Rekapitulasi Pilpres telah selesai. Jokowi-Amin menang di 21 Provinsi, sisanya jadi milik Prabowo-Sandi. Tentu saja, semestinya, seluruh urusan yang menyita banyak energi ini selesai. Sebagaimana biasa, harapan agar para pendukung dua kubu (dan terutama dua paslon yang kemarin bertarung) segera berekonsiliasi akan segera didengungkan.
Tetapi sepertinya butuh waktu agak lama sebelum harapan itu terwujud. Selama apa? Tergantung. Kalau beruntung, mungkin hanya sebulan-dua ke depan. Kalau tidak beruntung, bisa sampai lima tahun berikutnya, sebagaimana yang terjadi sejak 2014. Tensi tinggi pasca-rekapitulasi terjadi pada tanggal 22 Mei 2019, dalam nama “Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat”. Ratusan ribu orang berkumpul di Jakarta, bersuara lantang tentang Pemilu yang curang.
Yang menarik adalah, bagian Pemilu yang dianggap curang itu hanya Pilpres saja. Artinya, empat Pemilu lainnya yakni DPD, DPR RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota tidak berlangsung dalam situasi curang. Tentu saja perlu waktu yang banyak bagi sebagian orang untuk mengerti bangun logika tersebut, tetapi nampaknya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja bagi yang menuduhkannya.
Ada dua alasan mengapa hanya satu dari lima kertas suara tersebut yang dianggap telah dicurangi: (1) konsentrasi ‘penuduh’ memang hanya pada Pilpres–sehingga meski sesungguhnya kecurangan juga terjadi pada empat pemilu lainnya, itu diabaikan saja; dan (2) sesungguhnya tidak terjadi kecurangan–anggapan bahwa telah terjadi kecurangan itu muncul dari ketidakberhasilan ‘mereka’ tampil sebagai pemenang.
Pada situasi seperti itu, maka bagian masyarakat lain (yang seharusnya terganggu dengan teriakan-teriakan tentang ‘kecurangan’ itu) dapatlah mengajukan gugatan-gugatan:
Pertama, kepada pihak-pihak yang mengaku ‘dicurangi’ agar berani tampil dengan bukti-bukti yang kuat. Hanya dengan cara itulah demokrasi dapat dibangun dan tumbuh baik; setiap tudingan melandaskan dirinya pada fakta. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya ‘aksi turun jalan’ meneriakkan kecurangan tidak terlampau jauh bedanya dengan risakan atau perundungan di media sosial.
Padahal, urusan kecurangan Pemilu, jika benar itu terjadi, adalah menyangkut kepentingan yang besar: bagaimana bangsa ini berjalan pada track yang benar. BPN harus meluruskannya–tudingan mereka harus didukung dengan tersampaikannya data yang akurat. Sangat berbeda dengan bullying di media sosial, yang, paling jauh dampaknya adalah percakapan ad hominem (tanpa efek apa pun pada pembangunan bangsa dan negara ini), tudingan yang disampaikan sebuah badan resmi haruslah disertai data yang dapat diakses dan dimengerti publik.
Kedua, kepada KPU selaku penyelenggara Pemilu agar menyampaikan dengan sangat jelas (dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti) bantahan atas tudingan tersebut. Melakukan pengabaian, tidak menganggap tudingan terlah terjadi kecurangan sebagai sesuatu yang serius, akan berdampak pada percakapan liar; tidak-menjawab-berarti-benar, diam-berarti-setuju.
Strategi pengabaian, yang meski ditujukan untuk menjelaskan bahwa tudingan tersebut tidak berdasar, justru dapat diputarbalikkan di ruang publik sebagai ‘betapa mereka tidak bisa mengelak dari tudingan kita’. Akibat lanjutannya adalah, percakapan bahwa telah terjadi kecurangan, tidak kunjung berhenti. Meski tidak diinginkan, bukan tidak mungkin situasi demikian akan berdampak pada ketidaknyamanan pemenang Pemilu dalam menjalankan amanah mayoritas pemilih di Indonesia.
Karenanya, agar hasil rekapitulasi pilpres 2019 ini benar-benar legitimate, atau jika memang benar telah terjadi kecurangan maka harus diselenggarakan Pilpres ulang, kedua kubu, baik yang menuduh pun yang dituduh harus tampil dengan data yang jelas. Koar-koar, atau penjelasan yang tidak memadai, hanya akan menghasilkan percakapan (baca: permusuhan) yang dapat berusaha menahun. Barangkali agak baik kalau hanya sampai di sana. Kalau kemudian akan ada presiden-wakil presiden tandingan?
Ah, iya. Yang begitu sempat terjadi tahun 2014 silam, bukan. Dan bangsa ini berjalan baik-baik saja hingga saat ini. Hmmm… mungkin saya saja yang terlampau khawatir. Entah kenapa. Mungkin karena kita semua memang perlu khawatir jika narasi-narasi kita di ruang publik terbirit-birit mencari tempat bersembunyi karena malu; bicara tanpa data, kencang pula!
Selamat kepada Jokowi-Amin yang telah keluar sebagai pemenang Pilpres 2019. Terima kasih kepada penyelenggara Pemilu yang telah bekerja keras menyukseskan agenda besar lima tahunan ini. Semoga petugas KPPS yang meninggal dunia karena kelelahan, beristirahat dalam kedamaian. Dan semoga pada tahun-tahun berikutnya, pesta demokrasi ini tidak diselenggarakan bersama dengan pesta keagamaan seperti tahun ini.