Selasa, Desember 16, 2025

Cara Laki-laki ‘Menghindari’ Pelecehan Seksual

Nurjihaana El Fathiin
Nurjihaana El Fathiin
Mahasiswa aktif.
- Advertisement -

Entah miris atau justru bukti empirisnya kecepatan jaringan informasi masa kini, telinga kita ‘akrab’ dengan kalimat “pelecehan seksual”. Berbagai jenis kasus dimulai dari ruang publik, instansi pendidikan, bahkan rumah tangga sendiri seolah ‘berlomba-lomba’ menggaungkan pencapaian tragis.

Tak ketinggalan juga, berbagai tulisan, seminar, video edukasi, bahkan poster peringatan memberikan wawasan apa saja yang termasuk pelecehan seksual dan bagaimana cara melaporkannya. Tetapi data KPPA menyebutkan, terdapat 14.459 kasus kekerasan seksual di 2024, sedang sampai saat ini terdapat 12.763 kasus kekerasan seksual di 2025. Angka yang masih sangat besar. Bulan Desember belum berakhir, tetapi angka tersebut menjadi bukti getirnya perlindungan terhadap kekerasan seksual. Siapapun bisa mengalami, terlebih dengan berkembangnya sosial media belakangan ini.

Pelecehan seksual tidak timbul dari niat 1 atau 2 hari. Dalam kacamata psikologi, perilaku hina tersebut bersumber dari akar permasalahan yang kompleks. Baik itu pola pendidikan gender yang keliru, norma sosial yang menoleransi agresi, rendahnya literasi emosi, hingga pemahaman yang salah tentang batasan tubuh dan consent. Faktor-faktor ini tidak muncul tiba-tiba, tetapi terbentuk perlahan melalui lingkungan keluarga, pergaulan, budaya maskulin yang menekan ekspresi emosi, dan paparan informasi yang semakin tidak terkontrol.

Nelson (2021) menjelaskan bahwa peran gender tradisional membentuk laki-laki untuk tampil kuat, dominan, dan tidak menunjukkan emosi. Norma ini bukan hanya mengatur bagaimana laki-laki harus bertindak, tetapi juga membentuk pandangan masyarakat tentang seperti apa “lelaki sejati” seharusnya. Nilai-nilai seperti agresivitas, dominasi, dan ketidakpekaan emosional kemudian dianggap sebagai standar maskulinitas. Pola ini dikenal sebagai toxic masculinity. Akibatnya, berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan laki-laki seringkali dianggap hal biasa. Frasa seperti “namanya juga laki-laki” menjadi pembenaran yang mengaburkan batas antara perilaku wajar dan perilaku bermasalah. Secara emosional, tekanan semacam ini mendorong laki-laki untuk menekan perasaan mereka sendiri demi menghindari cap “lembek” atau “kurang jantan”.

Dalam konteks sosial, pembicaraan seksual atau objektifikasi terhadap perempuan menjadi sesuatu yang dinormalisasi, karena dianggap menunjukkan kontrol dan kekuasaan. Dua hal yang dilekatkan pada maskulinitas. Bahkan edukasi tentang consent sering direduksi menjadi stereotip dangkal, seolah isu kekerasan seksual hanya berkaitan dengan daya tarik pelaku, bukan tentang persetujuan dan batasan tubuh. Alhasil, kasus kekerasan seksual terus berulang, karena banyak laki-laki terdorong mengejar bentuk maskulinitas yang sebenarnya membatasi dan merugikan mereka sendiri.

