Sabtu, April 20, 2024

Dari Demokrasi di Tempat Kerja Sampai Demokrasi Ekonomi dan Politik

Aef Nandi Setiawan
Aef Nandi Setiawan
Penyuka Arsenal dan kopi pahit

Bersama sepuluh orang tukang becak, pada September tahun 2017, saya mendirikan usaha cleaning service dan renovasi rumah. Kami bagi tugas sesuai dengan kebisaan masing-masing. Tukang becak menjadi pekerja lapangan, saya kebagian pemasaran. Sekarang pertengahan 2018, bisnis kami masih berjalan, sekalipun masih terhuyung-huyung. Tapi kami tetap optimis dan punya banyak ambisi di masa depan.

Kami dipertemukan dalam kepentingan yang sama. Tukang becak butuh penghasilan tambahan, karena membecak sudah tak lagi bisa diandalkan. Saya butuh tempat kerja yang nyaman sebagai persiapan pasca kampus. Saya masih mahasiswa aktif, dan bermimpi bisa bekerja di perusahan yang dirintis sejak di bangku kuliah. Biar tak perlu lamar kerja sana sini.

Selain ambisi bisnis, saya punya ambisi untuk mengembangkan model usaha yang dikelola secara demokratis. Dan itu yang hari ini sedang kami lakukan, menerapkan demokrasi di tempat kerja. Di mana semua orang setara, tanpa ada relasi buruh dan majikan. Semua orang adalah pemilik sekaligus pekerja. Kami menentukan soal besaran upah, soal aturan kerja dan lain sebagainya secara musyawarah.

Dalam mindset bisnis konvensional, apa yang kami upayakan mungkin terdengar masih asing, aneh dan mengada-ada. Utopis.  Tapi itu bisa dimaklumi karena bagi orang kebanyakan, demokrasi itu hanya di ruang politik.

Di tempat kerja tak ada demokrasi, semua mengikuti apa kata bos. Tugas karyawan adalah kerja dan terima upah, tanpa mau tahu neraca keuangan sedang menanjak atau menukik. Peran bos adalah membayar upah dan berpikir bagaimana caranya dapat untung besar, meskipun caranya bikin karyawan nggrundel.

Demokrasi di Tempat Kerja

Demokrasi di tempat kerja bukan gagasan baru. Ia sama tuanya dengan demokrasi dalam politik. Saat demokrasi politik melengserkan feodalisme dari para raja atau lembaga agama, demokrasi ekonomi menyingkirkan feodalisme dari tangan pemilik modal (capitalist).

Jika dalam berpolitik manusia berhak atas kesetaraan dan  kebebasan, seharusnya hak yang sama juga ada dalam ruang ekonomi. Bentuknya adalah perusahaan yang dikelola dengan cara demokratis.

Di Eropa, cikal bakal usaha yang dikelola secara demokratis muncul pada abad ke 19 sebagai kritik atas praktik bisnis yang eksploitatif milik para kapitalis. Salah satu diantaranya adalah Rochdale Cooperatives.

Toko kelontong yang didirikan oleh sekelompok pekerja di Inggris. Lalu  di Jerman berdiri lembaga kredit yang digagas oleh seorang walikota muda, Raiffeisen. Lembaga itu dimiliki dan dikelola secara demokratis.

Melompat ke abad ke 21 di negara bagian Basque, Spanyol. Dengan bantuan seorang pastor, lima orang pemuda merintis bisnis alat rumah tangga. Mereka membuat kompor parafin yang dipasarkan di untuk masyarakat sekitar.

Bisnis mereka terus tumbuh dan kini merentang dari sektor manufaktor, retail, pendidikan dan kesehatan. Perusahaan itu dikelola secara demokratis oleh hampir 80.000 orang yang berperan sebagai pekerja sekaligus pemilik. Perusahaan itu adalah Mondragon Cooperatives yang kisahnya telah menjadi klasik.

