Jumat, Maret 29, 2024

Bolehkah Penjahat Disebut Pahlawan?

Wahyu Agung Prihartanto
Wahyu Agung Prihartanto
Pengamat sosial, penulis, buruh pelabuhan

Melihat fenomena selebritas pelaku kejahatan di negeri ini. Korupsi, pelecehan seksual, pembunuhan, pemerkosaan, perundungan, penggelapan pajak dan lain-lain. Sorot mata kamera menyaksikan, bagaimana fasilitas, kenikmatan serta pemotongan masa tahanan terpapar di publik. Sebutlah beberapa diantaranya, korupsi Jaksa Pinangki, Setya Novanto, Kepala Daerah, Wakil Rakyat dan sederet lainnya.

Anda tentu masih ingat kasus menimpa penyanyi kondang, Saiful Jamil. Sang Artis dihukum karena melakukan pedofilia terhadap anak di bawah umur. Dalam proses peradilan, ia berusaha menyuap aparat hukum, artinya selain predator Saiful Jamil juga melakukan tindak korupsi. Penjemputan meriah Sang Artis pasca bebaspun bagai pahlawan terbebas dari medan perang.

Rasanya negeri ini sedang mengalami surplus kebaikan. Seluruh keburukan tertutupi oleh hegemoni fasilitas menguntungkan Sang Pesakitan. Perampasan uang rakyat, penyuapan petugas, remisi tahanan, hingga disparitas putusan masa tahanan, menjadi tontonan sehari-hari. Pendek kata, dari awal sampai akhir para pelaku kejahatan menikmati kemudahan dan fasilitas kenikmatan melimpah.

Bergidik bulu kuduk melihat kondisi ini, seolah urat nadi kemaluan telah sirna. Senyum simpul dan lambaian tangan gemulai sang koruptor bak sinetron kejar tayang di depan layar TV.

Seorang anak bahkan dengan lantang menceritakan aib ibunya yang sudah sepuh pada awak media. Dan, bahkan tega menjebloskannya ke penjara. Alih-alih membahagiakan orang tua, sepetak rumah yang ditinggali si ibu pun dirampasnya. Padahal anak tersebut telah memiliki rumah yang lebih layak ketimbang yang ditempati ibunya.

Prihatin melihat ini semua. Khawatir mempengaruhi psikologi anak-anak, setiap kali menyaksikan tontonan drama kolosal kejahatan di TV. Pilihannya mengalihkan tayangan lain yang lebih mendidik atau mengajaknya bicara masa depan mereka.

Efek jera hanyalah jargon politik saja. Tidak tampak raut penyesalan terpancar dari wajah sang penjahat. Kebebasan artis Saiful Jamil, seolah menciptakan peluang bisnis melalui infotainment. Dengan dalih, ada hikmah dari kejahatan yang dialami untuk konsumsi publik. Sang artis sebagai simbol keburukan agar masyarakat tahu dan tidak mengulanginya. Masyarakat mengelu-elukan Sang Artis bak seorang pahlawan.

Mari kita perhatikan definisi Pahlawan. Salah satu penggalan pengertian pahlawan menurut KBBI, adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Secara bebas dan nakal, definisi di atas cukup relevan dengan aktor-aktris di atas. Hanya istilah membela kebenaran yang menjadi sumir. Tetapi kebenaran ini memang selalu diperjuangkan oleh para tersangka guna membuktikan bahwa mereka tidak bersalah, minimal mengurangi bobot kesalahannya. Berati sah juga jika mereka disematkan sebagai Pahlawan. Naif, bukan?

Awal tulisan di atas, disebutkan bahwa negeri kita surplus kebaikan. Entah, ini satire atau bukan, semua terpulang ke diri kita masing-masing. Teori gathuk-menggathuk, bahwa jumlah mayoritas berpotensi meniadakan minoritas, sehingga hal-hal yang buruk pun terkesan baik dan lazim.

Nah, kalau kepahlawanan selama ini kita imajinasikan hal yang baik, kita akan terlena dibuatnya. Dan, akhirnya yang tampak di permukaan adalah hal baik terus-menerus.

Dengan memahami keburukan dan kejahatan yang telah dilakukan seseorang, diharapkan masyarakat semakin paham dan tidak melakukan kejahatan sejenis. Cita-cita pendiri Republik untuk menjadikan negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur niscaya bukan jauh api dari panggang lagi. Narasi tersebut seringkali digunakan untuk menggambarkan sebuah Negara yang ideal.

Paradoksnya, penanganan kejahatan negeri kita yang sedang tidak baik-baik saja. Selama ini, negeri ini banyak mengisahkan kisah-kisah kebaikan kepahlawanan. Semakin lama makin terbius dan lupa meletakkan pada porsi yang benar.

Untuk itu dapat dipertimbangkan penetapan pahlawan kejahatan sebagai titik balik dari paradoks tersebut.

Dilansir dari tempo.co, “Pada tahun 2011, pengadilan di Den Haag juga memutuskan bahwa para janda di Rawagede di Jawa harus diberi kompensasi atas kerusakan yang diderita oleh eksekusi selama perang kemerdekaan. Pemerintah Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban kejahatan perang selama revolusi kemerdekaan Indonesia.”

Sebuah pengakuan kesalahan oleh Pemerintah Belanda dengan pemberian kompensasi kepada para korban kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda pada jaman perang kemerdekaan. Saya memberanikan diri menyebut, bahwa Pemerintah Belanda adalah Pahlawan Kejahatan. Dunia menyaksikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan tentara Belanda saat itu, dan implikasinya memberikan pelajaran untuk tidak semena-mena kepada rakyat jajahannya. Secara moral Belanda akan di stereotype sebagai negara imperialis kejam bertahun-tahun oleh masyarakat dunia, dan ini pasti menyakitkan.

Mungkin, contoh di atas menjadi satu alternatif pemberian reward dan punishment bagi penerima gelar pahlawan kejahatan. Konsep pengakuan kesalahan yang dilembagakan. Bukankah, mengakui kesalahan jauh lebih terhormat daripada memanipulasi kebenaran?

Sekian, semoga bermanfaat.

Wahyu Agung Prihartanto
Wahyu Agung Prihartanto
Pengamat sosial, penulis, buruh pelabuhan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.