Jumat, April 19, 2024

BPJS Kesehatan, Apa Tantangannya?

Dwinda Rahman
Dwinda Rahman
Peneliti RISE (Research Institute for Social and Economics) Indonesia; Alumni Ekonomi Unand

Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82/2018 perubahan Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Salah satu isinya yang menarik adalah dicantumkannya pajak rokok dari daerah yang dikontribusikan ke BPJS Kesehatan.

Pemda akan berkontribusi sebesar 37,5% dari total pendapatan pajak rokok daerah. Hal ini merupakan solusi alternatif agar BPJS Kesehatan bisa lepas dari bayang-bayang defisit akut. Formula yang tepat masih terus diramu untuk mencapai kondisi yang ideal, yaitu masyarakat mendapat biaya kesehatan yang terjangkau dan tentunya tidak membebani keuangan negara.

Tulisan Jaya Suprana (Kompas, 1989) “Derita Kesehatan, Derita Keuangan” sudah memprediksi bahwa jika Indonesia ingin mewujudkan  asuransi kesehatan nasional, jalan yang harus ditempuh akan panjang, penuh duri dan luka, serta masih jauh dari kesempurnaan.

Namun, langkah demi langkah harus terus dilakukan untuk mewujudkan asuransi kesehatan nasional yang ideal dan sesuai dengan ekspektasi masyarakat secara luas. Dalam hal ini, peran negara sangat penting karena negara, dalam hal ini pemerintah, wajib hadir untuk memastikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sayangnya, sejak BPJS Kesehatan terbentuk tahun 2014 sampai sekarang, aneka masalah belum dapat teratasi dengan baik, khususnya terkait dengan defisit keuangan.  Ada beberapa masalah BPJS Kesehatan yang seringkali menjadi batu sandungan bagi pemerintah dalam mewujudkan asuransi kesehatan yang ideal.

Pertama, jumlah klaim lebih tinggi dari biaya premi. Artinya jumlah pendapatan dari iuran BPJS Kesehatan yang diperoleh lebih rendah dari jumlah biaya orang sakit yang harus ditanggung. Dalam laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2017, pendapatan iuran dana jaminan sosial hanya Rp 74,2 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan mencapai Rp 84,4 triliun. Terdapat kerugian sebesar Rp 10,2 triliun. Di tahun 2018 diperkirakan defisit yang terjadi akan lebih besar dari tahun sebelumnya.

Kerugian ini secara kasat mata disebabkan oleh jumlah orang sakit yang terus meningkat dan iuran premi yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari standar yang ditetapkan oleh ahli Akturia. Mirisnya lagi, terjadi tunggakan sekitar 10 juta orang sakit yang mayoritas adalah kategori mandiri.

Beberapa orang yang dikategorikan mandiri ini biasanya mempunyai asuransi swasta yang dianggap lebih memiliki pelayanan prima. Berdasarkan perhitungan aktuaria, biaya premi yang ditetapkan pemerintah lebih rendah, yakni berkisar Rp 13.000-28.000. Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar Rp 23.000, yang seharusnya Rp 36.000.

Sementara itu, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kelas II seharusnya Rp 63.000, sedangkan yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar Rp 51.000. Selanjutnya, PBPU Kelas III seharusnya Rp 53.000, sedangkan pemerintah hanya menetapkan sebesar Rp 25.000.

Kedua, terdapat salah kelola aset. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), aset bersih dana jaminan sosial kesehatan sampai 2017 defisit sebesar Rp 23 triliun, meningkat Rp 14 triliun dari tahun 2016. Hal ini terjadi karena adanya penurunan aset sebesar Rp 7 triliun (86,12%) dan peningkatan hutang sebesar Rp 7 triliun (40,69%). Hal ini juga ditambah dengan penyajian beban cadangan teknis atas pelayanan kesehatan yang tidak didukung dengan informasi yang akurat.

Ketiga, dilihat dari aspek non keuangan, permasalahan yang terjadi diantaranya data peserta yang belum akurat, regulasi yang belum rampung dan tumpang tindih, serta masalah obat yang tidak ditanggung dalam BPJS Kesehatan.

Dalam pelaksanaan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) banyak yang tidak sesuai dengan semangat UU No. 40/2011 tentang Kesehatan dan lemahnya koordinasi antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, merupakan isu utama yang menyebabkan perwujudan asuransi kesehatan nasional belum tercapai seutuhnya.

Kualitas pelayanan dan tenaga kesehatan (termasuk dokter) kurang memadai dan terbatas. Komunikasi antara eksekutif BPJS, DJSN, dengan Kemenkes juga tidak berjalan dengan baik. Padahal guna mencapai tujuan yg diharapkan, dibutuhkan kolaborasi yang lebih padu dalam menangani masalah kesehatan yang komplek ini.

