Kamis, April 18, 2024

Dekonstruksi Makna Disabilitas

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Bukan kebetulan bahwa pada setiap tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Peringatan yang bukan sekadar seremoni itu menandai bahwa masih ada hal atau masalah serius yang perlu dan penting untuk selalu dikaji ulang terkait dengan disabilitas. Khususnya berkenaan dengan istilah disabilitas yang masih dipandang semata-mata hanyalah eufimisme dari kata “cacat” atau “tuna”, seperti tuna rungu, tuna wicara dan tuna netra misalnya.

Dalam Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 2016 dirumuskan bahwa penyandang disabilitas adalah “setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Rumusan itu tampak masih samar, bahkan ambigu, karena tetap memandang disabilitas sebagai bentuk dari keterbatasan dan menghadirkan hambatan atau rintangan (handicap). Tentu secara fisiologis, disabilitas menunjuk pada “kekurangan” dari seseorang yang karena satu dan lain hal menjadi tuli, buta atau lumpuh sekalipun. Namun, justru di balik hal itu, ada beragam “kekuatan” yang jarang diperhatikan alias diabaikan sehingga menjadi tampak lebih manusiawi dan bermartabat untuk difasilitasi dengan berbagai seperangkat alat bantu.

Padahal hal yang melekat pada disabilitas adalah penampakan dari yang tak terbatas dari keterbatasan itu sendiri. Contohnya, dapat ditemukan pada orang-orang yang mengalami kesulitan dalam hal pendengaran, namun toh tetap dapat berkarya di panggung kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Ludwig van Beethoven yang mampu menggubah maha karya musik klasik kelas dunia dengan judul Simfoni No. 9.

Karya ini adalah simfoni terakhir yang digubahnya justru pada saat dia mengalami ketulian pada tahun 1824. Itu artinya, simfoni sepanjang 75 menit itu dapat dinikmati oleh para pendengar musik klasik, tetapi tidak oleh sang maestronya sendiri. Dan, penting untuk dicatat bahwa maha karyanya itu sama sekali tidak membuat Beethoven mendadak kaya raya alias menjadi jutawan, melainkan tetap miskin dan menanggung banyak derita.

Begitu pula dengan tokoh sastrawan ternama, Pramoedya Ananta Toer (PAT), yang mengalami ketulian saat menulis novel tetraloginya, yaitu Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Dengan status sebagai tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, beliau justru mampu menghasilkan maha karya sastra, sebagaimana dikerjakan pula oleh Beethoven, tidak hanya untuk bangsanya, melainkan juga untuk seluruh dunia.

Seperti ditunjukkan oleh Rudolf Mrazek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happy Land. Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (YOI, 2006), bahwa mahakarya sastra yang sempat dilarang di masa rezim militer Orde Baru dan dikandidatkan untuk mendapatkan penghargaan nobel yang adalah bukti bahwa “hanya orang tuli yang dapat mendengar dengan baik” (Only the deaf can hear well).

Sebab ketulian PAT yang diakibatkan oleh siksaan selama menjadi tahanan politik Orde Baru tidak membuatnya patah semangat, tetapi justru semakin menggugah rasa batinnya untuk tetap berkarya di tengah keterbatasan. Dengan “menulikan”, atau lebih tepatnya mengabaikan, segala yang telah membuatnya hancur berantakan, PAT justru mampu mengolah daya cipta, karsa, dan rasanya menjadi sebuah mahakarya sastra.

Mahakarya yang mengisahkan bagaimana sebuah bangsa berjuang menemukan identitasnya yang tidak sekadar puas bermental pribumi atau inlander, melainkan merdeka sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjarifoeddin.

Maka, berdasar pengamatan mendalam dari Robertus MKDS sebagai salah seorang pegiat dalam advokasi penyandang disabilitas, istilah yang tersurat dalam produk perundangan di atas sesungguhnya merupakan salinan dari produk di tingkat global. Sebagaimana termaktub dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang diadopsi oleh kantor pusat PBB di New York pada 13 Desember 2006 dan mulai diberlakukan sejak 3 Mei 2008, istilah itu jelas merupakan terjemahan literal dari Person with Disabilities (PwD).

Dalam konteks gerakan advokasi, memang istilah disabilitas digunakan dengan intensi yang amat berbeda, bahkan bertentangan, dengan impairment atau handicap (cacat). Itulah mengapa istilah itu dihadirkan untuk menolak segala bentuk pelabelan yang merendahkan, bahkan meminggirkan, seperti “cacat” atau “tuna”. Dengan istilah itu, para pegiat advokasi hak-hak disabilitas (Disabled People Organization) memilih menggunakan kata langsung tanpa eufemisme seperti tuli daripada tuna rungu atau buta daripada tuna netra.

Oleh sebab itu, istilah disabilitas sesungguhnya berpretensi untuk mendekonstruksi ketidaksetaraan partisipasi yang diakibatkan oleh beragam konstruk sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan berdasar halangan atau rintangan dari beragam “kecacatan” atau “ketunaan”. Dengan kata lain, istilah itu semakin memungkinkan para penyandang disabilitas untuk tidak takut lagi berpartisipasi dan menyuarakan apa yang menjadi kepentingan mereka.

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.