Lima hari yang lalu, minggu 1 Oktober malam, PB. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) telah selesai dikukuhkan. Agus Mulyono Herlambang, Ketua Umum PB. PMII terpilih dan jajaran kepengurusannya di Masa Khidmat 2017-2019 ini, resmi dilantik. Kita akan segera melihat sejauh mana kepengurusan Agus ini bisa memberikan warna baru dalam gerakan PMII kedepan. Akankah ia hanya meneruskan “rezim jompo” kepengurusan, Aminuddin Ma’ruf kemarin? Atau ia akan bangkit dengan argumentasi dan bentuk gerakan yang lebih progresif dari kepengurusan yang sebelumnya?! Kita semua bisa menjadi saksi hari ini.
Ada beberapa catatan yang mungkin bisa menjadi renungan untuk menggali kembali ide-ide dan gerakan progresif PMII kedepan. Catatan ini dapat dimulai dengan meneroka kembali rumusah Aswaja PMII yang saat ini sudah terlanjur mengeras seperti batu dalam kerangka ideologis PMII itu sendiri. Usaha meletakkan PMII di atas meja ijtihad, kini hukumnya fardhu. Paling tidak, mengurangi jadwal nongkrong di kafe-kafe mewah dan kebiasaan gosip sana-sini, untuk kembali memikirkan masa depan PMII, itu tak boleh sekedar direncanakan. Tapi harus segara dilakukan.
Karena PMII tidak bisa sekedar mendewakan masa lalu. Revitalisasi Aswaja, agenda kepengurusan PB. PMII kemarin adalah warisan feodal yang harus segera disingkirkan dan wajib segera dimasukkan ke tong sampah. Rumusan Aswaja Manhaj al-Fiqr sebagai argumentasi pokok di dalamnya, telah gagal dalam proyek ideologis tersebut. Ia terlalu elitis, dan hanya sukses dalam proyek wacana di forum-forum ilmiah, seperti seminar, simposium, atau di meja-meja diskusi layaknya Mapaba, PKD, sampai tingkat kaderisasi yang paling tinggi, PKL.
Tidak hanya itu, penghayatan ideologis seperti itu hanya mampu menampilkan Aswaja sebagai rongsokan dogma berupa teks dan pemahaman-pemahaman bisu. Diam-diam ia menciptakan kesenjangan antara Aswaja itu sendiri dengan realitas riil kehidupan ummat. Keadaan ini kemudian melahirkan kontradisiki yang lama-kelamaan memperlihatkan tendensinya: arus yang menjadikan PMII sebagai aspek tak-sadar yang berpartisipasi dalam hegemoni oligarki Negara ini.
Mari kita tunjuk langsung, sebagai kritik dan otokritik: Aswaja PMII kini tidak lagi berdiri atas nama rakyat-rakyat pinggir(an), tapi ia berubah wujud menjadi ajaran yang berkibar di atas kemapanan sebagian kelas sosial-elit tertentu. Ini detik-detik Aswaja yang senantiasa kita agung-agungkan sejak dulu, seketika menjadi borjuistik. Yang melanggengkan egoisme dan hasrat pribadi, menipiskan solidaritas, memupuk kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial.
Sebagai orang yang pernah aktif menjadi kader dan Pengurus Cabang di PMII, sedikit-banyak penulis tahu tentang peristiwa-peristiwa menjijikkan aktivis hari ini, yang hidup dan makan dari perdagangan-perdagangan proposal dan aksi-aksi pesanan. Sebagian besar dari mereka, seolah-olah sudah merasa tidak penting belajar, meninggalkan buku, atau sekedar membaca kulitnya saja agar terlihat keren saat diskusi. Mereka lebih gemar pura-pura teriak di tengah jalan membela rakyat, ketimbang belajar dan membaca dengan tekun dan sungguh-sungguh untuk memahami setiap masalah yang terjadi.