Solusi dan Pajak Dosa

BPJS Kesehatan sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat secara luas, meskipun dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan yang perlu diatasi. Jumlah peserta BPJS Kesehatan yang telah terdaftar per 1 Oktober 2018 yakni sekitar 203 juta atau 76 persen dari total penduduk indonesia hanya dalam waktu 4 tahun. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah.

Jerman saja yang lebih dulu menerapkan jaminan kesehatan (sudah berjalan 127 tahun) pesertanya baru mencapai 85 persen dari total jumlah populasinya.  Ditambah lagi, baru-baru ini BPJS Kesehatan mendapatkan penghargaan dari Asosiasi Jaminan Sosial ASEAN (ASSA) yang diselenggarakan di Vietnam di bulan September 2018. BPJS Kesehatan mendapatkan penghargaan karena secara proaktif menginisiasi untuk membuat dashboard monitoring dan evaluasi terhadap Intruksi Presuden No. 8/2017 tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Terkait dengan pajak rokok untuk BPJS Kesehatan, kontribusi pajak rokok tersebut terhadap BPJS Kesehatan diibaratkan seperti pajak penebusan dosa. Menurut keterangan dokter, mereka yang merokoklah yang paling banyak berobat dan rentan terhadap penyakit. Namun pajak rokok bukanlah solusi yang bersifat jangka panjang karena hanya menutup sebagian kecil lubang yang sudah besar dan dalam.

Pemerintah memang sudah mencarikan solusi dan tidak pernah tinggal diam selama ini. Terkait dengan defisit keuangan BPJS Kesehatan, langkah yang pernah diambil pemerintah dalam menutupi defisit tersebut adalah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan yang melibatkan berbagai pihak, terutama Pemerintah Daerah (Pemda) serta mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Efisiensi Dana Operasional BPJS Kesehatan untuk mendisiplinkan Pemda dalam hal manajemen keuangan BPJS Kesehatan.

Tentunya pemerintah selalu memberikan suntikan dana tiap tahun melalui skema penyetoran modal Negara  (PMN) atau belanja lain-lain. pada 2015 sebesar Rp 1,5 triliun, 2016 ( Rp 6,8 triliun), 2017 (Rp 3,6 trliun), dan 2018 sebesar Rp 4,9 triliun.

Namun hal itu masih dirasa belum cukup. Perlu kolaborasi yang tidak sekedar “lip service.” Hal klasik yang selalu terus terjadi karena tidak adanya rasa kebersamaan dan keterpaduan diantara satu instansi dengan instansi lain. Mereka menganggap diri merekalah yang paling benar, sehingga membuat kebijakan yang benar-benar dibutuhkan dan tepat sasaran sangat sulit tercapai.

Oleh karena itu, strategi pembenahan BPJS Kesehatan yang perlu segera dilakukan, antara lain pertama, seluruh instansi yang terkait dengan BPJS Kesehatan perlu merapatkan barisan dan duduk bersama untuk membahas analisa biaya premi, regulasi yang tumpang tindih, data yang akurat,  serta mutu pelayanan kesehatan. Skema biaya premi perlu dicarikan solusinya, apakah dengan menaikkan biaya premi atau menerapkan skema cost sharing.

Kedua, sebelum BPJS Kesehatan  mandiri, pemerintah perlu terus berupaya menutupi dahulu kekurangannya dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan hal ini bersifat sementara dan jangka pendek.

Ketiga, pemerintah perlu menghimbau secara intensif untuk menyadarkan kalangan menengah atas agar dapat membayar premi dengan tertib. Tidak kalah penting, yaitu pembenahan manajemen aset lembaga BPJS Kesehatan untuk mengurangi desifit anggaran lembaga serta meningkatkan kualitas investasi dari dana yang tersedia.

Implementasinya di lapangan tentu tidak sesederhana ini, akan tetapi dengan cara ini kendala BPJS Kesehatan diharapkan dapat teratasi. Kita berharap pengelolaan BPJS Kesehatan bisa berjalan dengan sehat, adil, dan mandiri. Layanan kesehatan yang merata ke seluruh rakyat indonesia tanpa terkecuali serta pengelolaan keuangan yang lebih efisien dan efektif adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Lebih penting lagi, dibutuhkan komitmen politik untuk memprioritaskan pembenahan BPJS Kesehatan.

Dwinda Rahman
Dwinda Rahman
Peneliti RISE (Research Institute for Social and Economics) Indonesia; Alumni Ekonomi Unand
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.