Para pahlawan bangsa berikut ini berjasa besar terhadap etnis dan kaumnya masing-masing, sangat dihormati, bernyali besar dan teruji. Mereka memiliki lawan yang sama, Belanda! Ya, etnis Ambon memiliki pahlawan bernama Pattimura, etnis Jawa memiliki Diponegoro, Minangkabau memiliki Imam Bonjol, maka etnis Tionghoa memiliki Tjoe Bou San!
30.000 orang Tionghoa berhasil dikumpulkan tanda tangannya oleh pemuda Tjoe Bou San (28 tahun) untuk menolak Kewarganegaraan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1919.
Bukan hal mudah untuk mengumpulkan dan meyakinkan orang sebanyak itu, hal tersebut hanya mampu dilakukan oleh seorang berjiwa pemimpin dan dihormati oleh kaumnya. Apalagi ini, membuat mereka, yaitu para penandatangan, mengambil resiko tinggi, karena harus berhadapan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Tak terbayang, bagaimana caranya, Tjoe yang begitu muda, mampu meyakinkan kaumnya. Gerakan penolakan ini menggemparkan pemerintahan Belanda, bahkan nun jauh di sana, Negara Tiongkok sendiri hanya mengakui, jikalau Peranakan Tionghoa yang berada di Hindia Belanda, wajib mengikuti aturan hukum Belanda yang berlaku. Dengan kata lain, Tiongkok lepas tangan.
Bukankah itu bagian dari gerakan perjuangan Bangsa Indonesia?
Muda, Cerdas dan Pemberani
Tjoe Bou San, pada usia 27 tahun sudah menjadi pimpinan redaksi merangkap pimpinan umum di media SinPo, sebuah media yang besar dan sangat kuat pengaruhnya di Hindia Belanda.
Keberaniannya melawan Belanda dengan aksi melakukan penolakan kewarganegaraan ini, menurut saya, harus diakui menimbulkan tambahan semangat bagi kalangan Nasionalis Indonesia pada saat itu, gerakan yang sangat inspiratif.
Perjuangan “30 Ribu” etnis tionghoa yang penuh keberanian ini, haruslah dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan Bangsa Indonesia, sebagaimana perjuangan Pattimura ataupun Diponegoro yang membela kaum dan bangsanya saat itu.
Akumulasi dari seluruh perlawanan (berbagai wilayah maupun berbagai etnis/kelompok, dalam teritori kolonial) terhadap Belanda haruslah dipandang sebagai perjuangan “bersama”, yakni perjuangan atas nama Bangsa Indonesia!
Tjoe meninggal pada 3 November 1925, di usia yang masih sangat muda, 34 tahun. Semenjak meninggalnya Tjoe Bou San, Media SinPo kemudian dilanjutkan kepemimpinannya (pimred) oleh Kwee Kek Beng.
SinPo adalah sebuah media yang sangat menyokong perjuangan/pergerakan ke arah Indonesia Merdeka. Tradisi keberanian SinPo yang dimulai oleh Tjoe, tetap dilanjutkan oleh Kwee Kek Beng (diakui sendiri olehnya). SinPo adalah Media pertama, yang dengan berani memuat teks Lagu Indonesia Raya (10 November 1928).
SinPo adalah media yang telah dengan berani menggunakan istilah “Indonesia” pada tahun 1926, 2 tahun sebelum Sumpah Pemuda. Tentu saja, ini tak terlepas dari semangat yang telah dirintis oleh “Muda Perwira” Tjoe Bou San!
Berbanggalah Indonesia!
Sumber:
–Pergerakan Tionghoa di Hindia Olanda dan Mr. P.H.Fromberg Sr.. oleh: Tjoe Bou San, terbit tahun 1921.
–Prisma, No 10, 1984, artikel Leo Suryadinata, Kwee Kek Beng: Dilema Peranakan Berhaluan Nasionalisme Tionghoa.