Dua calon presiden (Capres), Jokowi dan Prabowo, mengikuti debat ke-4 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabtu, 30 April 2019. Debat ini mengangkat tema Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Kemanan, dan Hubungan Internasional.
Namun, artikel ini hanya berfokus analisis ilmu Hubungan Internasional (HI) terhadap ide dan gagasan yang disampaikan dua Capres pada sesi uji panelis terakhir dengan sub-tema debat, yaitu Hubungan Internasional (HI).
Pada sesi debat uji panelis terakhir yang membahas Hubungan Internasional, dua Capres memberikan pernyataan-penyataan tentang pandangan mereka terhadap HI. Pada sesi ini, pertanyaan dari panelis adalah bagaimana strategi Capres dalam mengajukan keunggulan Indonesia dalam diplomasi internasional.
Menjawab pertanyaan tersebut, Jokowi menawarkan potensi Indonesia melalui identitas Indonesia sebagai negara muslim terbesar, potensi Indonesia sebagai mediator dan juga menawarkan produk-produk dalam perdagangan ke negara lain.
Kekuatan kita sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini bisa kita jadikan sebagai modal besar bagi kita berdiplomasi dengan negara-negara lain, termasuk juga dalam kita menawarkan produk-produk-produk dalam perdagangan dengan luar negeri, ekspor.
Saya kira ini juga menjadi sebuah kekuatan yang besar. Potensi-potensi yang ada di negara kita produk-produk yang memiliki kualitas yang baik yang masuk ke negara-negara yang memiliki penduduk muslim juga menjadi salah satu kekuatan negara kita. Ujarnya dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Berbeda dengan Jokowi, Prabowo menekankan pentingnya dukungan kekuatan militer dalam diplomasi internasional Indonesia. Prabowo menyampaikan bahwa diplomasi tidak bisa hanya dengan menjadi mediator. Itu penting. Tetapi, ujungnya, diplomasi itu harus merupakan bagian dari upaya mempertahankan kepentingan nasional inti sebuah negara dan untuk itu diplomasi hanya bisa dan harus di back up dengan kekuatan. Prabowo menekankan kalkulasi kekuatan militer sebagai prioritas utama dibandingkan dengan peran sebagai mediator dalam diplomasi internasional.
Merespon tanggapan prabowo, Jokowi menyampaikan bahwa yang utama dari diplomasi internasional adalah kepentingan nasional, perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri dan hubungan perdagangan dan investasi dengan negara lain.
Saya melihat perkembangan sekarang ini baik di PTA, FTA, SEPA, kita memiliki kemajuan yang sangat besar. PTA (Preferential Trade Agreement), kita melihat bahwa disitu hal hal yang berkaitan dengan tarif dan non tarif itu bisa dibicarakan apabila memang diplomat diplomat kita memiliki kemampuan dalam bernegosiasi dengan negara lain.
Kemudian juga yang berkaitan dengan FTA (Free Trade Agreement) yang berkaitan dengan tarif dan perdagangan, kita juga memiliki diplomat-diplomat yang sangat pinter dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan perjanjian itu dan SEPA scope yang lebih luas untuk investasi dan perdagangan, kita juga telah bertanda tangan dengan Australia dengan catatan produk-produk kita bisa masuk kesana dengan tarif yang lebih rendah. Ujar Jokowi merespon pernyataan Prabowo.
Terakhir pada sesi tersebut, Prabowo menyampaikan psimis terhadap kekuatan pertahanan Indonesia yang menghambat pencapaian core national interest atau kepentingan nasional inti. Jadi, saya berpendapat kita bisa mempertahankan core national interest kita kalau ada negara asing kirim pasukan hari ini ke salah satu wilayah kita , saya kira kita berada dalam posisi yang sangat lemah. Jadi ini yang saya mohon perhatian. Silahkan ketawa kalau negara kita lemah, silahkan!. Ujar Probowo menutup sesi uji panelis.
