Oleh: Anggie Tri Syafitri, Muhammad Abi farhan & Novi Agustini
Pada awal tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada tantangan ekonomi baru akibat penerapan kebijakan peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. PPN adalah pajak yang dikenakan pada transaksi penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Kebijakan ini secara langsung berpengaruh terhadap harga barang dan jasa di pasar. Pada akhirnya, pajak ini akan dibebankan kepada konsumen, sementara Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki tanggung jawab untuk menyetorkannya kepada negara. Sebagai pajak tidak langsung yang tidak bersifat kumulatif, PPN hanya dikenakan pada nilai tambah di setiap tahap produksi dan distribusi.
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah strategis yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, dengan tujuan mendukung program pembangunan dan mengurangi defisit fiskal. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak dari kebijakan ini, pemerintah telah menyiapkan 15 paket stimulus ekonomi dengan total anggaran mencapai Rp38,6 triliun.
Bantuan ini ditujukan terutama untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, kelas menengah, serta sektor usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta industri padat karya. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024, pemerintah juga mengatur bahwa tarif PPN 12% akan dikenakan terutama pada barang-barang mewah yang sebelumnya sudah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), seperti kendaraan bermotor dan properti yang memiliki harga jual minimal Rp30 miliar.
Walaupun kebijakan ini lebih ditujukan pada barang dan jasa mewah, tujuan utamanya adalah memperkuat perekonomian nasional serta meningkatkan penerimaan negara.Dengan bertambahnya pendapatan pajak, pemerintah akan memiliki lebih banyak ruang fiskal untuk membiayai berbagai proyek pembangunan dan meningkatkan layanan publik.
Selain itu, kenaikan tarif PPN ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kebutuhan untuk memperkuat stabilitas fiskal pasca-pandemi Covid-19 yang telah menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan penurunan pendapatan pajak. Kebijakan ini juga bertujuan untukmengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan menyesuaikan tarifpajak nasional dengan standar global.
Penerapan PPN sebesar 12% telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi, tetap saja menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Banyak pihak khawatir tentang dampak kenaikan tarif ini terhadap harga barang dan jasa, yang dapat meningkatkan beban ekonomi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
Para ekonom juga memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menekan daya beli masyarakat dan memperlambat konsumsi domestik, yang pada akhirnya dapat menghambat pemulihan ekonomi nasional. Sementara itu, sektor UMKM tidak langsung terkena dampak dari kenaikan PPN ini, karena fokus mereka lebih pada barang-barang mewah. Namun, jika kebijakan ini memicu inflasi, UMKM tetap berisiko merasakan dampak negatifnya,seperti kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli konsumen. Kenaikan PPN sebesar 12% sesungguhnya mencerminkan peningkatan yang lebih signifikan, karena perhitungan pajak dilakukan berdasarkan nilai tambah dalam rantai produksi dan distribusi.
Tarif PPN yang meningkat juga dapat memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Dengan harga barang yang lebih tinggi, masyarakat mungkin akan mengurangi pembelian barang-barang mewah dan beralih ke alternatif yang lebih terjangkau. Hal ini bisa memperlebar kesenjangan ekonomi, mengingat kelompok berpenghasilan rendah lebih rentan terhadap kenaikan biaya hidup dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
Akibatnya, peningkatan biaya hidup dapat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat, terutama dalam hal akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan layanan kesehatan. Untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini, pemerintah dapat melakukan langkah-langkah yang responsif seperti memberikan subsidi untuk barang kebutuhan pokok, mengoptimalkan distribusi bantuan sosial, serta melakukan edukasi perpajakan secara lebih komprehensif. Dengan kebijakan pendukung yang tepat, diharapkan dampak negatif dari kenaikan tarif PPN dapat diminimalkan, sehingga kesejahteraan masyarakat tetap terjaga di tengahperubahan kebijakan fiskal ini.