Kamis, Maret 28, 2024

Darah Biru Politik, Antara Kekuatan dan Kelemahan

Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini tak pernah lekang oleh waktu. Kata-kata perumpamaan tersebut selalu digunakan untuk menggambarkan bahwa sifat dan karakter anak tidak akan jauh dari sifat dan karakter orang tuanya.

Bukan hanya soal sifat dan karakter, banyak dijumpai dalam berbagai kasus anak seorang pengusaha kelak menjadi pengusaha. Anak seorang tentara, biasanya akan menjadi tentara. Anak seorang politisi di kemudian hari menjadi politisi.

Walaupun profesi orang tua bukanlah sifat genetis yang diturunkan ke anak-anaknya, tetapi fakta itu pun bisa diterima luas karena factor lingkungan kerja orang tua sedikit banyak mempengaruhi perkembangan anaknya.

Faktor lingkungan, termasuk Pendidikan, terbukti memberi pengaruh lebih banyak pada perkembangan anak-anak. Lingkungan bukan hanya berasal dari orang tua, tetapi juga lingkungan sekitar dalam arti yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, secara logika bisa dijelaskan apabila anak-anak politisi besar Indonesia, Soekarno, terjun ke dunia perpolitikan. Megawati Soekarnoputri menjadi politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), bahkan menjadi Ketua Umum PDI-P sampai saat ini. Putra putri Megawati juga tak mau ketinggalan, Puan Maharani dan Muhammad Prananda Prabowo, ikut pula terjun lewat partai milik Ibunya.

Rachmawati Soekarnoputri yang mendirikan Partai Pelopor, sekarang bergabung dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sukmawati Soekarnoputri, pendiri dan Ketua Umum PNI Marhaenisme tetap bertahan di partai tersebut meskipun tidak lolos verifikasi administrasi KPU dalam pemilu 2014.

Trah keluarga Soeharto pun tak ketinggalan ikut dalam percaturan politik, meskipun belum memiliki keberuntungan seperti keluarga Soekarno. Sebutlah Hutomo Mandala Putra yang turut mendirikan Partai Berkarya. Siti Hardiyanti atau Tutut Soeharto dan Siti Hediati atau Titik Soeharto juga berlabuh dalam partai besutan saudaranya.

Politisi-politisi yang berkuasa di era reformasi pun tak pelak juga membangun dinasti-dinasti baru politik. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkader anak bungsunys, Edhie Baskoro Yudhono lewat Partai Demokrat. Bahkan, Agus Harimurti Yudhoyono harus rela melepaskan seragam militernya guna maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta 2017. Dan kini ia didaulat sebagai Komandan KOGASMA Demokrat.

Di keluarga (alm) KH Abdurrahman Wahid terdapat nama Yenny Wahid yang menjadi politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anak mantan Ketua Amien Rais, Hanafi Rais dan Mumtaz Raisuga maju dalam pemilihan legislative melalui partai yang didirikan bapaknya, Partai Amanat Nasional (PAN).

Dunia politik, banyak dihujat, tetapi juga seperti magnet yang membuat banyak orang ingin mempertahankan dan merebut nikmatnya berkuasa. Trah politik memang bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain, para politisi mengkader anak-anaknya untuk menjadi politisi juga.

Begitulah kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tanaman yang dihasilkan dari buah yang jatuh itu bisa menghasilkan buah yang sama manisnya dengan pohon induknya ?

Nama keluarga yang menempel dalam setiap nama calon legislative maupun eksekutif memang bisa memudahkan seseorang yang memiliki label ‘darah biru politik’ untuk berkiprah di partai politik dimana keluarganya berkiprah. Paling tidak, seseorang yang memiliki trah politik akan lebih mudah memasuki jajaran elite politik karena ia akan memperoleh kemudahan akses informasi dan jaringan karena berada di tengah-tengah pusaran kekuasaan partai.

Dinasti politik menjadi factor yang sangat diperhitungkan, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis partai politik yang sangat fanatic. Misalnya, trah Soekarno akan sangat diterima di basis-basis partai di pulau Jawa. Tidak dapat dipungkiri bila trah politik Soekarno masih memiliki akar-akar fanatic yang tidak bisa diabaikan sehingga bisa jadi seorang dari keluarga Soekarno akan dapat memenangkan pemilu sekallipun dengan sosialisasi dan kampanye apa adanya.

Dinasti keluarga—meskipun dirasakan tidak berkeadilan—sedikit banyak memang mempengaruhi berhasil tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat. Namun di era pemilihan dengan suara terbanyak, nama keluarga harus juga diimbangi dengan modal social yaitu apa yang sudah dilakukan sang calon di masyarakat daerah pemilihannya atau apa yang akan diperjuangkan sang calon untuk masyarakat yang akan diwakilinya.

Seseorang denga nama besar keluarga harus berani membuktikan popularitas, kapabilitas, dan kredibilitasnya, bukan dengan mendompleng nama keluarga. Seseorang dari dinasti politik seharusnya merasa memiliki beban lebih besar menjaga nama baik keluarga dengan berbuat lebih baik dari apa yang sudah dilakukan keluarganya bukan sekadar numpang hidup dalam kehormatan keluarga.

Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.