Kolapsnya rezim Soeharto menjadi babak baru bagi oligarki. Sebelum reformasi, Soeharto merupakan sosok oligark dengan kekuatan politik dan kekayaan material yang terkonsentrasi bak sultan. Ia juga turut menjadi ikon investasi di balik sirkulasi penanaman modal neoliberal berkedok liberalisasi ekonomi.
Namun di saat yang sama, Orde Baru juga berhasil mendesain kondisi sosial-politik Indonesia menjadi kelas-kelas yang didasarkan pada kekayaan material dan jabatan sipil/militer. Dari sinilah awal mencuatnya manuver-manuver baru oligark di dalam konstitusi, partai politik dan agenda-agenda kebijakan publik dalam proses demokratisasi.
Lalu, bagaimana reformasi bisa ‘dicolong’ oligarki?
Kartelisasi oligark pasca-Orde Baru
Pada rezim Orde Baru, peta kekuatan politik Indonesia hanya terkonsentrasi pada partai Golkar, dan PPP yang merupakan penggabungan partai-partai Islam. Tentu saja, eksistensi kedua partai ini memiliki keterkaitan yang saling menguntungkan di antara keduanya.
Setelah 1998, kenyataannya, partai-partai politik baru yang muncul sejak rezim Habibie tidak dapat lepas dari pengaruh oligark partai yang berkuasa di rezim sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari tokoh, nilai dan akar ideologi partai-partai tersebut (PDIP, PKB, PKS dan PAN) yang berkesinambungan dengan Orde Lama dan Orde Baru. Selain itu, selama empat periode pemilihan umum sejak tahun 1999, keenam partai tersebut selalu sukses menduduki kabinet, parlemen dan piawai memegang kendali legislatif.
Melalui jaringan-jaringan oligark partai yang berkuasa sebelumnya, keenam partai ini dengan luwes beradaptasi dalam sistem pemilu di Indonesia. Demokrat, Gerindra dan Hanura pun masuk dalam karakteristik partai yang selalu menduduki parlemen. Tentunya sulit untuk tidak menghubung-hubungkan partai-partai tersebut dengan pengaruh rezim sebelum reformasi. Coba simak, bagaiamana ketua umum ketiga partai ini memiliki keterkaitan historis dengan Orde Baru dan Orde Lama.
Winter dalam Oligarch (2011), mengurai bagaimana proses oligarki telah berhasil memanipulasi struktur politik Indonesia melalui penyesuaian-penyesuaian kebijakan dalam sistem politik demokrasi. Pastinya, penyesuaian-penyesuaian tersebut beroperasi di bawah proses legislasi atas nama kebijakan publik.
Dalam tulisannya, Winter juga menjelaskan bahwa karakteristik oligarki pasca-Soeharto dikategorikan sebagai perjodohan antara oligark, partai politik dan kartel. Seperti halnya kartel bisnis, politik di Indonesia pun terkungkung oleh kartelisasi dua belas partai yang acap bertukar-tukar koalisi tiap ajang pilpres.
Kartelisasi politik, menurut Mietzner (2011), merupakan konsekuensi dari harga mahal demokrasi liberal dan sistem presidensial di Indonesia. Ini berkaitan dengan “ongkos” demokrasi yang kepalang “mahal”. Alih-alih memberi ruang politik yang inklusif bagi punblik, demokrasi di Indonesia cenderung memberi ruang pada politik uang yang kerap semakin banal menggerogoti sistem politik Indonesia.
“Ongkos demokrasi” inilah yang kemudian diutak-atik kelompok oligark untuk melakukan kartelisasi dan eksploitasi di dalam sistem demokrasi Indonesia.
Sederhananya, Dan Slater (2018) dalam Party Cartelization mengkondisikan kartelisasi politik sebagai efek lanjutan dari oligarki yang belum hilang akibat lemahnya, ketiadaan, dan ketakutan menjadi oposisi dalam sistem demokrasi.
