Sabtu, Oktober 5, 2024

Dampak Eksistensi Fear of Missing Out (FoMO) pada Mahasiswa

Nurul Qolbiyah
Nurul Qolbiyah
Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sriwijaya

Sebagai mahasiswa tentunya diharuskan untuk selalu update mengenai berita atau peristiwa terbaru yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Mahasiswa harus tau isu yang sedang dibicarakan banyak orang, gosip yang sedang hangat, sampai ide berpakaian yang sedang tren lalu, tanpa disadari hidup kita dipengaruhi oleh tren yang ada di media sosial. Lama-kelamaan mereka jadi merasa tidak ingin tertinggal dan selalu berusaha meng-upgrade diri lebih baik lagi dan lagi.

Jika perasaan tidak ingin tertinggal itu justru muncul bukan karena kebutuhan atau demi kebaikan, sebaiknya harus curiga karena bisa jadi itu merupakan pertanda sindrom FoMO.

Fear of Missing Out atau lebih sering disingkat menjadi FoMO, merupakan salah satu fenomena komunikasi intrapersonal dimana seseorang merasakan kekhawatiran, kecemasan, hingga ketakutan jika ketertinggalan informasi yang beredar di media sosial.

Istilah FoMO diperkenalkan dalam artikel yang berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’Two FOs” dimana seseorang terkhusus remaja yang mengalami FoMO menganggap kehidupan orang lain lebih menyenangkan, sehingga berusaha melakukan hal yang sama.

Berdasarkan penjelasannya, dapat disimpulkan bahwa FoMO adalah kondisi atau keadaan di mana seseorang meyakini bahwa semua momen berharga dalam kehidupannya harus dihadiri atau tidak boleh terlewatkan. Yang juga tentunya membuat siapa saja yang merasakannya tidak tenang dan terus-menerus merasa gelisah apabila gagal mengikuti apa yang mereka lihat.

Munculnya sindrom FoMO akhirnya mendorong orang untuk menciptakan kehidupan virtual yang tak kalah menarik. Karena tidak ingin merasa dikucilkan, seseorang akhirnya mengunggah kehidupannya di media sosial berupa postingan tentang liburan, konser, tempat makan, pernikahan, anak, bahkan kehidupan pribadi yang tidak luput dieksploitasi untuk menjadi bahan postingan di media sosial. Ketika mereka tidak memiliki sesuatu yang menarik untuk diposting, mereka cenderung merasa ada sesuatu yang salah dalam hidup mereka.

Lalu, bagaimana cara mengatasi fenomena ini?

Image by jcomp on Freepik”>

Terdapat pemulihan jika ingin mengatasi sindrom FoMO ini, yaitu Joy of Missing Out atau JoMO adalah respon puas dan bisa menghargai hidup yang sedang dijalani saat ini.

Seseorang yang menikmati JoMO tidak akan merasa perlu untuk membuktikan atau membandingkan apa yang mereka laksanakan dengan orang lain. Seseorang yang dapat menikmati JoMO mempunyai kecerdasan emosional yang baik.

Fenomena FoMO yang terjadi dapat dilakukan pemulihan, berikut merupakan cara mengatasi FoMO:

1. Fokus pada kelebihan diri sendiri.

Menyadari ketidakmampuan diri sebagai manusia untuk selalu bisa mengikuti semua perkembangan teknologi. Fokus pada kelebihan diri sendiri menjadi pilihan terbaik dengan terus meningkatkan kualitas diri.

2. Hargai diri sendiri.

Banyak hal baik yang dapat dikerjakan dalam hidup. Fokus pada apa yang sedang dikerjakan dinilai dapat membuat percaya diri kita semakin meningkat.

3. Membatasi penggunaan media sosial dan gadget.

Sosial media merupakan penyebab utama seseorang terkena FoMO. Ia dapat mempengaruhi pikiran dan lintasan hati kita terhadap orang lain; selalu merasa tidak pernah puas dengan apa yang kita punya. Dengan membatasi penggunaan sosial media diharapkan dapat mengurangi kecemasan yang ada dan mulai belajar fokus terhadap diri dan lingkungan sekitar.

4. Bangun koneksi.

Manusia merupakan makhluk sosial penting untuk terus menjalin hubungan sosial, menjaga silaturrahim; berkunjung dan berkomunikasi. Perasaan FoMO akan hilang jika kita berbaur dengan orang lain di dunia nyata. Daripada sibuk membandingkan diri dengan orang lain secara online, sebaiknya mencoba untuk melebarkan relasi.

5. Ubah Persepsi.

Banyak peneliti yang menyebutkan bahwasannya fear of missing out itu merupakan salah satu bentuk pemikiran distorsi. Pemikiran distorsi adalah pola berpikir yang tidak rasional yang dapat menyebabkan kondisi depresi dan gangguan mental lainnya.

Sebagai contoh, kamu mungkin memiliki pemikiran bahwa ketika teman-temanmu berkumpul tanpa kamu, mereka sedang membicarakan kelemahan atau kekurangan yang dimiliki oleh dirimu.Untuk merubah pemikiran distorsi menjadi pikiran yang positif, dapat diarahkan untuk melakukan langkah-langkah ekstra.

Jika memang diperlukan, dapat melakukan “puasa” sosial media selama kurun waktu. Hal ini dapat mengontrol pikiran untuk tidak memikirkan hal-hal negatif yang tidak penting.

Dengan demikian, apabila setiap mahasiswa memiliki perilaku komunikasi terutama kemampuan komunikasi interpersonal yang baik, maka ia tidak perlu secara berlebihan dan terikat dengan media sosial untuk memenuhi kebutuhannya untuk tetap terhubung dan berinteraksi dengan orang lain. mereka akan banyak terlibat dalam komunikasi di dunia nyata tanpa harus terus memeriksa media sosialnya sehingga terhindar dari Fear of Missing Out (FoMO)

Nurul Qolbiyah
Nurul Qolbiyah
Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sriwijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.