Senin, Mei 6, 2024

Debat Capres: Degradasi Wibawa Panelis

Bekti Sawiji
Bekti Sawiji
Saya Bekti Sawiji, suka menulis opini yang merupakan pendapat pribadi dan juga suka menulis cerpen.

Keberadaan panelis dalam debat Calon Presiden/Calon Wakil Presiden (capres/cawapres) tidak diperlukan jika debat masih menggunakan format yang sama. Dalam empat kali debat capres dan cawapres yang baru lalu, keberadaan panelis kehilangan urgensi. Panelis tidak memiliki peran maksimal kecuali hanya bertugas sebagai pengambil lot undian.

Mereka juga tidak memiliki kesempatan berbicara yaitu mengajukan pertanyaan lisan kepada paslon secara langsung. Dan lagi, tidak semua pertanyaan panelis terakomodasi karena harus melalui proses “lucu” yaitu undian. Jumlah panelis cukup banyak (11 orang dalam sekali debat) tetapi porsi fungsinya sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada fungsinya sama sekali.

Sementara dalam format yang sekarang ini moderator debat sudah mewakili panelis. Secara keseluruhan, keberadaan panelis dalam debat capres memerlukan pemikiran kritis, mengingat keterbatasan peran dan interaksi mereka dalam format debat saat ini, dan mungkin waktunya untuk mengevaluasi serta memperbarui format debat yang ada.

Dalam debat-debat kemarin keberadaan panelis kehilangan urgensi. Kalau diamati, ada tidaknya panelis di lokasi debat tidak akan berpengaruh apapun. Dalam banyak hal justru ketiadaan panelis bisa membuat suasana debat lebih baik, dalam konteks format debat capres tersebut. Betapa tidak, keberadaan mereka hanya untuk mengambil lot undian pertanyaan.

Setelah itu dia menunjukkan kepada moderator, ke peserta atau ke penonton melalui kamera. ini memakan waktu dan sangat tidak efisien. Selain itu, hilangnya urgensi panelis juga disebabkan kondisi dimana panelis yang biasanya berinteraksi secara langsung dengan peserta diskusi atau debat, kali ini harus puas diwakili oleh moderator. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan panelis yang hadir.

Sebagai akademisi dalam kepakarannya masing-masing, mereka tentu ingin menggali lebih dalam jawaban para peserta, bukan menggali fish bowl untuk mengambil lot. Tidak terlibatnya secara aktif para panelis ini menyebabkan rendahnya urgensi kehadirannya.

Panelis: Selebritas dalam Debat Capres?

Kecuali hanya bertugas sebagai pengambil lot undian, panelis tidak memiliki peran maksimal. Ini dapat dikatakan menurunkan wibawa panelis. Panelis seolah berada di dunia lain. Mereka bagaikan selebritas dalam dunia hiburan televisi. Sungguh, mengambil lot undian di dalam fish bowl adalah tindakan yang kurang sesuai.

Saat pertanyaan dipilih secara acak dari baskom, suasana debat terasa kurang serius dan tidak memberikan kesan profesional. Proses undian ini mengurangi esensi dari debat politik yang seharusnya memfokuskan pada isu-isu krusial. Panelis mungkin ingin pertanyaan yang dia buat muncul, sementara peserta mungkin menghindari topik-topik tertentu. Begitulah, marwah panelis dalam debat tersebut mengalami degradasi.

Begitu acara pilah-pilih topik dan nomor pertanyaan di fishbowl selesai dilakukan, giliran moderator membacakan pertanyaan tersebut kepada capres/cawapres. Panelis tidak memiliki kesempatan berbicara bahkan untuk sekedar membacakan pertanyaan yang dia buat.

Sebagai pembaca pertanyaan, moderator tidak akan berpikir pertanyaan lanjutan untuk mengejar jawaban peserta. Hal ini karena format debatnya memang tidak memungkinkan demikian. Panelis bisa menjadi gemas dengan kondisi ini. Jika dianalogikan, maka panelis ini bagaikan seorang sandra yang mulutnya dilakban. Dia ingin berteriak, tetapi tidak bisa akibat kemampuan berbicaranya terbungkam.

Tidak semua pertanyaan panelis terbacakan karena harus melalui proses yang “lucu” yaitu undian. Saya harus menyebutnya lucu karena proses ini mengandung unsur keberuntungan bagi peserta debat. Nuansa ini diperkuat oleh drama pengambilan lot undian di dua buah fish bowl.

Di sisi lain, semua capres/cawapres harus siap apapun topik maupun pertanyaannya. Saya menduga peran tim kreatif debat capres sangat dominan di sini. Unsur entertainment tidak bisa lepas dari pelaksanaan debat ini. Boleh jadi, ada pertanyaan panelis yang tidak terakomodasi untuk dibacakan karena tidak terjaring saat pengambilan lot undian. Jadi sia-sialah pertanyaan panelis yang sudah disiapkan.

Kelucuan debat ini diperkuat oleh jumlah panelis yang besar yaitu 11 orang tetapi fungsinya minim. Setiap panelis menyiapkan sejumlah pertanyaan. Dengan demikian sedikitnya ada 11 pertanyaan, jika masing-masing panelis hanya membuat satu pertanyaan. Jika setiap panelis membuat 2-3 pertanyaan, maka akan ada 22 hingga 33 pertanyaan.

Pada praktiknya, di meja moderator terdapat 6 x 3 pertanyaaan. Maksudnya, ada 6 subtema dimana masing-masing sub tema disediakan 3 pertanyaan. Total ada 18 pertanyaan di dalam amplop tersegel. Ternyata, tidak semua soal terbacakan dan tentu ini mengecilkan fungsi panelis. Mereka sudah bersusah payah membuat pertanyaan, bahkan harus juga dikarantina, tetapi pertanyaan tersebut tidak digunakan gara-gara tidak “beruntung” dalam undian.

Kehadiran panelis menjadi tidak penting karena dalam format yang sekarang ini moderator debat sudah mewakili mereka. Mereka hanya datang untuk mengobok-obok fish bowl guna menentukan pilihan sub tema dan kode amplop yang berisi pertanyaan. Selebihnya, mereka akan menerima mention, yaitu penyebutan nama-nama, kepakarannya, berikut institusi asal mereka. Moderator membacakan pertanyaan yang mereka susun untuk dijawab atau ditanggapi oleh capres/cawapres. Sayangnya, moderator tidak bisa melakukan elaborasi atau pendalaman atas jawaban capres/cawapres.

Perubahan Format Debat

Seharusnya, jika peran panelis digantikan oleh moderator, maka moderator harus memiliki kekuasaan yang lebih. Moderator harus bisa mengatur dan mengendalikan (pertanyaan-pertanyaan) debat. Dan tidak hanya itu, seorang moderator  harus menguasai semua permasalahan bangsa yang tertuang dalam tema-tema debat. Sebaliknya jika seorang moderator tidak mampu melakukan hal itu, maka sebaiknya debat dipimpin (bersama) oleh panelis yang jumlahnya cukup 3-4 orang saja.

Debat masih tersisa 1 putaran. Tidak inginkah kita menonton debat seperti yang digelar di Amerika Serikat? KPU masih punya waktu untuk meninjau kembali format debat, terutama soal penugasan panelis dan moderator, kecuali KPU sudah puas dengan debat yang lebih mirip dengan entertainment ini.

Bekti Sawiji
Bekti Sawiji
Saya Bekti Sawiji, suka menulis opini yang merupakan pendapat pribadi dan juga suka menulis cerpen.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.