Tentu, fenomena tersebut bukan kebetulan terjadi. Keadaan ini pengaruh dari proses ideologisasi yang gagal, Aswaja yang bisu, tumpul dan retak, sehingga hanya mewariskan sikap-sikap pragmatis untuk kepentingan-kepentingan saku pribadi, egoisme dan money politik. Lihat seja, dalam pelaksanaan-pelaksanaan pemilihan Ketua Cabang, atau pada tingkatan yang lebih tinggi, Pemilihan Ketua PKC dan PB, hampir semuanya diselesaikan dengan “isi koper” dan konsolidasi politik yang pragmatis. Mereka melupakan bahwa sejatinya kaderisasi adalah sikap yang mestinya diutamakan dalam organisasi pergerakan ini, dan wajib dilakukan sebagai sikap ideologis yang suci.
***
Dari sekian krisis ideologis di atas, terbentang peluang besar di hadapan kita—utamanya bagi kelembagaan PB. PMII—yaitu untuk segera melahirkan rumusah Aswaja yang lebih segar sebagai pijakan ideologis PMII kedepan. Satu rumusan yang wajib menampilkan Aswaja tidak lagi sebagai pemahaman yang bisu, tapi kritis dan menyentuh terhadap problem material kebangsaan ini. Usaha ini bagaimana mungkin untuk bisa menarik PMII kembali ke akar rumput, membela petani, orang-orang pinggiran, dan meninggalkan seluruh label-label kemapanannya sebagai intelektual “menara gading”.
Membangun keberaswajaan ke arah materialis kini penting dilakukan, untuk membongkar Aswaja PMII yang sudah terlanjut dogmatis ini. Hal ini bisa ditempuh dengan mengacu pada khazanah pemikiran-pemikiran kiri, seperti Marxisme, Post-Strukturalisme, yang sebenarnya oleh beberapa cendikiawan muslim layaknya, Muhammad Abed al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi dan Asghar Ali Angineer, sudah diadaptasikan dalam doktrin keislaman kita.
Tugas PMII tinggal menajamkan ulang rumusan intelektual mereka dalam konteks kekinian kita di Indonesia. Yang secara epistemologis, dapat digali dari persilangan tiga dimensi sekaligus: ajaran-ajaran progresif aswaja, local wisdom dan kritik sosial. Dengan kerja-kerja pengorganisaran yang terus berlajut, rumusan ini dapat membangun idealisme PMII, dan yang paling penting, keberpihakan PMII terhadap orang-orang pinggiran. Dengan melihat mereka bukan sekedar hamparan geografis, sebagai tempat yang lapang, tandus dan semak belukar, tapi juga sebagai jejak historis, yang di dalamnya terdapat suara yang dibungkam, subyektivitas yang dinafikan dan kemanusiaan yang dilupakan.
***
Ya, tulisan ini hanya sekedar catatan ringan, sederhana dan sangat remeh-temeh sekali. Di catatan remeh-temeh ini, penulis hanya berusaha menonjolkan garis-garis pentingnya saja, bukan kerangka konseptual secara utuh tentang formulasi Aswaja yang lebih segar sebagaimana yang disinggung di atas. Catatan ini, sekedar mengajak para Pengurus Besar PMII yang terhormat itu, agar kembali sudi memikirkan(-ulang) atau lebih teoritik, reideologisasi Aswaja yang hari ini (Aswaja itu sendiri) sudah lapuk dan tidak relevan lagi untuk membangun PMII dalam melakukan gerakan progresif ke depan.
Lima hari pasca dilantiknya PB. PMII kemarin, catatan ini dapat menjadi aspirasi pertama dari penulis, kader yang lahir dan dibesarkan dari kampung, Komisariat PMII Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur, yang berdiri tepat di bawah bukit yang penuh dengan gundukan batu-batu hitam dan jauh dari bising serta andus kenalpot transportasi di kota. Sebagai kader PMII, kita juga akan berdiri sebagai saksi, bagaimana kepengurusan yang dinahkodai, Agus Mulyono Herlambang itu nanti menampilkan gerakan progresifnya kedepan?! Atau sebaliknya—sebagaimana tanya yang diajukan di awal—hanya meneruskan “rezim jompo” kepengurusan Aminuddin Ma’ruf, kemarin?! Wallahua’lam.