Slater (2018) mengungkapkan, contoh produk kartelisasi saat ini dapat dilihat pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mensyaratkan capres-wapres hanya bisa diusung oleh partai atau koalisi. Belum lagi ditambah dengan aturan ambang batas 20%-25% di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pengaturan ini membendung adanya calon individual di luar sistem partai. Sehingga akan rentan terjadi proses konsolidasi yang sangat mudah diinternalisasi kepentingan oligark untuk mempertahankan status quo, dan meminimalisir oposisi.
Kondisi tersebut menjawab bagaimana partai oposisi di Indonesia tidak pernah konsisten, atau hampir tidak ada. Kekosongan kursi oposisi ini tentu sudah diprediksi. Walaupun sejak 2004 Indonesia telah melakukan pemilu secara langsung, sayangnya, akuntabilitas partai terhadap publik tidak pernah mulus. Sebaliknya, publik malah terkecoh dengan sosok presiden tanpa mengamati dengan jeli skenario pembagian kursi di belakangnya.
Skenario inilah yang disebut Dan Slater sebagai strategi “power-sharing” atau pembagian kekuasaan. Ia juga menambahkan bahwa presiden terpilih di Indonesia lebih cenderung bertindak sebagai “eksekutor” pembagian kursi kabinet, ketimbang berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Presiden terpilih, akan menggunakan strategi power-sharing sebagai upaya membungkam, dan menekan oposisi dalam seting politik di Indonesia. Dan tentunya, itu semua didasarkan atas tekanan agenda partai koalisi.
Dan Slater mengkategorikan strategi power-sharing dalam sistem presidensial Indonesia. Pertama, power sharing a victory game, yaitu ketika presiden berkuasa menolak untuk berbagi kursi dengan oposisi dan menekan ruang gerak mereka. Kedua, power sharing reciprocity-style, menjelaskan bagaimana presiden terpilih terbuka untuk berbagi kursi dengan oposisi dengan maksud untuk menetralisir atau bahkan menghilangkan eksistensi oposisi.
Tipe kedua ini baru saja dialami Indonesia pasca masuknya Prabowo Subianto ke dalam kabinet presiden terpilih. Tentunya, kekosongan oposisi ini menjadi bukti bagaimana sistem demokrasi Indonesia, dengan sedemikian rupa telah dikartelisasi oligark.
Mengetahui kondisi sipil yang masih mengalami kesenjangan, rasanya mustahil bagi civil society untuk mengakses fasilitas demokrasi yang kepalang mahal. Lagi-lagi, ‘pemain lama’-lah yang menduduki partai-partai baru dengan upaya menggembar-gemborkan “rule of law” sebagai slogan ciamik khas demokrasi sosial. Sedangkan, mayoritas civil society yang masih berada dalam situasi resesi global serta represi politik, belum siap menutup kesenjangan sumber daya kekuasaan yang masih didominasi oleh oligark dan elit.
Dapat dikatakan, tidak ada satu pun entitas politik yang berstatus oposisi pada saat itu. Satu-satunya oposisi rezim Orde Baru adalah aktivis dan civil society. Kalau pun ada, individu atau tokoh politik tersebut sangat mudah dimanipulasi dan hanyut dalam konflik kepentingan.
Inilah yang disebut Hakim dan Jurdi (2017) sebagai ‘immature politicians’. Gagalnya mobilisasi kekuatan politik, kartelisasi partai politik yang berangsur cepat, bergantungnya publik terhadap immature politicians, dan gagalnya konsolidasi demokrasi oposisi non-oligarki menjadi penyebab lahirnya ‘kartelisasi oligark’ ini. Aktivis 98’ yang saat ini berada dalam pusara kartelisasi merupakan buah dari immature politicians.
Pada akhirnya, reformasi hanya mampu menyentuh sektor elektoral yang demokratis secara praktis melalui pemilu. Namun, tidak mampu mengurai eksploitasi kekuatan oligark yang mendarah daging dalam konstitusi di Indonesia. Praktik ‘membeli’ hak politik kelas non-elit pun tidak bisa dihindarkan, dan akan selalu mewarnai kontestasi demokrasi setiap lima tahun sekali.