Jumat, April 19, 2024

Buruh “Yang Salah” dalam Wacana Kesetaraan Demokrasi

Nihaya Rina
Nihaya Rina
Freelancer.

Seakan tidak pernah lepas perselisihan antara buruh dan demokrasi di Indonesia. Problematika Omnibus Law yang terus menarik pita suara para aktivis dan buruh untuk semakin merongrong penolakan.

Pandemi covid-19 segera mengambil alih lainnya, menurut Federasi Serikat Buruh Lintas Pabrik (FBLP) sebanyak 800 anggota mereka dirumahkan tanpa upah dan dilansir dalam media lain sebanyak 2.084.593 buruh mengalami imbas ekonomi dan 241.341 buruh di PHK. Dibalik kerisuhan mengenai buruh pemikiran Jacques Ranciere seorang filsuf Prancis menemukan relevansinya dalam menjajaki labirin pembahasan demokrasi, korban, mereka yang termarjinalkan, emansipasi dan politik.

Berangkat dari pemikiran Ranciere, Sri Indiyastutik terpesona untuk mengangkatnya ke dalam refleksi bukunya untuk menjelaskan persoalan disensus demokrasi dan buruh hari ini. Kontemplasi simetris dengan pertanyaan yang selalu dipertanyakan tiap tahun di May Day yang selalu sama, mengapa dominasi elite langgeng dalam tatanan kehidupan masyarakat demokratis yang mewacanakan kesetaraan.

Berawal dari Ranciere menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pemerintah Prancis melakukan kekerasan terhadap demostran imigran Al-Jazair yang meminta di menuntut di hentikannya perang.

Nyatanya, tingkah laku aparat keamanan justru tidak memberikan keamanan semestinya dengan adanya pemukulan dan pembunuhan terhadap demonstran. Setelah kejadian tersebut banyak publikasi buah pemikiran Ranciere mengenai kesetaraan. Baru-baru ini Jokowi akan melakukan kebijakan pembukaan lahan baru akibat pandemic covid-19. Konflik agraria antara warga dan aparat bukanlah hal baru, Ranciere mungkin akan menarasikan hal ini setiap kali pembukaan lahan jika ia tinggal di Indonesia.

Benih awal pertumbuhan Ranciere dapat diawali melalui pendefnisian the wrong dan kesetaraan. Sri Indiyastutik mengartikan the wrong sebagai yang salah. Dengan elaborasi bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadi bagian dalam tatanan sosial, tetapi tidak ada dalam tatanan dapat dibayangkan mereka adalah para buruh, petani Kendeng, buruh Megariamas hingga konflik Omnibus Law.

Mereka yang dianggap mengganggu tatanan sosial elite karena menolak pembangunan pabrik. Sementara itu menurutnya kelompok yang dihitung adalah mereka yang menempati bagian-bagian dalam tatanan sosial dan mengampu peran yang dianggap berguna, kaum elite ekonomi hingga elite pejabat memiliki peran ini.

Kasus aksi menyemen kaki para petani Kendeng dengan tuntutan terhadap proyek yang menurut peneliti akan merusak daerah, merusak penyimpanan air dan mengancam pasokan air bersih. Para petani Kendeng adalah contoh the wrong, karena keberadaannya dianggap mengganggu berjalannya proyek semen dan argumentasi mereka terhadap pelestarian tertolak karena tidak cukup memadai disandingkan dengan pakar proyek yang menganggap itu bukanlah masalah.

Permasalahan paling mendasar mendukung lainnya adalah kurangnya emansipasi intelektual dalam tatanan sosial kita dan dilanggengkan seperti itu. Privilege terhadap intelektual seseorang berdasarkan asal “lulusan sekolah” masih kental diukur dibandingkan pengalaman langsung tanpa pendidikan formal. Hal ini menemukan relevansinya pada saat kasus Kendeng lolos Amdal (analisis dampak lingkungan) yang digunakan perusahaan dan di “iya” kan pemerintah setempat.

Padahal dibalik itu debu semen yang dibawa angin ke pemukiman warga akan mengancam kesehatan hingga ancaman gangguan air yang berujung gagal panen bagi para petani lokal. Emansipasi intelektual dapat menghasilkan kesetaraan akal budi bagi setiap manusia terutama para kaum buruh. Kesetaraan sebagai sesama manusia yang hidup.

Cukup jelas acapkali yang terjadi di masyarakat buruh adalah logika dibalik pembagian tempat, perang, fungsi dan kelayakan. Perselisihan yang dilakukan the wrong bukanlah tentang identitas. Mereka bersuara karena merasakan dampak negatif dan kerugian ekonomi bahkan hingga ancaman kebutuhan primer karena pendapat mereka luput dihitung agar menjadi bagian dari tatanan sosial.

Demokrasi adalah disensus, perselisihan, ungkap Ranciere. Inilah panggilan kepada orang-orang yang berpetuslsng menemukan kesetaraan dan berlapang dada menerima perbedaan.

Nihaya Rina
Nihaya Rina
Freelancer.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.