Tak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang menganggap disabilitas adalah sebuah aib yang memalukan. Keluarga dan kerabat penyandang disabilitas pun sering tidak terbuka terhadap lingkungan disekitarnya. Hal inilah yang membuat para penyandang disabilitas sering kali tidak memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat pada umumnya.
Penyandang disabilitas selalu diidentikkan dengan orang sakit yang harus selalu dirawat dan dikasihani. Stigma masyarakat pun muncul bahwa kaum disabilitas adalah mereka yang selalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tak bisa berdiri di kakinya sendiri hingga membuat mereka terlepas dari belenggu pendidikan dan pekerjaan. Tak jarang, mereka dianggap sebagai beban, baik di keluarga maupun di lingkungan sekitarnya.
Diskriminasi disabilitas menurut saya terlahir karena kesalahan masyarakat dalam memahami arti disabilitas itu sendiri. Gengsi yang tinggi membuat para disabilitas dikucilkan bahkan oleh keluarganya sendiri. Banyak yang menganggap bahwa disabilitas itu hanya perlu dikasihani. Padahal, mereka sebenarnya hanya membutuhkan support dari keluarga dan lingkungan sekitarnya agar mereka dapat mandiri selayaknya warga Negara Indonesia lainnya.
Stigma-stigma tentang disabilitas itu memang tak pernah bisa sepenuhnya dihilangkan dari benak masyarakat. Namun, setidaknya diskriminasi itu secara perlahan berkurang seiring dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Masyarakat pun perlahan mulai melek akan kesetaraan dan keadilan hak asasi manusia.
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2016, telah dijelaskan bahwa penyadang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Mereka diberikan kesempatan yang sama dalam segala hal untuk menyalurkan potensi ke dalam segala aspek penyelenggaraan Negara dan masyarakat. Aksesibilitas untuk mewujudkan kesamaan kesempatan itu pun dijanjikan untuk disediakan oleh Negara.
Pasal-pasal dalam UU tersebut akhirnya sedikit demi sedikit mulai dijalankan oleh instansi dan lembaga terkait. Di tingkat perguruan tinggi misalnya, ada empat kampus di Indonesia yang telah berkembang menjadi pelopor kampus ramah disabilitas. Kampus-kampus tersebut diantara lain adalah UIN Sunan Kalijaga, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Surabaya, dan Politeknik Negeri Jakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak kampus-kampus di Indonesia-baik negeri maupun swasta-yang mulai berkembang menjadi kampus ramah disabilitas. Kampus-kampus tersebut mulai menggalakkan pembangunan fasilitas yang dapat memudahkan aksesibilitas para penyandang disabilitas. Mulai dari pengadaan lift dengan tombol braille, tangga ramah disabilitas, perpustakaan, toilet, dan fasilitas lain yang selayaknya diterima oleh seorang mahasiswa.
Gencarnya pembangunan fasilitas dan persiapan kampus untuk menyambut penyandang disabilitas di perguruan tinggi pun harus diboncengi dengan kesiapan mahasiswa aktif kampus tersebut untuk menerima penyandang disabilitas sebagai bagian dari mereka. Mahasiswa sebagai orang pertama yang akan berinteraksi secara langsung dengan para penyandang itu harus mempunyai empati untuk menerima para disabilitas sebagai bagian dari mereka. Tak sepatutnya ada kasus bullying bahkan diskriminasi yang muncul akibat stigma negatif yang ada pada benak para mahasiswa.
Selain UU Nomor 8 tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan peraturan Nomor 52 tahun 2019 tentang penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi penyandang disabilitas, yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada Juli 2019. Ketetapan tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, menjamin pelaksanaan fungsi sosial dan meningkatkan kesejahteraan sosial yang bermartabat bagi penyandang disabilitas, serta mewujudkan masyarakat Inklusi.
Masyarakat inklusi dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan serta diharapkan dapat melibatkan mereka yang berbeda ke dalam berbagai tatanan dan infrastruktur yang ada. Keberagaman dan perbedaan yang dimaksud adalah para penyandang disabilitas.
Upaya Presiden Jokowi untuk menghilangkan stigma negatif tentang penyandang disabilitas itu pun mulai terlihat jelas. Berawal dari UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas yang disahkan pada periode pertama jabatannya, Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2019, hingga diangkatnya staf kepresidenan yang mempunyai keterbatasan pendengaran.
Angkie Yudistia adalah Juru Bicara Presiden Bidang Sosial yang diangkat pada November 2019 oleh Presiden Jokowi. Keterbatasan Angkie yang ia dapat sejak umur 10 tahun tak pernah menghalanginya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia kini menjelma menjadi wanita tunarungu dengan segudang prestasi. Dukungan kuat dari keluarga dan orang-orang terdekatnyalah yang membuat ia bisa sampai di titik ini.
Angkie dan keluarganya adalah contoh nyata dari pemahaman yang benar atas arti disabilitas. Dari berbagai artikel yang ada di media, disebutkan bahwa keluarga Angkie tak pernah menganggap disabilitas Angkie sebagai sebuah aib yang harus disembuyikan. Mereka membantu Angkie bangkit dan mendorongnya untuk selalu teguh dalam menggapai mimpinya.
Selepas diangkatnya Angkie menjadi staf Presiden, terdapat perubahan cara pandang orang-orang dilingkungan saya tentang disabilitas. Melihat sosok Angkie dapat merubah perspektif negatif tentang disabilitas yang dianggap hanya menjadi beban dan hanya bisa bergantung pada orang lain. Karena nyatanya, Angkie bisa sukses dengan keterbatasan yang dimilikinya.
Angkie hanyalah satu dari ribuan penyandang disabilitas yang ada di Indonesia. Dan dari Angkie saya belajar bahwa keterbatasan tak menjamin masa depan yang suram, seperti kata orang-orang. Walaupun pemerintah belum sepenuhnya memberikan fasilitas untuk para disabilitas, mereka tetap bisa melesat jauh meninggalkan orang-orang yang pernah memandang mereka sebelah mata.
Upaya pemerintah untuk menjadikan Indonesia ramah disabilitas tak akan menuai kesuksesan apabila tak ada dukungan dari warga negaranya. Menghentikan diskriminasi dan menghilangkan stigma negatif adalah satu cara mudah untuk mendorong maju disabilitas. Disabilitas bukanlah aib yang harus disembunyikan, tak perlu pula belas kasihan yang terlalu dalam. Mereka hanya butuh dorongan agar terus maju dan berkembang.