Jamaah Islamiyah (JI) secara resmi membubarkan diri. Organisasi yang didirikan pada tahun 1993 oleh mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII), Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ini mendeklarasikan pembubaran organisasi di Hotel Lorin, Sentul pada 30 Juni 2024 oleh para mantan petinggi dan senior JI. Selain deklarasi pembubaran, para tokoh JI yang menghadiri deklarasi pembubaran tersebut juga secara serentak menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya”. Sebuah adegan sejarah yang sangat mengharukan.
Pembubaran organisasi JI merupakan langkah penting dalam upaya deradikalisasi. Selain itu, bubarnya JI membawa angin segar bagi keberlangsungan kerukunan umat beragama di Indonesia. Diketahui bahwa sejak berdirinya acap kali anggota JI melakukan aksi teror mengatasnamakan agama dan jihad di jalan Allah. Karena aksi-aksi teror yang dilancarkan tersebut, terjadi saling curiga dan hilangnya tenggang rasa antar umat beragama.
Beberapa aksi teror anggota JI yang terekam sejarah di antaranya bom Natal pada 24 Desember 2000 di beberapa wilayah Indonesia, bom Bali pada 12 Oktober 2002, bom JW Marriott pada 5 Agustus 2003, aksi pengeboman di dekat Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004, Bom Bali II pada 2 Oktober 2005 serta bom JW Marriot dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009 (Kompas, 06/07/2024).
Melihat rekam sejarah kelam tersebut, jelas berita yang membahagiakan salah satu organisasi terorisme akhirnya membubarkan diri. Terlebih salah satu senior JI, Abu Fatih dalam wawancara dengan Tempo telah menyatakan bahwa meleburnya JI ke dalam Republik Indonesia merupakan bentuk dari prinsip ibadah fardhu ‘ain.
Lebih lanjut ia menyatakan setelah bubarnya JI, ia dan senior JI yang lain akan tetap mempertahankan dan mengembangkan ilmu, mengembangkan amalan yang konstruktif bukan lagi disruptif, dan akan mengembangkan potensi-potensi ekonomi. Ketika ditanya apakah akan menebar teror lagi, Abu Fatih menjawab, “Selama ini kami sudah banyak menyulitkan dan merepotkan negara serta masyarakat hingga berkepanjangan. Tentunya itu menjadi persoalan yang memberatkan. Kami meminta maaf atas nama senior al-Jamaah al-Islamiyah.” (Tempo, 21/07/2024).
Senyuman Buya Syafii
Ketika pertama kali membaca berita pembubaran JI, pertama yang saya ingat adalah senyuman Buya Syafii. Saya membayangkan betapa senangnya Buya Syafii jika mendengar berita tersebut. Walaupun saya tidak pernah bertatap muka dengan Buya Syafii, namun sekilas terbayang senyuman Buya dalam pikiran saya. Senyuman Buya ini saya bayangkan karena dalam beberapa tulisannya seringkali Buya Syafii mengecam aksi terorisme dan menolak keras penggunaan kekerasan dalam mendakwahkan agama (baca:Islam).
Dalam buku “Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman” Buya Syafii mengunggapkan bahwa cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan berlawanan dengan prinsip Islam yang autentik. Sebaliknya, cara kekerasan ini hanya akan menyulitkan posisi umat Islam dalam gerakan dakwah. Menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan agama yang suci sama dengan mengkhianati dan mengotori kesucian agama. Lebih lanjut, Buya Syafii menganggap bahwa jalan satu-satunya supaya Islam memiliki masa depan yang cerah ialah dengan bersungguh-sungguh menguasai ilmu, teknologi dan organisasi. (Maarif, 2019: 27-33).
Dalam buku yang lain, “Tuhan Menyapa Kita” Buya Syafii menganggap bahwa golongan orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama sebagai preman yang berjubah. “Kelompok inilah yang saya kategorikan sebagai mereka yang berani mati, tetapi tidak berani hidup karena mereka tidak punya sesuatu, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan bagi kepentingan kemanusiaan,” tulis Buya Syafii. (Maarif, 2020:28). Dengan bubarnya JI, maka menghilang pula satu kelompok “preman berjubah”.
Potensi Terorisme Pasca Pembubaran JI
Pasca pembubaran Jamaah Islamiyah (JI), muncul satu pertanyaan besar, “Apakah potensi terorisme serta tindakan kekerasan lain yang mengatasnamakan agama akan menghilang di Indonesia?”
Menurut pengakuan petinggi JI, masih terdapat anggota yang tidak menerima keputusan pembubaran JI dan menjadi sempalan (Kompas, 22/07/2024). Ini berarti masih terdapat potensi terjadinya aksi teror di masa mendatang dari sempalan JI. Sempalan JI yang mungkin saja jumlahnya sedikit ini tidak dapat dipandang sebelah mata, melihat aksi-aksi teror yang telah dilakukan oleh JI pada masa sebelumnya.
Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) perlu melakukan langkah persuasif untuk dapat mengambil hati sempalan JI tersebut. Lebih jauh, perlu pula mengikutsertakan peran dari mantan petinggi dan senior JI supaya membujuk dan mendakwahkan Islam yang damai kepada anggota-anggota JI yang lain menggantikan pemahaman agama yang radikal dan ekstrem supaya tidak terdapat sempalan JI di masa mendatang ataupun organisasi lain yang memiliki pemahaman yang sama.
Selain sempalan JI, masih terdapat organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki pandangan radikal lainnya. Sebut saja Jamaah Islamiyah Daulah (JAD) yang beberapa kali melakukan aksi teror di Indonesia, seperti bom Thamrin pada Januari 2016, bom di Gereja Oikumene pada November 2016, bom Kampung Melayu pada Mei 2017, dan penyerangan Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada Juni 2017 (Kompas, 11/10/2019).
Bahkan pada 31 Juli 2024 Datasemen Khusus 88 Antiteror Polri melakukan penangkapan tersangka teroris berinisial HOK di Batu,Jawa Timur yang diduga berafiliasi dengan JAD (Kompas, 01/09/2024). Pengamat terorisme, al-Chaidar menganggap bahwa dengan bubarnya JI tidak lantas akan menghilangkan potensi terorisme, “terorisme masih berkembang di Indonesia, terutama jaringan ISIS yang sangat sulit dideradikalisasi,” ungkap al-Chaidar (Kompas, 01/09/2024).
Dengan masih adanya potensi radikalisme serta terorisme di Indonesia, pemerintah dalam hal ini BNPT dan Datasemen Khusus 88 Antiteror Polri masih memiliki PR besar ke depannya. Selain itu, para ulama perlu mengambil peran dalam menyuarakan pesan Islam yang autentik, yaitu Islam rahmatan lil alamin