Untuk menganalisis pernyataan-pernyataan tersebut, ada dua perspektif HI yang dapat digunakan, yaitu Liberalisme dan Realisme. Liberalisme dapat digunakan untuk mengambarkan perspektif Jokowi dalam memandang hubungan Indonesia dengan negara lain, sedangkan Realisme dapat digunakan untuk mendeskripsikan perspektif Prabowo dalam memandang persoalan-persoalan luar negeri Indonesia.
Walaupun fokus utama dua teori tersebut adalah pembahasan tentang aktor negara, sikap dan prilaku individu atau pemimpin negara juga dapat digambarkan dan dianalisis, karena pada dasarnya dalam sebuah negara pemimpin memberikan pengaruh terhadap kebijakan negara.
Liberalisme dapat digambarkan dengan beberapa asumsi-asumsi. Pertama, dalam liberalisme, manusia dipandang sebagai insan yang pada dasarnya memiliki sifat baik. Kedua, dalam sistem internasional yang anarki, kerjasama dapat dilakukan untuk mencapai perdamaian. Ketiga, permasalahan ekonomi seperti perdagangan dan investasi lebih relevan untuk dibahas daripada permasalahan keamanan dan konflik.
Keempat, orang-orang yang memiliki pemikiran liberalis lebih optimis terhadap perdamaian dalam pergaulan di dalam sistem internasional yang anarkis. Berdasarkan pernyataan-pernyataan Jokowi dalam debat, gagasan terkait identitas, perdagangan dan investasi menjadi pembahasan utama, sehingga hal ini sangat berkaitan erat dengan pemikiran liberalisme.
Adam Smith, seorang tokoh liberalisme menyampaikan bahwa a certain propensity in human nature…to truck, barter, and exchange one thing for another…it is common to all men. Pernyataan Jokowi tentang PTA, FTA, dan SEPA mengindikasikan gagasannya mendukung asumsi liberalisme. Bagi Jokowi, permasalahan ekonomi menjadi fokus utama.
Sedangkan, realisme adalah kebalikan dari liberalisme. Pada dasarnya, sifat manusia adalah buruk. Manusia satu dan lainnya saling mengalahkan satu dan lain untuk merebut kekuasaan atau dikenal dengan istilah homo homini lupus. Realisme memandang bahwa suatu negara tidak dapat mengharapkan pertolongan dari negara lain.
Realisme memandang psimis terhadap kerjasama yang membawa perdamaian, karena manusia memiliki sifat buruk. Realisme berfokus pada pembahasan keamanan dan militer sebagai topik utama daripada ekonomi. Sifat manusia yang buruk menyebabkan orang-orang yang memiliki pemikiran realis bersifat psimis tentang perdamaian. Bagi realisme, perdamaian dapat terjadi apabila dua negara memiliki kekuatan yang seimbang (balance of power).
Salah satu pemikir realis tersohor, Niccolo Machievelli, menyatakan bahwa It would be best to be both loved and feared, but, when necessity forces a choice, it is better to be feared, because men love at their convenience but they fear at the convinience of the prince. Pemikiran realis ini mengajarkan penguasa atau pemimpin untuk selalu ditakuti.
Dalam pernyataan yang disampaikan Prabowo diatas, kekuatan negara menjadi fokus utama untuk mencapai kepentingan inti. Ini ekuivalen dengan pemikiran realis yang memandang bahwa setiap negara harus ditakuti untuk mencapai kepentingan nasional.
Debat Capres tersebut memberikan gambaran jelas perbedaan perspektif atau sudut pandang di antara mereka dalam memandang hubungan internasional. Masyarakat tentunya mendapatkan gambaran dalam memilih Capres yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi Indonesia.
Daftar Pustaka
Deliarnov, 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Mansfield, Havey C.,1998. The Prince Niccolo Machiavelli. Chicago: The University of Chicago Press.