Sejak akhir 2021 hingga saat ini publik dihebohkan dengan isu kenaikan harga minyak goreng yang begitu tinggi. Harga minyak goreng yang tinggi mengakibatkan banyak dari masyarakat Indonesia mengeluh terkait dengan kelangkaan komoditi tersebut. Menurut riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) akibat adanya kenaikan harga minyak goreng tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat hingga mencapai angka Rp.3,8 Triliun.
Kenaikan harga pokok produksi itu disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kenaikan harga minyak nabati dunia yang berdampak pada kenaikan biaya Crude Palm Oil (CPO) hingga mencapai US$ 1.340/ MT. Bagaimanapun, masalahnya saat ini adalah bahwa biaya CPO telah turun tetapi biaya barang masih tinggi. Hal ini menjadi isu yang cukup signifikan, mengingat KPPU juga telah mengarahkan pemeriksaan terkait kenaikan harga minyak goreng sejak 26 Januari yang mengakui adanya praktik kartel oleh perusahaan minyak goreng di Indonesia.
Dampak Kartel Terhadap Persaingan Usaha
KPPU menduga telah adanya praktik kartel yang mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia. Per 29 Maret 2022, Tim Investigasi KPPU mengklaim telah menemukan satu barang bukti terkait laporan dugaan kartel, penetapan harga, dan penguasaan pangsa pasar minyak goreng. Oleh karena itu, KPPU menaikkan proses penegakan hukum kasus tersebut pada level penyelidikan.
Praktik kartel dimaknai sebagai sebuah strategi yang diterapkan antara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi barang mereka. Para pelaku usaha tersebut berasumsi jika tingkat produksi mereka dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk tetap tinggi, maka akan berdampak pada naiknya harga sebuah produk.Tentunya hal ini tidak dapat dipisahkan dari hukum ekonomi permintaan dan penawaran. Dengan demikian, para pelaku usaha berusaha untuk membentuk sebuah kerja sama yang bersifat horizontal untuk menentukan harga dan jumlah produksi sebuah barang.
Membanjirnya pasokan produk di pasar dapat mempengaruhi murahnya harga sebuah produk dan hal ini dapat menguntungkan bagi konsumen, akan tetapi tidak bagi produsen atau pelaku usaha.
Maka dari itu, supaya harga produk tidak jatuh, para pelaku usaha biasanya membuat perjanjian diantara mereka untuk mengatur jumlah produksi, sehingga pasokan produk mereka tidak berlebih di pasar. Hal inilah yang menjadikan produk menjadi langka dan mengakibatkan naiknya harga secara signifikan, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya lebih untuk dapat membeli produk tersebut. Praktik kartel secara hukum dilarang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 karena praktik ini menukar kompetisi dengan tindakan-tindakan yang kolusif di antara pesaing yang berujung dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen.
Sesuai dengan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel, KPPU harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut saat melakukan penyeledikan terhadap kartel minyak goreng; Pertama, apakah terdapat pengurangan produksi barang atau naiknya harga sebuah barang? Jika tidak ada, maka perbuatan para pelaku usaha tersebut tidak melanggar hukum persaingan usaha. Kedua, apakah perbuatan tersebut bersifat naked (bertujuan untuk mengurangi atau mematikan persaingan) atau bersifat ancillary (bukan tujuan dari sebuah kolaborasi melainkan hanya sebuah akibat). Apabila perbuatan tersebut bersifat naked, maka melanggar hukum persaingan usaha.
Ketiga, bahwa kartel mempunyai market power. Apabila para pelaku usaha mempunyai market power yang cukup, maka mereka cenderung menyalahgunakan kekuatan tersebut. Keempat, balancing test. Merupakan sebuah pengukuran terhadap keuntungan yang diperoleh melalui kartel dengan kerugian yang diakibatkanya.
Praktik kartel ini berdampak pada anti persaingan yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, pemerintah, bahkan pelaku usaha lainnya. Sistem kartel yang terorganisir dalam beberapa perusahaan memiliki tujuan yang sama yakni mendapatkan keuntungan yang berlebih dan market power yang stabil serta menghindari sebuah persaingan usaha yang ketat.
Dampak adanya kartel ini juga menghambat masuknya para pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar yang bersangkuran, sehingga hal ini berdampak pada persaingan usaha yang tidak sehat yakni sedikitnya jumlah pelaku usaha, produk yang bersifat homogen, dan elastisitas permintaan terhadap suatu produk.
Pembaruan Sistem Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Secara praktik, kartel merupakan salah satu bentuk perjanjian yang sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan praktik tersebut biasanya dilakukan di ruang yang tertutup dan rahasia.
Di berbagai negara, seperti halnya Amerika Serikat dan negara-negara di Uni Eropa lainnya, telah diberlakukannya sebuah sistem hukum yang disebut program leniency (leniency program). Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa program tersebut dirasa efektif memberantas, mencegah dan menghalangi praktik kartel di negara tersebut.
Adapun yang dimaksud leniency program ini adalah pemerintah memberikan kemurahan dan pengampunan kepada pelaku usaha yang mengungkapkan atau memberikan informasi mengenai perjanjian kartel yang telah dibuat bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya. Nantinya, para pelaku usaha ini akan dibebaskan atau dikurangi dendanya tergantung sejauh mana pelaku usaha tersebut membantu lembaga pengawas persaingan usaha dalam mengungkap kartel yang bersangkutan.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan saat ini ialah program tersebut belum diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Banyak dari akademisi di Indonesia menyarankan agar UU ini segera untuk di revisi dan memasukkan leniency program sebagai upaya untuk menangani kartel.
Di sisi lain, program ini tidak akan berhasil apabila denda administratif dan/atau denda pidana tidak dinaikkan. Pasalnya, dalam UU tersebut mengatur besaran denda administratif hanya sebesar maksimal 25 milyar dan denda pidana maksimal 100 milyar. Hal tersebut tidak akan mendukung leniency program karena keuntungan kartel jauh lebih tinggi dibandingkan denda-denda tersebut, dan pelaku usaha tidak akan merasa ‘tertarik’ untuk mengungkapkan kasus tersebut kepada KPPU.
Dengan demikian, perlunya pembahasan yang serius mengenai perbaikan sanksi dengan penerapan leniency program di Indonesia. Selain itu, perlunya juga menambahkan kewenangan KPPU untuk melakukan penggeledahan. Hal ini dirasa cukup urgensi karena laporan dari whistle-blower (pelaku usaha yang mengungkap kartel) tidak bisa ditindaklanjuti secara maksimal jika KPPU tidak memiliki kewenangan tersebut.
Dewasa ini, tidak diaturnya leniency program di suatu negara menjadi problematika yang krusial dalam penegakan hukum persaingan usaha. Indonesia pun saat ini mengalami kondisi yang demikian. Maka dari itu, perlunya rekonstruksi ulang sistem hukum persaingan usaha di Indonesia dengan merevisi isi dan substansi pada UU Nomor 5 Tahun 1999.