Sabtu, Mei 4, 2024

Dakwah Virtual, Politik Kesalehan, dan Demokrasi

Muhammad Said
Muhammad Said
Pembelajar dan Penikmat Kopi.

Masyarakat Indonesia telah bergerak dari sistem tradisional menuju sistem yang berpusat kepada informasi. Kondisi ini tentu mempengaruhi pembentukan sistem tata nilai, pengetahuan, keagamaan, ‎tradisi, dan kebudayaan.

Manusia modern, selain memiliki realitas aktual, juga realitas virtual. Realitas virtual ini dieksprsikan melalui media sosial. Dalam konteks demokratisasi Indonesia, media sosial memiliki efek ideologis yang kontradiktif; satu sisi, media sosial mampu memediasi aspirasi dan kritik warga terhadap pemerintah secara terbuka.

Namun di lain sisi, media sosial tak jarang menjadi keranjang sampah, di mana segala ujaran kebencian, sikap sektarianistik, hoaks, dan fitnah ditumpahkan sebebas-bebasnya yang, justru mencederai demokrasi itu sendiri.

Di era “post-tradisional” sekarang ini, pesan-pesan kitab suci diwacanakan melalui informasi daring; salah satunya da’wah virtual. Dari sini, muncul apa yang disebut oleh Bryan S. Turner, sebagai “diskursif dan otoritas populer”.

Dalam masyarakat jaringan (network society), diksurisf dan otoritas dibentuk melalui data yang mengalirkan informasi. Sehingga kuasa, otoritas, dan karisma ditentukan oleh seberapa berpengaruh wacana keagamaan dan sosial politik itu berhasil diviralkan dan memiliki efek hegemonik mempengaruhi massa (warganet).

Belakangan, ummat Islam Indonesia sedang menikmati tren baru: dakwah virtual. Melalui beragam fans fage dakwah, khususnya di facebook, ummat Islam Indonesia tiap hari mengkonsumsi isu-isu sosial-keagamaan secara instan.

Bagi sebagian masyarakat, dakwah virtual ini telah menjadi sumber pengetahuan baru terkait perihal keislaman. Di sana mereka dengan mudah mendapatkan jawaban dari berbagai persoalan: mulai dari soal ‘amaliyah hingga soal-soal teologis. Bahkan, da’wah virtual ini pun kadang memberi jawaban untuk perihal teologi agama lain. Hebat, bukan?

Kebangkitan para da’i virtual ini ternyata tidak hanya merespon isu keislaman, belakangan mereka juga merespon isu-isu kebangsaan dan kekuasaan (politik). Para da’i virtual ini sebetulnya memilki corak ideologis yang beragam, sehingga dalam realitas online, mereka sering terlihat berselesih paham tentang satu pokok persoalan keagamaan.

Namun demikian, dalam realitas offline, para da’i ini terlihat solid dan melampaui sekat-sekat perbedaan ideologis yang ada. Di dalam sebuah video pendek yang beredar akhir-akhir ini terlihat para da’i lintas ideologi mendeklarasikan semangat persatuan Islam.

Aktivisme dakwah virtual ini memberi dampak cukup signifikan bagi massa Islam, baik pada tataran teologis, maupun politis. Salah satu dampaknya ialah munculnya suatu habitus baru ummat Islam Indonesia, yakni kecenderungan go beyond buondaries. Dalam arti, banyak kalangan di dalam dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah, dalam batas tertentu, berani menyebrang dan keluar dari identitas kultural maupun politis ormasnya.

Banyak kalangan mengasumsikan bahwa kebangkitan dakwah virtual ini sengaja dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk tujuan politis. Menurut saya, terlalu prematur jika menilai aktivisme dakwah virtual ini sebagai semata-mata bernuansa politis. Meskipun harus diakui bahwa aroma politisnya tetap ada.

Namun demikian, sepertinya faktor dominan yang mendorong kebangkitan dakwah virtual ini adalah perihal “ nilai”. Yakni, munculnya suatu kehendak untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam melawan nilai-nilai yang ‘dianggap’ sekuler, liberal, dan komunis yang mengancam Indonesia.

