Dunia semakin tidak adil akibat konflik yang disebabkan aktivitas ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi tidak disertai oleh kondisi lingkungan hidup yang membaik dan kesejahteraan kaum marjinal. Sebab sistem ekonomi yang spekulatif tidak membutuhkannya. Apa yang ditekankan hanya watak mengkonsumsi secara terus-menerus.
Melihat kondisi di atas, apa yang patut dipikirkan lagi adalah cara pasar menyediakan produk untuk dikonsumsi, bagaimana cara bisnis industri besar yang cenderung merusak lingkungan seperti bisnis makanan dan minuman, pertambangan atau bisnis pengolahan tekstil.
Tanpa terkecuali cara bisnis kecil dan menengah. Mereka kadang menggunakan bahan produksi yang dapat mencemari lingkungan dikarenakan harganya yang murah. Benar, jika dilihat dari segi bisnis, penggunaan bahan-bahan murah memang menjadi keuntungan lebih. Namun, apa yang luput dari kebiasaan bisnis demikian adalah tak adanya prioritas khusus pada lingkungkan hidup.
Tentu ini terkait dengan cara bisnis yang begitu lama diajarkan oleh neoliberalisme, dan apa yang masyarakat percayai sebagai satu-satunya cara bisnis yang benar dan menguntungkan. Ideal ini diajarkan dan di reproduksi dalam pendidikan-pendidikan formal dan seminar-seminar bisnis.
Prinsip neoliberalisme adalah memberikan kebebasan bagi perusahaan transnasional untuk bergerak dari ujung barat Eropa hingga tiba ke minimarket dan pasar-pasar tradisional. Pertanyaannya, mode perdagangan seperti apakah yang di ciptakan oleh neoliberalisme?
Tahun 1986 hingga 1993 di Uruguay diselenggarakan Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan atau GATT (The General Agreement on Tariffs and Trade) yang dihadiri oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang, serta cikal bakal berdirinya WTO (World Trade Organization).
Perundingan ini ditujukan untuk mengatasi berbagai macam hambatan perdagangan. Misalkan kebijakan pemerintah perihal pajak, lingkungan hidup, hak-hak buruh, dan pendidikan.
Konvensi GATT menghasilkan beberapa program, salah satunya Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programme—SAP) yang diperakasai oleh IMF dan Bank Dunia. Alasannya, negara-negara berkembang harus menyesuaikan secara struktural perekonomian mereka, jika mereka menginginkan bantuan pembangunan dengan cara mengatasi persoalan neraca pembayaran (John Madeley. 2005. “Loba, Keranjingan Berdagang. Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas, hlm. 62).
Dengan adanya konvensi GATT dan program SAP, setiap modal dan semua produk bebas diperdagangkan antar negara. Tanpa terkecuali produk-produk yang dihasilkan dengan cara tidak manusiawi atau yang berakibat pada tercemarnya lingkungan.
Berpijak pada kesepakatan tersebut negara-negara berkembang termasuk Indonesia merencanakan dan membuat regulasi. Akibat dari regulasi-regulasi yang dihasilkan berdasarkan SAP beberapa diantaranya adalah buruh dibayar murah, tak ada upah lembur, PHK seenaknya, atau dilarang berserikat.
Di lain sisi, kawasan hutan menyusut. Jika di tahun 1950 luas hutan Indonesia diperkirakan 193 juta hektar, di tahun 2009, luas hutan Indonesia berkurang menjadi sekitar 88 juta hektar (Sumber: Forest Watch Indonesia). Deforestasi disebabkan oleh masifnya ekspansi modal di awal rezim orde baru. Sebagai contoh penanaman sawit untuk kebutuhan korporasi transnasional Unilever.
Deforestasi selalu dibarengi dengan perubahan sistem produksi yang sudah mengakar. Dari sistem pemenuhan kebutuhan secara berkelanjutan ke sistem relasi upah. Setiap masyarakat lokal yang hidup dan tinggal di wilayah hutan subur akan senantiasa berhadapan dengan ekspansi industri yang hukum surgawinya adalah mengakumulasi laba.
