Masih ingat ketika Iwan Fals bertransformasi di tahun 2012 lalu? Setelah lama tak ada kabar, tiba-tiba muncul sebagai pengiklan sebuah merk baru kopi instan.
Pastinya kamu kecewa. Seperti saya yang mengaguminya; di kala kuliah dulu, mendengar atau memainkan musik Iwan Fals merupakan simbol perlawanan. Sejarah hidupnya yang harus diasingkan pemerintah karena protes lewat lagu, ternyata berakhir di tahun itu. Idiom “bongkar” yang dahulu disandingkan dengan penindasan, kesewenang-wenangan, turun ke jalan, runtuh menjadi “bongkar kebiasaan lama.” Sosok Asian Hero berakhir sebagai penjual kopi.
Iwan Fals tidak sendirian. Jika dirunut ke belakang, banyak artis yang telah melegenda, lantas muncul kembali sebagai sosok yang berbeda. Mary Pickford, nama yang melejit di Hollywood pada paruh pertama abad 20. Wajah chubby dan kekanak-kanakan menjadikannya idola peran anak umur 12 tahun, meski dalam film Little Annie Rooney yang umurnya ketika itu sudah 32 tahun. Suatu kali ia mencoba berperan sebagai orang dewasa, namun film tak laku di pasaran. Bukan karena permainannya yang buruk, tetapi karena penonton ingin melihat seorang ‘bintang’ yang bersinar lewat peran anak-anak.
Seorang artis adalah bintang. Sekali ia terbit di ufuk barat, para penonton tidak akan sudi melihatnya terbit di bagian langit yang lain, apalagi terbit di siang hari. Ia adalah suatu karakter dengan kepribadian yang terpujakan (celebrate). Ia juga seorang idola; idol di dalam bahasa Inggris berarti dewa. Tidak ada yang percaya jika dewa air berubah menjadi dewa petir.
Seorang bintang akan selalu dipuja, bahkan di luar perannya dalam film. Keseharian, foto, fans club, akun media sosial, gosip; semuanya berjalin untuk menahbiskan kehadirannya sebagai publik figur. Bintang film (juga musik) tidak hadir hanya sebagai pemain film. Memang pada awalnya mereka dikonstruksi untuk menjadi sosok yang ia bawakan di dalam film atau lagu-lagunya, namun akhirnya mereka harus hidup sesuai dengan sosok yang ia bawakan.
Dengan demikian seorang bintang sebetulnya memainkan peran dalam dua dunia, dan dalam dua dunia itu permainannya dibatasi: peran yang dimainkan dalam film terbatasi oleh kebintangannya. Peran yang dimainkannya sebagai “bintang film” terbatasi oleh peranannya dalam film—tentang dirinya sendiri, sebisa mungkin hal itu ditutupi, karena hanya akan menjadikannya “orang biasa” seperti semua orang lain, dan mereka yang terlanjur memujanya tidak ingin melihat fakta bahwa pujaan mereka sama konyolnya dengan diri mereka sendiri.
Dalam banyak kasus, seorang bintang tidak melulu tentang seberapa bagus perannya di dalam film, atau seberapa indah syair-syair lagu yang ia nyanyikan. Bintang dinilai lewat seberapa sosoknya bisa laku di pasaran. Mereka memang tidak perlu bakat, melainkan aura yang unik, misteri, suatu magnet yang akan terperagakan olehnya—dan supaya tampak alamiah, ternyata harus direkayasa.
Manusia pertama yang mendapat perekayasaan ini adalah Florence Lawrence, dan yang lebih penting adalah perekayasanya, yang tercatat bernama Carl Laemmle, seorang pemilik studio modern pertama. Pada tahun 1910, dalam rangka menghadapi konglomerasi Edison, ia mencoba teknik publikasi baru, yakni menyebarkan rumor dan polemik, yang semuanya dia tulis sendiri, tentang benar tidaknya Lawrence sudah meninggal.
Isu kematiannya mendadak misteri dan diperbincangkan seluruh kalangan. Carl Laemmle lalu meminta Lawrence muncul di sebuah stasiun kereta api. Dampaknya luar biasa. Lawrence dikerumuni oleh orang banyak, bahkan banyunya dirobek-robek untuk dijadikan cinderamata. Seorang bintang pun dilahirkan. Semenjak saat itu, siapa nama sang pemain film menjadi lebih penting ketimbang perannya dalam film.
Bukankah dunia hiburan sekarang dijalankan dengan cara demikian? Tanpa lelah, stasiun-stasiun televisi mengangkat perdebatan, yang kita sebut gosip, tentang artis. Sangat jarang kita dengarkan perbincangan tentang perannya di dalam film dan musik.
Iwan Fals pun tak luput. Kita tidak lagi memuja lantaran musiknya, tetapi bagaimana sosoknya dihadirkan sebagai seorang pemusik yang berani menentang pemerintah. Maka ketika ia hadir dalam sosok yang lain, bukan hanya sosoknya yang luntur, mendengar musiknya pun serasa ogah. Padahal tak ada yang berubah dalam musik, hanya sosoknya yang ada dalam kehidupan sehari-hari sebagai bintang.
Iwan Fals menjadi salah satu dari sekian banyak artis yang berakhir demikian. Beberapa bintang Hollywood seperti Greta Gustaffson dan Marlene Diettrich memilih untuk keluar dan menghilang. Ada pula artis yang tetap menjadi legenda, semacam Rudolph Valentino, aktor terbaik film bisu sepanjang masa, lantaran ia meninggal di usianya yang masih sangat muda, 31 tahun.
Namun, yang lebih tragis, para artis yang kalah dengan selebritasnya sendiri memilih untuk bunuh diri. Amy Winehouse, Freddie Prince Jr, Cory Monteith, Robin Williams, dan yang paling terkenal adalah Marilyn Monroe yang tewas akibat overdosis. Bahkan hingga hari ini, semakin banyak artis, baik Korea Selatan dan India yang mengakhiri hidupnya, juga kebintangannya dengan bunuh diri. Peristiwa tragis ini akan terus berlanjut, selama dunia hiburan mencipta bintang film, bukan pemain film, dengan segala intrik dan gosipnya.
Begitu besar biaya yang harus dibayar dunia hiburan untuk menciptakan dewa-dewa baru, mitos-mitos baru, demi keberlangsungan pasar yang begitu menjanjikan. Dan bagi kita sebagai penonton, memiliki idola baru, dewa baru, untuk dipuja. Apa yang kita saksikan, apa yang kita dengar, tentu tidak sama indahnya dengan apa yang betul-betul dialami oleh legenda, idola, bintang kita itu.