Kamis, Maret 28, 2024

Budaya Insecurity Bangsa

Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto
Esais. Penggagas Komunitas Seniman NU. Alumni Mahasiswa Universitas Sebelas Maret.

Insecurity adalah kondisi ketika seseorang dipenuhi rasa keraguan atas dirinya sendiri dan merasa tidak percaya diri. Penyebab insecurity adalah merasa bodoh (hina), tidak bermanfaat (berguna), dan suka menyalahkan diri sendiri. Ketidakmampuan mengembangkan dan mengendalikan potensi diri yang terjebak dalam problem matinya kreaktivitas dan kelebihan yang dimiliki masing-masing orang.

Budaya Indonesia, khususnya Jawa, seringkali mempraktekan sikap insecurity sebagai sesuatu yang dianggap bagian dari kesopanan dan kesantunan. Dalam istilah agama disebut sikap tawaduk. Padahal konsep rendah hati dan rendah diri jauh berbeda. Sikap yang selama ini dianggap sebagai kerendahhatian sebenarnya adalah bentuk kerendahdirian.

Perilaku tersebut tergambar dalam sebuah perkumpulan untuk menentukan seorang pemimpin. Banyak di antaranya menolak dengan dalih ketidakmampuan atau ketidakcakapan. Melihat orang lain lebih sempurna dari dirinya. Padahal setiap orang mempunyai pandangan serupa. Sehingga aktivitas saling lempar posisi terjadi beberapa saat.

Entah apa yang kemudian menciptakan perilaku insecurity malah dianggap baik oleh masyarakat. Menjadi cerminan budaya yang kemudian dijadikan paramater kebaikan seseorang. Sebab dengan merasa percaya diri, akan ada persepsi sifat sombong dari yang lain. Sementara banyak masyarakat yang ingin berada di posisi “aman” (menghindari risiko konflik).

Budaya insecurity yang akhirnya menghambat potensi seseorang mengaplikasikan kemampuannya. Tidak percaya diri mengambil risiko dan memnafaatkan keahliannya untuk kebermanfaatan bersama. Di sisi lain, iri dengki adalah mayoritas sifat manusia untuk menjatuhkan yang lain. Dalam hati ada kesombongan (merasa lebih baik), sedangkan dalam tampilan luar berperilaku insecure.

Seolah insecure disepakati sebagai sikap rendah hati oleh masyarakat. Padahal masing-masing manusia punya kelebihan yang tidak dimiliki yang lain. Namun itu semua tertutup dengan budaya insecurity. Membelenggu masyarakat agar terhindar dari labelisasi sombong.

Dampak dari insecurity adalah kemunculan orang-orang yang jauh dari kapabilitas menjadi pemimpin atau imam mendapat panggung besar di masyarakat. Mereka didengar dan diikuti oleh banyak orang meski kapasitas keilmuan dan keahlianya jauh di bawah rata-rata. Kepakaran menjadi sulit ditentukan di ruang publik yang semakin luas sebab sarana media dan teknologi.

Orang-orang yang lebih memprioritaskan popularitas daripada kesadaran akan kapasitas dirinya sendiri. Sementara mereka yang dianggap punya kompetensi terpenjara dalam budaya insecurity. Dampak luasnya adalah ketertindasan, penjajahan, dan kemiskinan akibat tidak punya medium menyalurkan potensi diri.

Insecurity Panggung Politik

Budaya insecurity tidak menyeluruh di semua bidang. Politik misalnya. Banyak politikus malah memproklamasikan diri sebagai sosok terbaik dan seolah paling mampu mengatasi problem bangsa. Mereka sama-sama adu kelebihan disertai janji-janji yang rupanya banyak diingkari.

Politik tidak mengenal budaya insecurity. Menjadi baik jika kepercayaan diri seseorang sesuai dengan kapasitasnya. Namun seringkali, politikus yang jauh dari sikap kepemimpinan dan kepedulian melenggang mulus di kursi-kursi pemerintahan. Sementara mereka yang seharusnya memiliki kompetensi memperbaiki iklim politik memilih menghindar sebab perasaan insecurity yang terlanjur membudaya.

Pertaruhan masa depan bangsa menjadi taruhan ketika banyak politikus yang terpilih berdasarkan popularitas dan elektabilitas tanpa disertai kapabilitas kepemimpinan. Merasa mampu, sedangkan kondisi masyarakat (sosial-politik) bawah tidak kondusif. Tidak ada lagi politik kesopanan dan kesantunan yang dibungkus dalam nuansa insecurity.

Politik 2024 yang masih dua tahun ke depan sudah dijadikan ancang-ancang deklarasi diri menjadi pemimpin. Padahal politik adalah panggung yang cukup rumit diprediksi. Mengelola beragam masalah domestik. Pemimpin politik tidak hanya sebatas mengaplikasikan teori manajemen kepemimpinan. Butuh kepribadian tegas, gaya komunikasi yang tepat, dan keberanian mengambil keputusan. Tuntu juga wajib mempertimbangkan kepentingan rakyat.

Sebab budaya insecurity yang pada akhirnya melihat panggung politik sebagai cerminan kesombongan seseorang. Dalam perilaku masyarakat kepemimpinan sering ditolak atau dilemparkan kepada yang lain, yang dianggap mampu. Sementara di panggung politik malah diperebutkan dengan segala cara.

Masyarakat dan bangsa dikorbankan karena banyak di antaranya yang sebenarnya tidak mampu tapi nekat menjadi pemimpin melalui jalur politik. Kecerdasan, keahlian mengelola sistem, dan kepakaran menyelesaikan masalah disingkirkan dengan jalur politik praktis bermodal uang dan ketenaran. Kemudian aturan membatasi demokrasi dengan penerapan undang-undang yang menghalangi tokoh potensial menjadi pemimpin negeri tanpa jalur politik.

Ketika budaya insecurity menghilang di arena politik domestik, konsep pencitraan sering digunakan untuk menunjang popularitas dan memuluskan jalan menjadi pemimpin tanpa adanya tes kepakaran akademin dan kemampuan mental mengendalikan konflik. Insecurity bukanlah sifat yang baik dalam segala situasi dan kondisi. Namun menyadari kapasitas diri perlu direnungkan sebelum memutuskan menjadi politikus yang hanya bermodal nyali.

Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto
Esais. Penggagas Komunitas Seniman NU. Alumni Mahasiswa Universitas Sebelas Maret.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.