Singkatnya, SAP adalah kolonialisme ekonomi
Cara “buat dosa tutup dosa” mudah dijumpai pada bisnis-bisnis yang mencemari lingkungan. Apa yang dimaksud dengan konsep buat dosa tutup dosa adalah program-program CSR (Corporate Social Responsibility) yang cenderung mengaburkan kondisi nyata, yaitu kerusakan/tercemarnya lingkungan hidup.
Contohnya adalah Pembentukan Organisasi Pengelolahan sampah plastik atau Plastic Recovery Organization (PRO) di tahun 2020, yang melibatkan perusahaan global seperti Coca-cola Indonesia, Danone Indonesia, PT. Indofood Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, Tetra Pak Indonesia, dan PT Unilever Indonesia Tbk. Seperti dipahami, mereka adalah penyumbang limbah plastik terbesar di Indonesia.
Jargon-jargon untuk menjaga lingkungan hidup tidak cukup. Ini disebabkan kondisi ilmu bisnis dan industri global sejak semula tidak mengakomodir aspek lingkungan hidup. Perencanaan bisnis umumnya hanya berputar pada aspek ekonomistik, bukan dampak-dampak merusak dari aktivitas perekonomian.
Pandemi tidak serta merta menyudahi perusakan lingkungan hidup, perubahan sistem ekonomi, perubahan cara berbisnis dan sebagainya. Langkah kongkrit tetap dibutuhkan agar dapat memutus beragam rupa perusakan lingkungan hidup.
Bisnis harus dapat lepas dari jerat neoliberalisme, meski sedikit demi sedikit. Wujud dari produk-produk yang ramah lingkungan sudah tersedia di pasar-pasar. Produk penunjang ataupun produk yang menjadi bahan baku utama. Contoh sederhana adalah produk kantong kresek yang terbuat dari kulit singkong, sedotan dari baja stainless atau bambu, minyak kelapa, dan sebagainya.
Setidaknya juga sudah ada beberapa bisnis yang berfokus mengelola sampah menjadi produk-produk baru. Misalkan limbah organik menjadi pupuk, atau limbah plastik menjadi pot bunga. Namun, kekurangan model bisnis ini adalah tidak adanya kecendrungan politis untuk mengoganisir masyarakat bawah, misalkan buruh-buruh yang ter-PHK, buruh tani, pengangguran kota dan kaum marjinal lainnya—agar dapat mempunyai sarana untuk memenuhi kebutuhan, dan dengan bersamaan menjadikannya sarana politik pembebasan.
Dengan kata lain, bisnis ramah lingkungan yang ada sekarang hanya berorientasi untuk mengobati daripada mencegah rusaknya lingkungan, tidak menutup sumber hanya mengobati luka yang diberikan oleh limbah industri. Padahal di lain sisi, opsi untuk mencegah masih mungkin terjadi jika sedari awal titik berangkat bisnis adalah ekonomi yang egaliter dan pelestarian lingkungan hidup.
Jika saja titik berangkat adalah ekonomi yang egaliter dan pelestarian lingkungan hidup, model bisnis tersebut dapat berimplikasi politis, asalkan semua elemen dari perdagangan seperti produksi, distribusi, dan sirkulasi juga terintegrasi, serta berada dalam genggaman rakyat yang terorganisir.
Hasilnya, petani tetap berkuasa penuh atas produksi. Pada distribusi, tidak ada prosedur njelimet dan manipulasi tarif. Pada aras sirkulasi, dapat dikelolah secara organisasional dengan menerapkan prinsip-prinsip egaliter, kritis pada lingkungan, dan menimbang secara adil bagaimana agar bisnis dan lingkungan hidup tidak saling bertentangan.
Ketergantungan terhadap produk-produk yang merusak lingkungan hidup perlahan harus dikurangi, sebagai langkah etis dan politis untuk menjawab tantangan jaman demi generasi penerus. Waktunya mencoba semua sistem yang mungkin bagi sebenar-benarnya kemaslahatan masyarakat lapisan terbawah dan lingkungan hidup.