Sudah saatnya kita bergerak lebih jauh, tidak hanya berhenti pada kesadaran bahwa masalah ini nyata, tetapi mulai membangun langkah preventif yang konkret. Selama ini, sebagian besar kampanye lebih menekankan pada cara melaporkan kasus atau mengenali tanda-tandanya padahal akar perilaku dapat dicegah jauh sebelum tindakan terjadi. Edukasi yang tepat menjadi kunci untuk menekan angka kekerasan seksual, terutama ketika diberikan sejak usia remaja dan diarahkan pada pembongkaran norma-norma keliru yang telah diwariskan. Terutama bagi laki-laki, edukasi ini memberi ruang aman untuk mempelajari kembali bagaimana cara membangun relasi dengan diri sendiri yang sehat tanpa terjebak pada tuntutan maskulinitas yang keliru.

Khatimah, dkk. (2025) menyebutkan bahwa edukasi kekerasan seksual yang efektif tidak hanya menjelaskan jenis-jenis perilaku bermasalah, tetapi juga mengajarkan cara menghargai batasan pribadi, memahami pentingnya consent, serta memberikan emotional support yang tepat bagi korban. Edukasi yang komprehensif ini menekankan bahwa pencegahan tidak hanya soal mengenali risiko, tetapi juga menumbuhkan empati, kemampuan regulasi emosi, dan penghargaan terhadap batasan orang lain. Bagi laki-laki, hal ini menjadi kesempatan untuk membangun kedewasaan emosional yang seringkali dihambat oleh norma maskulinitas tradisional.

Teori Social Learning dari Bandura menjelaskan bahwa individu sangat mudah mempelajari perilaku dari lingkungannya. Ini berarti, upaya preventif tidak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan sosial yang membentuk laki-laki sejak awal. Dalam kultur yang menormalkan laki-laki sebagai figur yang harus mengambil kontrol, salah satu faktor protektif yang kuat dalam mencegah kekerasan seksual adalah kesadaran dan kemampuan mengendalikan diri. (Paputungan, 2025) Kontrol diri tidak hanya terkait kemampuan menahan dorongan agresi, tetapi juga kemampuan menyadari dampak perilaku terhadap orang lain, serta menolak tekanan kelompok yang menormalisasi kekerasan. Bagi laki-laki, keterampilan ini penting untuk membangun relasi yang aman dan menghormati batasan orang lain.

Tidak kalah penting, kepekaan menjadi active bystander juga perlu disadari. Pencegahan tidak hanya bertumpu pada individu yang berpotensi menjadi pelaku, tetapi juga pada orang-orang di sekitar yang mampu mengambil tindakan ketika melihat tanda bahaya. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan konsep 5D dari komunitas Right To Be. Antara lain yaitu Direct atau menegur pelaku secara langsung, Delegate yaitu mencari bantuan dari pihak yang lebih berwenang, Distract untuk mengalihkan perhatian agar mencegah kejadian yang tidak diinginkan, Document dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk pelaporan, dan Delay yaitu memastikan kondisi korban serta memberikan ketenangan setelah kejadian. (Feyori, 2024) Kesadaran diri menjadi active bystander ini sangat relevan bagi laki-laki yang ingin berkontribusi menciptakan ruang sosial yang lebih aman, tanpa harus merasa bahwa mereka selalu ditempatkan sebagai bagian dari masalah.

Mencegah pelecehan seksual bukan hanya soal melindungi korban, tetapi juga membangun masyarakat yang sehat bagi semua orang. Termasuk laki-laki itu sendiri. Ketika laki-laki diberi ruang untuk memahami emosi, mengenali batasan tubuh, dan membebaskan diri dari tekanan maskulinitas yang mengekang, mereka tidak hanya menjadi individu yang lebih aman bagi lingkungannya, tetapi juga lebih utuh bagi dirinya sendiri. Pencegahan bukan lagi sekadar kampanye, melainkan upaya kolektif untuk memutus rantai perilaku yang diwariskan turun-temurun. Dengan keterlibatan laki-laki sebagai bagian dari solusi, kita membuka pintu menuju masa depan di mana rasa aman bukan lagi sebuah privilese, tetapi hak yang benar-benar dapat dirasakan semua orang.

Nurjihaana El Fathiin
Nurjihaana El Fathiin
Mahasiswa aktif.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.