Jumat, Mei 3, 2024

Fenomena “FOMO” dalam Kacamata Tafsir

Zahra Kamila
Zahra Kamila
a student who is fighting for his degree and dreams

“Fear of Missing Out” atau yang terkenal dengan sebutan “FOMO” sudah tak asing lagi ditengah masyarakat saat ini, kata “Fomo” juga dikenal sebagai “Rasa Takut Ketinggalan”. Hal ini merupakan perasaan kecemasan atau ketidaknyamanan yang dirasakan oleh seseorang ketika mereka percaya bahwa orang lain sedang mengalami pengalaman yang menyenangkan sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya. Fomo biasanya terkait dengan media sosial dan aktivitas yang dilihat orang di platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Tiktok.

Ketika seseorang melihat teman-teman dan rekan mereka berpartisipasi dalam acara, bepergian ke tujuan yang menarik, atau menikmati pertemuan sosial, mereka mungkin akan merasa seperti sedang melewatkan sesuatu yang menyenangkan atau penting bagi hidup mereka. Hal tersebut dapat menyebabkan perasaan ketidakpuasan, kesepian, dan kebutuhan untuk terus memeriksa media sosial agar tetap terhubung dan menghindari ketinggalan informasi baru. Hal ini telah menjadi fenomena budaya yang signifikan di era komunikasi digital dan jejaring sosial yang semakin canggih.

Namun sayangnya, perasaan tidak puas yang terjadi secara terus menerus tersebut, dapat berdampak buruk bagi siapapun yang mengalaminya. Perasaan tidak puas akan menimbulkan rasa kurang bersyukur terhadap nikmat Allah SWT, bahkan hal tersebut juga dapat menjadikan manusia sebagai pribadi yang tamak, serakah dan juga lalai terhadap nikmat yang telah Allah SWT anugerahkan dalam hidupnya.

Maraknya fenomena “Fomo” yang terjadi disekitar kita sudah tak lagi dapat dielakkan, banyak orang yang telah merasakan dampak buruk dari fenomena tersebut. Tak jarang diantaranya melakukan segala hal yang diinginkan dengan dalih menuruti innerchild, atau mood-nya yang sedang tidak baik. Padahal sejatinya, tanpa disadari orang tersebut sedang terpengaruh oleh fenomena “Fomo”.

Contoh kecil yang paling mencolok saat ini adalah, banyaknya orang menjadikan iPhone sebagai kasta tertinggi, sehingga jika mereka melihat ada seseorang disekitarnya yang menggunakan iPhone, maka ia akan merasa bahwa dirinya adalah orang yang sangat tertinggal, buruknya lagi, terkadang mereka akan mengusahakan dengan berbagai cara untuk bisa mendapatkannya.

Sebagaimana tertera dalam hadis Nabi SAW, yang disampaikan oleh Ibnu Az Zubair pada saat berkhutbah di Makkah, ia mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Dalam hadis diatas dijelaskan bahwa pada dasarnya sifat manusia ialah selalu merasa kurang, dan tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Namun, jika dilihat dari konteks perbuatannya dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam konteks kebaikan dan keburukan.

Jika dalam konteks kebaikan, seperti pada keilmuan dan lainnya, maka sifat tersebut menjadi sifat yang baik dan harus dimiliki oleh setiap manusia. Sedangkan jika dalam konteks keburukan, seperti selalu merasa kurang dengan nikmat Allah, sehingga menimbulkan sifat iri, dengki terhadap orang lain, maka sifat tersebut menjadi sifat buruk yang harus dihindari.

Kisah yang terkandung dalam Q.S. al-Takasur ayat 1, Selaras dengan pembahasan fenomena “Fomo” yang sedang marak pada saat ini. Dikisahkan dalam asbanun nuzul Q.S. al-Takasur, bahwasanya pada masa Nabi, terdapat dua kabilah dari kalangan kaum Anshar, yakni Bani Haritsah dan Bani Harits, dimana mereka saling membangga-banggakan harta dan saling berlomba dalam meraih dunia, sehingga membuat mereka lalai dengan nikmat akhirat yang abadi.

Dalam Q.S. al-Takasur: 1, yang berbunyi:

اَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Artinya: “Bermegah-megahan dengan harta telah melalaikan kamu”

Jika dikaji dalam penafsiran al-Qur’an, kata alhaakum (اَلْهَاكُمُ) berasal dari kata lahaa-yalhaa (لَهَا-يَلْهَا) yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu sehingga mengabaikan hal yang jauh lebih penting. Sedangkan kata at-Takasur (التَّكَاثُرُ) berasal dari kata (كَثْرَةُ) yang memiliki makna banyak. Dalam kata ini mengandung sebuah persaingan antara dua belah pihak atau lebih, dimana mereka saling membanggakan diri satu sama lain dengan banyaknya harta yang dimiliki.

Dikutip dari kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, beliau adalah seorang mudarris tafsir Universitas Islam Madinah. Dalam kitabnya menyebutkan bahwa makna yang terkandung dalam Q.S. at-Takasur: 1, adalah

“Memperbanyak harta dan keturunan, serta berbangga-bangga dengan itu, dan saling berlomba untuk mengumpulkannya telah melalaikan kalian dari ketaatan kepada Allah dan beramal untuk akhirat.”

Dikutip pula dari kitab Tafsir Al-Wajiz karya Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, seorang pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah. Beliau menafsirkan ayat tersebut, sebagai berikut:

“Kesibukanmu wahai manusia, hanya berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta dan merasa bangga dengan harta dan anak yang banyak.”

Dalam kitabnya diriwayatkan dari Imam Ahmad, Imam Muslim, Tirmidzi dan An-Nasa’i dari Abdullah bin Syikhir berkata: “Aku berhenti saat bertemu Rasulallah SAW yang sedang bersabda “{Alhaakumut takaatsur}, dan anak Adam menyebut-nyebut: “hartaku hartaku”, (beliau bertanya) “Tidaklah kamu memiliki hartamu kecuali kamu memakannya lalu menghancurkannya atau kamu memakainya lalu membuatnya lusuh atau kamu menyedekahkannya, maka kamu membuatnya tetap abadi”.

Dari kedua pendapat kitab tafsir diatas, dapat kita ketahui bahwasanya sifat berlebihan dalam harta sangat berdampak buruk bagi kehidupan manusia, barangsiapa yang kesehariannya sibuk dengan urusan dunia, selalu merasa kurang terhadap apa yang telah ia punya, dan membangga-banggakan hartanya, maka kelak di akhirat hartanya akan menghancurkannya. Secara tidak langsung, orang-orang yang terkena dampak fomo, pasti akan lalai terhadap akhiratnya, sebab yang ada dipikirannya hanyalah mencari kepuasan yang di inginkannya.

Meski maraknya fenomena “Fomo” telah menjadi hal yang wajar di kalangan kita, alangkah baiknya hal tersebut kita hindari, agar senantiasa terselamatkan dari hati yang selalu merasa kurang terhadap nikmat Allah SWT, dijauhkan dari hal yang membuat kita selalu merasa tidak puas terhadap segala yang telah kita miliki, dan tetaplah berdoa kepada Allah SWT agar selalu diberi hati yang lapang dan pandai bersyukur atas nikmat-Nya. Wallahu A’lam.

Zahra Kamila
Zahra Kamila
a student who is fighting for his degree and dreams
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.