Rabu, April 17, 2024

Debottlenecking Pendidikan Madrasah

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan
Saya seorang guru yang hobbi menulis

Istilah debottlenecking pernah popular pada awal pemerintahan Presiden SBY Jilid 2 yang berarti mengurai masalah. Debottlenecking dalam hal ini merujuk pada keadaan untuk mengurai masalah-masalah besar (pendidikan) menjadi masalah masalah kecil dan sederhana sehingga dengan mudah dapat dicari solusinya.

Tapi percayalah, ada 7 (tujuh) ayat yang menggerogoti kualitas pendidikan di madrasah: (1) Cukup bangga, puas dengan membangun sekolah/madrasah megah tanpa pembangunan ‘software’ pendidikan; (2) Bangga dan menyanjung dan mungkin ‘berlindung ‘hanya’ satu sekolah/madrasah (baca-sekolah/madrasah unggul) tetapi mengabaikan ratusan sekolah yang lain, sekaligus bangga membandingkan keunggulan sekolah/madrasah unggul dengan kelemahan sekolah/madrasah ‘biasa’; (3) Kebijakan bidang pendidikan bukan berdasarkan kajian ilmiah tetapi lebih banyak bersifat politis dan berprinsip ‘yang penting ada program; (4) Puas, bangga dan berlidung di bawah angka 100% lulus, 100% berhasil, mementing output dari proses pembelajaran sehingga diasumsikan membiarkan guru ‘hanya’ mengajar tapi miskin mendidik.

Dan jika didata, permasalahan pendidikan di madrasah setidaknya menyangkut beberapa hal berikut: (1) Rendahnya sarana fisik; (2) Rendahnya kualitas guru; (3) Rendahnya kesejahteraan guru; (4) Rendahnya prestasi siswa; (5) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan; (6) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan; (7) Mahalnya biaya pendidikan (Basuki,2010).

Yakinlah, pendidikan itu bukan hanya proses yang mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada siswa. Pendidikan seharusnya menjadi sebagai bagian integral dari strategi perjuangan mewujudkan cita-cita siswa.

Oleh karena itu, pendidikan harus dipastikan fungsional. Pendidikan seharusnya mampu berkontribusi dalam pembentukan karakter siswa dan peradaban luhur yang menjamin  keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hasil proses pendidikan harus bisa ‘terpakai’ oleh siswa baik dalam kehidupannya atau untuk mencari atau menciptakan pekerjaan.

Politik pendidikan mestinya ramah dengan pendidikan: (a) kebijakan pendidikan bebas dari pengaruh/kepentingan politik; (b) birokrat yang ditunjuk mengelola pendidikan mestinya bukan partisan tetapi professional; (c) anggaran pendidikan tidak dipolitisir; (d). ada keberanian mengubah paradigm berpikir; (e) memberdayakan SDM berkualitas; (f) Menekankan pendidikan karakter (Basuki, 2010).

Ada 7 (tujuh) ayat untuk mengurai masalah pendidikan: pertama, meletakkan pendidikan pada karakter bangsa. Pendidikan mestinya bisa menjadi inspirasi, pengobar semangat dan mampu berfungsi sebagai human capital sebuah bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai inti, yaitu dapat dipercaya/amanah, hormat, tanggungjawab (responsibility), kejujuran, kasih sayang, dan kewarganegaraan (oregonstate.edu/instruct/anth370/gloss.html).

Kedua, mestinya dibuat SOP bahwa madrasah tidak bisa begitu saja diwakilkan kepada kepala sekolah, madrasah memiliki stakeholder: masyarakat sekitar, Pemda, siswa, orang tua siswa, pegawai, dan guru. Setiap kebijakan mestinya elemen ini mesti didengar ‘suaranya’, diminta masukan, saran, pendapat untuk pengembangan madrasah. Jangan anggap, elemen ini ‘tidak ada’.

