperluas cengkraman ‘Aseng dan Asing’ dalam perekonomian Indonesia.

Strategi kampanye Prabowo yaitu fear mongering dan mengedepankan proteksionisme membuat saya déjà vu terhadap pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu. Seperti seruan-seruan macam; Indonesia bisa ‘berdikari’, swasembada pangan, Indonesia tanpa impor, anti Aseng Asing, dan lain-lain.

Dari pemilu 2014 lalu, menurut survei dari Deutsche Bank, banyak investor asing berniat menjual aset mereka jika Prabowo Subianto memenangkan kursi presiden. Sebaliknya, menurut riset institusi Morgan Stanley yang berbasis di Manhattan, partisipan pasar luar negeri mengharapkan kemenangan Joko Widodo karena beliau dianggap lebih reform-minded dibandingkan rivalnya.

Hal ini dibuktikan dengan indeks saham acuan Indonesia naik lebih dari tiga persen saat ia mengumumkan keikutsertaannya dalam pemilu 2014. Tidak sampai disitu, eits..bagaimana pun di sini saya tidak mau mendukung kedua belah pihak. Tidak mau kalah, Joko Widodo dalam Pemilu 2014 sampai pada unggahan Instagramnya kemarin juga turut menyemarakan pesta swasembada, agar terdengar nasionalis. Beberapa kali juga beliau menyinggung kebijakan-kebijakan proteksionisme, seperti kuota impor dalam pidatonya.

Lalu, apakah proteksionisme itu sendiri akan menyejahterakan rakyat?

Sederhananya seperti ini, Tejo ingin membeli seperangkat alat sholat yang diproduksi di Madinah, Arab Saudi sebagai mahar untuk meminang Surti. Tapi, Pak Kades memaksa Tejo untuk membeli seperangkat alat shalat lokal buatan tangan asli Purworejo.

- Advertisement -

Tejo harusnya melakukan transaksi dengan Abdullah, atau mencari pedagang alat shalat lain yang ia kira sesuai dengan seleranya atau kebutuhannya di pasar internasional. Pak Kades memaksanya untuk melakukan kegiatan jual-beli dengan Bowo, Bowo kini memonopoli semua usaha alat shalat atas kerjasama dengan Pak Kades. Ia mematok harga sangat tinggi, sehingga terjadi kelangkaan pernikahan di daerah itu.

Disini, Tejo adalah kita; warga negara yang seharusnya memiliki kehendak bebas dalam menentukan produk yang ingin kita beli, Pak Kades adalah pemerintah, sedangkan Bowo adalah pebisnis dalam negeri yang bisa seenaknya menetapkan harga atas komoditas tertentu karena ia memonopoli ranah bisnis tersebut.

Kalian yang merasa terproteksi, dengan kebijakan ini hanya merasakan ilusi sekuritas yang semata-mata justru melanggengkan kekuasaan kroni-kroni pemerintah di perekonomian dalam negeri. Seperti kebijakan Soeharto pada Orde Baru yang malah meningkatkan angka korupsi, dan KKN secara keseluruhan. Hingga beliau masuk ke urutan pertama dalam The World’s All-Time Most Corrupt Leaders menurut majalah Forbes, dengan sumber laporan dari Transparency International, Global Corruption Report 2004.

Presiden Trump pernah berkata bahwa kebijakan proteksionismenya akan membantu mereka untuk save jobs di AS. Hal ini justru mengakibatkan deadweight loss, atau unrecovered loss of social welfare.

Penurunan keunggulan komparatif akan menekan angka produktivitas, oleh karena itu juga turut menekan angka upah riil. It’s worthwhile for people to sell what they are more efficient at producing and to buy what others are comparatively better at producing.

Dengan ini, produktivitas meningkat dan semua pelaku ekonomi dapat diuntungkan. Perdagangan bukanlah permainan zero sum, di mana kemenangan harus diimbangi dengan kerugian. Perdagangan internasional akan menambah kompetisi, menggenjot inovasi, meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu.

Usaha pemerintah proteksionis di negaranya sering kali akrab terdengar di telinga kita, seperti tarif dan kuota impor. Kuota biasanya digunakan untuk melindungi industri baru dan menjaga biaya masuk pasar rendah untuk produsen domestik (biasanya pemberlakuan kuota ini bertahan lama setelah industri tersebut tumbuh). Jika negara A memberlakukan kuota impor, negara B yang merupakan partner dagangnya akan memberlakukan itu juga. Hasil akhirnya adalah peluang ekspor yang sedikit untuk produsen dan harga yang lebih tinggi untuk konsumen.

Labour wages terpengaruh oleh produktivitas. Pekerja dengan produktivitas yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak output dengan input yang sama. Karena perusahaan dapat menjual surplus dari output tambahan ini untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi, perusahaan bersedia membayar pekerja yang produktif dengan upah yang lebih tinggi.

“workers’ wages are equal to the marginal revenue product of their labor.”

Proteksionisme juga tidak memberi proteksi terhadap semua sektor bisnis secara keseluruhan. Melainkan hanya satu sektor. Contoh, pada 2002 George W. Bush memberlakukan tarif atas baja impor, dan masalahnya, kebijakan tersebut turut menaikkan harga baja domestik.

Negara membayar semua itu dengan membayar dengan biaya yang lebih tinggi untuk semua produk yang berbahan baja. Kebijakan Presiden Bush berakibat pada PDB Amerika Serikat, investasi kapital, dan pengangguran, dimana 200.000 lapangan kerja hilang sebagai gantinya. Setelah tarif Bush diberlakukan, produsen suku cadang otomatis meninggalkan AS sehingga mereka dapat membuat baja yang lebih murah dan kemudian mengirimnya kembali ke AS — memotong pekerjaan untuk pekerja Amerika sekaligus menghindari tarif.

Jadi, jika kalian dengar pemerintah berkoar-koar tentang tarif yang akan menyelamatkan ‘wong cilik’ dari kemelaratan itu hanyalah demagog. Proteksionisme juga dapat mengakibatkan distorsi pasar dan menurunnya efisiensi alokatif.

The philosophy of protectionism is a philosophy of war.” –Ludwig von Mises

Aurelia Vizal
Aurelia Vizal
Siswi SMA yang aktif menulis dan menjadi pembicara isu-isu sosial dan politik. Kini sedang sibuk menyusun prioritas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.