Demokrasi di tempat kerja adalah upaya mengikis feodalisme untuk mewujdukan relasi kerja yang setara. Feodalisme di tempat kerja muncul karena kekuasan (power) ditentukan dari jumlah kepemilikan modal. Siapa yang menanam modal paling banyak, ia yang berhak menentukan sistem kerja, kebijakan upah dan kebijakan lainnya. Sementara  yang tak punya modal tak memiliki kekuasaan untuk bersuara atau menyampaikan aspirasi. Sehingga munculah relasi buruh dan majikan di tempat kerja.

Menghilangkan relasi buruh dan majikan adalah ciri dari perusahaan demokratis, dimana posisi semua orang adalah setara. Caranya adalah dengan mendistribusikan kekuasaan (power) pada semua orang dalam bentuk kepemilikan atas perusahaan (alat produksi).

Adanya kepemilikan bersama dimaksudkan agar demokrasi berjalan dengan baik, karena mustahil ada demokrasi tanpa adanya kepemilikan. Dalam perusahan yang demokratis, status seseorang tidak ditentukan dari besaran modal yang ia miliki. Semua orang punya ada dalam posisi setara. Bisa ikut mengdalikan perusahaan secara demokratis. One man, one vote. 

Dari Demokrasi Ekonomi Ke Demokrasi Politik

Di Indonesia, perubahan sosial dan kemakmuran orang banyak dimulai dari ruang politik. Ambil bagian dalam pemilihan pemimpin artinya ikut menentukan nasib bangsa. Dengan memilih pemimpin yang tepat, lapangan kerja menjadi mudah, kebutuhan hidup terjangkau dan kesejahteraan meningkat. Tapi sayang harapan semacam ini lebih banyak melesetnya. Berkali-kali pemilu, kualitas pemimpin yang dihasilkan selalu mengkhawatirkan.

Berharap perubahan melalui jalan politik tidak salah. Tapi yang harus kita ingat, reformasi 1998 hanya berhasil merubah struktur politik, tapi tidak pada struktur ekonominya. Para oligark dan kroni-kroni orba tak beringsut dari posisinya. Mereka masih menguasai sumberdaya ekonomi dan makin mapan dalam iklim demokrasi hari ini. Kekayaan mereka tak pernah diperkarakan, meskipun itu hasil menjarah kekayaan negara atau hasil kerja-kerja ilegal lainnya.

Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah, demokrasi politiknya tapi tetap feodal ekonominya.

Para oligark biasanya akan menggunakan jalan politik untuk mengamankan agenda ekonominya. Dengan sumberdaya ekonomi yang besar mereka bisa membangun kekuatan politik, sehingga demokrasi menjadi keruh dan bias kepentingan.

Mereka bisa mempengaruhi suara orang banyak dan menentukan siapa saja yang maju sebagai calon pemimpin. Sehingga demokrasi hari ini adalah demokrasi semu. Pemimpin yang terpilih sebenarnya bukan pilihan rakyat, tapi pilihan para oligark.

Pemimpin yang dihasilkan dari sistem demokrasi semacam ini ia akan tersandera berbagai kepentingan oligarki yang menyokongnya. Meskipun si pemimpin awalnya kepribadian yang bagus, ia bisa saja tiba-tiba menjadi bangsat saat menjabat. Di media kita bisa melihat seorang sebelumnya tampak cerdas dan agamis, namun saat terpilih kecerdasannya langsung menukik tajam dengan level moral yang mengkhawatirkan.

Tugas besar kita hari ini bukan terletak pada mencari siapa pemimpin yang tepat, tapi bagaimana membenahi kualitas demokrasi politik itu sendiri. Caranya dengan menyingkirkan kekuasan para oligarki melalui demokrasi ekonomi. Yaitu sistem ekonomi dimana masyarakat ikut berperan dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi. Sehingga demokrasi tidak hanya di ruang politik, tapi juga di ruang ekonomi. Tentu saja ini tidak mudah, butuh waktu yang panjang untuk mewujudkannya.

Tak lama lagi kita menghadapi Pilpres. Banyak orang percaya perubahan di negara ini dimulai dari bilik suara. Tapi entah mengapa saya lebih meyakini perubahan dimulai dari tempat kerja.

Aef Nandi Setiawan
Aef Nandi Setiawan
Penyuka Arsenal dan kopi pahit
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.