Penting juga dicatat bahwa akhir-akhir ini aktivisme dakwah virtual semakin senada dengan spirit 212. Pertemuan para da’i virtual, ikon gerakan 212, presidesium 212 dan eleman-elemen lain seperti HTI, MMI, dan beberapa kelas menegah Muslim dari kalangan artis kian memperjelas perihal tersebut.

Sungguhpun demikian, saya melihat pertemuan itu sebagai representasi habitus kelas menegah Muslim ketimbang sebagai agenda politis. Sebab pertemuan tersebut dimungkinkan terjadi karena adanya kegiatan umroh yang merupakan tren ibadah para kelas menegah Muslim. Selain itu, para da’i tersebut juga bukanlah pengurus struktural di partai-partai politik.

Berdasarkan video yang beredar, pertemuan tersebut terlihat mempercakapan isu moral, jalan dakwah, dan jihad medsos. Dari cuplikan video itu, nampaknya perjuangan moral untuk mewujudkan NKRI bersyari’ah masih menjadi poin utama.

Salah seorang da’i seleb, misalnya, mengatakan: “saat ini jihad jangan hanya pakai otot, tapi harus pakai otak, mereka bikin musik, lawan dengan nasyid, mereka bikin film yang gak bener, lawan dengan film religi, mereka bikin produk, lawan dengan produk, mereka bikin cyber untuk menjatuhkan ulama’ kita, lawan dengan cyber, bela ulama’ kita, ceriatkan kebaikan mereka, gambarkan, viralkan perjuangan mereka, kalau mereka bikin aplikasi, kita juga bikin aplikasi, inilah baru namanya jihad”. Dari statemen tersebut cukup jelas bahwa ini persoalan “pertarungan nilai”, atau dalam bahasa populer di kalangan aktivis dakwah disebut “gozwul fikri”.

Kuasa dan otoritas para pendakwah virtual ini sepertinya tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab kuasa dan otoritas virtualnya akhir-akhir ini semakin mewujud dalam realitas aktual. Lihatlah betapa meriahnya resepsi masyarakat di daerah-daerah menyambut dan menikmati ceramah-ceramah itu secara lansung.

Khotbah moral dilantangkan sebagai sebuah perlawanan terhadap nilai-nilai yang “dianggap” menyimpang. Meminjam terma Saba Mahmood, saya ingin mengatakan bahwa tren ini merupakan bentuk politic of piety. Yakni munculnya suatu kesadaran tentang semakin sekulernya tata nilai kehidupan, dan oleh sebab itu nilai-nilai Islam harus ditegakkan.

Namun yang perlu ditegaskan, apakah benar Indonesia ini dipenuhi sekularisme, liberalisme dan komunisme sebagaimana yang mereka imajinasikan, yang dengan lantang mereka kutuk dalam setiap ceramah, pernahkah berdialog secara fair dan terbuka terkait isu-isu tersebut? Ketika kita belum sempat memastikan itu semua, kita telah lebih dulu menaruh “phobia” di antara kita.

Politik of Piety ini kemudian dengan segera disandera, dikooptasi oleh elit-elit partai, dan dijadikan social capital, maka di situlah kemudian persoalannya tak lagi sederhana. Pada titik ini, jalin-kelindan moral, kekuasaan, kepentingan politik praktis menjadi sedemikian rumit. Seperti kompleksnya memahami gerakan-gerakan keagamaan macam subuh berjama’ah, zikir akbar, tablig akbar di musim-musim politik, yakni mempercampurkan antara aspek kesalehan dan kepentingan politik praktis.

Selain itu, isu-isu ketimpangan ekonomi juga akan terus dimainkan. Terbentuknya koperasi syari’ah 212 dan mart212 di beberapa daerah akan menjadi modal untuk mengkampanyekan kebangkitan ekonomi umat Islam dan perlawanan terhadap kapitalisme global.

Proses demokratisasi dan keadaban politik Indonesia akan sangat bergantung pada: partisipasi elit-elit partai, tokoh-tokoh ormas, tokoh tokoh agama, para intelektual publik, kelas menengah muslim, dan tentunya seluruh rakyat Indonesia. Di tangan mereka, Anda, dan kita semua-lah masa depan demokrasi dipertaruhkan. Selamat menjelang tahun-tahun politik: pilkada 2018 dan Pilpres 2019

Muhammad Said
Muhammad Said
Pembelajar dan Penikmat Kopi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.