Mati muda selalu menyesakkan. Ia memaksakan tanda titik ketika kalimat masih seharusnya bertanda koma. Ia menghentikan yang sedang melaju, meninggalkan pertanyaan yang tidak mungkin ada jawabannya. Tetapi ia juga menawarkan keabadian.
Itulah kalimat yang ditulis oleh Yusuf ‘Dalipin’ Arifin dalam Buku Catatan Untuk Istri (2023: 57). Ya, memang banyak tokoh yang mati muda, namun namanya tetap dikenang hingga kini. Salah satunya adalah Chairil Anwar. Usianya tidak sepanjang ungkapan dalam puisinya yang berjudul Aku “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Ia mati muda, di umur 27 tahun.
Chairil lahir di Medan tanggal 22 Juli 1922. Wafat di Rumah Sakit CBZ, sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada setengah tiga sore 28 April 1949. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Karet Bivak keesokan harinya.
Bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Apin, ia mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka. Ketiganya dikenal sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Mereka menerbitkan kumpulan sajak bersama berjudul Tiga Menguak Takdir.
Menurut Ajip Rosidi bahwa judul tersebut oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai upaya ketiga penyair dalam menghadapi atau “menguak” Sutan Takdir Alisjahbana, karena kata “Takdir” dihubungkan dengan perjuangan ketiga penyair itu dalam menghadapi Pujangga Baru yang dilambangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Namun, menurut sebagian penafsir lainnya, kata “takdir” dalam judul tersebut diartikan sebagai nasib, kadar, atau suratan tangan. Oleh karena itu, judul tersebut mereka tafsirkan sebagai usaha ketiga penyair tersebut dalam mencoba membuka, memahami, atau mengerti takdir manusia.
Pembaca yang Ulung
Chairil Anwar adalah anak tunggal dari pasangan Tulus dan Saleha. Ayahnya, Tulus, pernah menjabat sebagai bupati di Kabupaten Indragiri, Riau, dan berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sementara itu, ibunya, Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Selepas perceraian kedua orang tuanya, ia pindah ke Jakarta ikut ibunya. Chairil Anwar juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Ia hanya sekolah sampai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP, tidak tamat, cuman bertahan satu tahun. Meskipun begitu Chairil menguasai bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman. Selain itu bacaannya pun luas.
“Ia mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang. Bukan karena sajak-sajaknya mendapat hadiah atau sambutan baik dari Kantor Pusat Kebudayaan, ataupun karena ia berlomba-lomba mencipta sesuai dengan pesanan Jepang, tetapi terutama karena sifatnya yang eksentrik dan tidak mau dikuasai oleh Kantor Pusat Kebudayaan. Malah ia sering mengejek kawan-kawannya seniman yang berkumpul sekitar Kantor Pusat Kebudayaan,” tulis Ajip dalam Buku Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (2017: 104).
Individualis yang Patriotik
Ajip menjelaskan bahwa dari esai-esai dan sajak-sajaknya, terlihat jelas bahwa Chairil Anwar adalah seorang individualis yang bebas. Ia dengan berani dan secara demonstratif menentang sensor Jepang, yang membuatnya sering menjadi target incaran Kempeitai, polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam. Salah satu sajaknya yang paling terkenal dan menggambarkan semangat hidupnya yang menyala-nyala serta individualistis adalah sajak berjudul “Aku” (yang di beberapa tempat juga diberi judul “Semangat”). Dalam sajak ini, ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang,” sebuah istilah yang segera menjadi terkenal.
Namun, menurut Ajip selain sebagai seorang individualis, Chairil Anwar juga mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya seperti “Diponegoro,” “Krawang-Bekasi,” “Persetujuan dengan Bung Karno,” “Siap Sedia,” “Cerita buat Dien Tamala,” dan lain-lain.
“Dari bahan-bahan dan keterangan-keterangan yang hingga sekarang sudah ditulis baik oleh Jassin, Teeuw maupun yang lain-lain, agaknya jelas sudah bahwa Chairil adalah seorang manusia individualis anarkhis yang boleh dikatakan tidak mempedulikan yang lain-lainnya, kecuali kesusasteraan khususnya, kesenian dan kebudayaan umumnya. Bahkan intensitasnya sebagai sasterawan menimbul kan berbagai macam ketegangan dengan lingkungan hidupnya sehari-hari, malahan dengan isterinya sendiri,” tulis Ajip dalam Buku Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (2018: 30).
Sementara itu HB Jassin mengatakan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar menghembuskan jiwa, semangat, dan cita-cita kaum muda, bukan dalam arti mentah atau belum matang, tetapi dalam arti terus-menerus bersifat pembaruan, segar, vital, penuh kehidupan, bergerak, dan menggerakkan.
Menurutnya, tidak dapat disangkal bahwa sajak-sajak Chairil benar-benar mewakili bahkan mendahului apa yang hidup dalam hati sanubari angkatan muda. Meskipun pada awalnya sajak-sajak Chairil bersifat individual, ternyata kini penyair-penyair muda lainnya juga mengenal dan mewujudkan dalam sajak-sajak mereka apa yang mula-mula disampaikan oleh Chairil.
Karya Chairil Anwar
Antara tahun 1942 hingga 1949, Chairil Anwar telah menghasilkan 94 karya, yang terdiri atas 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
“Jumlah 94 yang telah saya jumpai tadi mungkin masih bisa ditambah dengan beberapa tulisan lagi yang luput dari perhatian saya,” tulis HB Jassin dalam Buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (2018:3).
Nah, Anas Ma’ruf di tahun 1953 pernah menyampaikan bahwa Chairil Anwar pernah menerjemahkan kumpulan fragmen, cerita pendek, dan novel dari karya yang disebut “Indische Belletrie.” Kumpulan terjemahan tersebut diberi judul “Daerah Persinggahan,” namun sebelum sempat diterbitkan, manuskripnya berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, sehingga hingga kini keberadaannya tidak diketahui.
Kematian Chairil Anwar
Chairil Anwar dirawat di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dari 22 hingga 28 April 1949, dengan diagnosis resmi tifus menurut catatan rumah sakit. Namun, sebenarnya ia telah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Kondisi fisiknya yang semakin melemah menyebabkan komplikasi pada usus yang akhirnya merenggut nyawanya, karena terjadi pecah pada ususnya.
“Chairil meninggal dengan tidak lupa kepada Tuhan. Meskipun dia dalam masa akhirnya mengigau oleh karena tinggi panas badannya, pada saat-saat dia insaf akan dirinya dia selalu mengucapkan Tuhanku, Tuhanku……,” ujar HB Jassin.