Ketiga, memberdayakan tenaga pendidik yang mampuni yang bisa membelajarkan siswa yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Para guru diberi kesempatan untuk memperbaharui pengetahuan, bersikap terbuka terhadap hal-hal baru dan bersikap bersedia membantu (Wardhani, 2010) dengan meyelenggarakan seminar, diklat, workshop, penataran, dll yang bermutu dan bermakna yang dilandasi oleh need analysis madrasah yang didahului dengan preliminary dan feasibility study, bukan hanya program atau acara seremonial belaka.

Keempat, kepada stakeholder madrasah’ harus rajin rajin’ turun ke lapangan untuk melihat secara komprehensif kondisi riil tentang implementasi kurikulum 2013; 1) apakah madrasah sudah menggunakan dana BOS untuk menyiapkan buku untuk proses pembelajaran?; 2) apakah guru sudah menggunakan scientific approach untuk proses pembelajaran? 3) apakah guru sudah melakukan penilaian autentik?; 4) apakah guru sudah melakukan perencanaan pembelajaran dengan benar?, dll.

Keberhasilan guru tidak hanya diukur dari seberapa tinggi nilai siswa, tapi juga seberapa banyak siswa yang melanjutkan ke PTN melalui jalur SNMPTN, SBMPTN atau SPAN-PTKIN, dll dengan mengambil jurusan yang diampu guru. Jika siswa mengambil jurusan yang diampu guru berarti guru itu berhasil membelajarkan siswa dengan baik. Ini yang jarang diperhatikan oleh stakeholder madrasah.

Kelima, membentuk forum komunikasi guru sebagai ajang bagi para guru untuk berdiskusi tentang problematika proses pembelajaran secara ilmiah untuk menerjemahkan, menguraikan, melaksanakan, mengevaluasi, dan memberi umpan balik kepada tim penyusun kurikulum. Diforum ini guru ‘bersuara’ dan mencari solusi sendiri tentang masalah pembelajaran.

Kurangi kegiatan yang kurang substantif, misalnya diklat kearsipan, protokoler atau kehumasan. Negara tidak akan runtuh bila kegiatan ini tidak dilaksanakan, tapi negara akan mundur bila guru tidak dilatih dengan benar.

Keenam, reformasi pelatihan guru. Selama ini pelatihan guru madrasah berbasis regional artinya apapun pelatihan guru ‘wajib hukumnya’ dilakukan di Balai Diklat Keagamaan, untuk Provinsi Jambi, Riau, Kepulauan Riau dan Sumetara Barat,  Balai Diklat berpusat di Padang, Sumatera Barat.

Artinya, persaingan guru untuk mengikuti pelatihan yang ‘hanya boleh’ dikuti 30 orang meliputi guru guru di 4 (empat) provinsi ‘luar biasa’ ketat. Ada kemungkinan ‘sampai pensiunpun’, ada guru madrasah tidak akan ‘mencicipi’ rasa pelatihan. Memang cukup menyedihkan.  Sedang pelatihan guru sekolah umum berbasis kabupaten dan/atau provinsi.

Ketujuh, keluar dari zona nyaman. Ada miskonsepsi, sebuah madrasah dianggap tidak bermasalah bila tidak ada berita ‘miring’ tentang madrasah itu, misalnya demo, tawuran, mogok belajar, siswa terlibat kriminal, siswa tidak lulus UN, dll.

Tapi sebenarnya, madrasah itu bermasalah bila: 1) siswa ‘tenang’ karena tidak belajar, karena madrasah tidak menyiapkan buku pelajaran; 2) guru Cuma menenangkan supaya tidak ribut, tapi tidak belajar sesuai tuntutan kurikulum; 3) terlalu terfokus pada kegiatan ekstra kurikuler, kadang kadang mengabaikan intra kurikuler; 4) tidak ada siswa yang berminat melanjutkan kuliah di PTN, karena tidak ada motivasi dari guru; 5) tidak ada kegiatan ‘akademik’ untuk guru, dll.

Sudah saatnya, Madrasah berbenah, ayo kita mulai!

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan
Saya seorang guru yang hobbi menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.