Kamis, April 25, 2024

Bisakah Generasi Milenial Berantas Korupsi?

Ade Chandra Sutrisna
Ade Chandra Sutrisna
Pegiat media berjaringan MediaMahasiswa.com, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Timur

Menjadi pejabat publik seperti anggota dewan, birokrat, maupun pegawai negeri tak lagi menjadi profesi prestisius bagi kalangan milenial. Peran mereka tergeser oleh para influencer baru. Tengoklah seminar-seminar, ramai mana forum yang dihadiri anggota dewan atau youtuber top Indonesia semisal Raditya Dika atau Chandra Liow, atau mungkin CEO situs e-commerce bukalapak.com Achmad Zaky?

Pergeseran paradigma itu didasarkan makin membanjirnya opsi pekerjaan yang dipandang lebih menjanjikan di era digital. Profesi sebagai digital enterpreneur dan social media influencer semisal youtuber atau selegram, hingga membangun startup sendiri lebih memiliki daya tarik.

Selain soal memilih pekerjaan, generasi milenial lebih memilih hidup independen. Ketimbang, misalnya, menjadi karyawan di sebuah perusahaan atau institusi pemerintahan yang mengharuskan berhadapan dengan segala formalitas dan tekanan beban kerja.

Orientasi bekerja generasi milenial juga berubah. Bagi mereka, bekerja haruslah menghasilkan karya. Tak sekadar mencari keuntungan sebesar-besarnya. Apapun genrenya. Profesi para milenial didasari atas kecintaannya terhadap pekerjaan. Adagium Ridwan Kamil, “Pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar” yang pas menggambarkan itu.

Passion-lah yang mendasari mereka melakukan sesuatu. Tanpa dibayar pun, bisa jadi seorang milenial akan senang hati mengerjakan. Saat duduk sebagai birokrat misalnya, seorang milenial tak lagi berpikir untuk menggendutkan kantongnya sendiri. Berlaku korupsi misalnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menyia-nyiakan potensi ini. Gelaran Anti-Corruptions Youth Camp di Bandung 3-10 Desember 2017 mendatang jadi langkah konkrit KPK dalam upaya melibatkan generasi milenial melawan korupsi.

Sesuai temanya, “Millenials, Beda & Berkarya!“, acara ini mendorong generasi milenial turut menyediakan karya digital yang tak hanya viral, tapi juga berfaedah mengkampanyekan anti-korupsi melalui jagat maya.

Namun, pelibatan generasi milenial sedianya tak sekadar penyedia konten-konten kreatif anti-korupsi. Lebih jauh lagi, agar berpartisipasi aktif menuntaskan praktik penyelewengan hak-hak rakyat, melalui advokasi misalnya. Kampanye di media tiada arti tanpa aksi nyata.

Dalam bekerja, di samping mencari profit, generasi milenial senantiasa berupaya menghadirkan makna dalam tiap karyanya. Agar bermanfaat bagi masyarakat. Startup kitabisa.com adalah role model bagaimana generasi milenial mendayagunakan potensi anak-anak bangsa untuk kepentingan bersama.

Proyek crowdfunding pesawat R 80 adalah contoh menarik bagaimana generasi ini saling berkolaborasi mewujudkan impian bangsa berdikari di bidang teknologi. Sekedar informasi, total biaya pembuatan prototype pesawat R 80 mencapai lebih Rp 200 Milyar. Sedangkan keseluruhan biaya pengembangan usaha mencapai US$ 1.6 miliar atau sekitar 20 triliun rupiah. Jumlah itu tidak akan terkumpul jika hanya mengandalkan dana pemerintah. Butuh urun tangan masyarakat untuk mengakselerasi.

Soal politik, jangan pernah anggap remeh generasi ini. Justru, gerakan politik kaum milenial belakangan tengah menjadi fenomena global. Salah seorang diantaranya, Nathan Law, adalah pemuda yang memimpin massa pelajar menggelar aksi prodemokrasi pada tahun 2015 di Hongkong.

Di bawah kepemimpinannya itu, aksi ini sempat melumpuhkan pusat bisnis di Hongkong. Bahkan pada 2016, di usianya yang masih 23 tahun, Law membuat kejutan dengan mengantongi 50 ribu suara yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen termuda di Hongkong.

Law tidak sendirian. Rekan seperjuangannya saat berdemo, Joshua Wong tak kalah muda ketika memimpin aksi puluhan ribu milenial tiga tahun lalu. Bahkan saat usianya 15 tahun, Joshua sudah memimpin gerakan “Scholarism” yang menjadi wadah bagi pelajar menyuarakan aspirasi politiknya.

Bahkan saat memimpin demo bersama Law 2014 silam, usia Joshua baru 17 tahun. Ia menjadi otak di balik aksi yang dijuluki Gerakan Payung tersebut. Dalam aksi yang berlangsung 79 hari itu, generasi milenial Hongkong menuntut proses demokrasi dalam penentuan pemimpin untuk wilayah Hongkong kepada Pemerintah Cina.

Gejala berperannya generasi milenial di kancah politik ini ternyata melanda hampir di berbagai belahan negara lain. Dengan kondisi politik yang berbeda-beda tentunya. Contoh lainnya adalah Pemilu Amerika Serikat (AS) pada November 2016.

Sebelum Pemilu AS berlangsung, The Millenial Impact Report merilis surveinya terhadap calon pemilih milenial. Dari 1.050 responden dengan usia 18-36 tahun, sebanyak 85 persen menyatakan akan ikut dalam Pemilu Presiden AS, 13 persen menyatakan tidak memilih dan sisanya 2 persen belum mengetahui akan memilih atau tidak.

Lantas, bagaimana peta di Indonesia sendiri? Direktur Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Sirajudin Abbas, mengingatkan partai-partai politik untuk membidik pemilih muda pada Pemilu 2019 karena jumlahnya mayoritas. Berdasarkan pendataan, pemilih berusia 17-38 tahun di Indonesia mencapai 55 persen dari jumlah total pemilih pada Pemilu 2019.

Menyadari hal itu, dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi mengundang para pegiat media sosial ke Istana. Tradisi yang belum pernah dilakukan pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya. Entah murni bagian dari strategi kehumasannya, atau di balik itu memang ada kepentingan terselubung jelang Pemilu Presiden 2019. Tampak Jokowi amat jeli memanfaatkan momen untuk menggalang suara dari generasi milenial.

Sebagaimana kita tahu, sosial media atau situs web berbagi video seperti youtube saat ini tengah menjadi arus utama pembentukan opini masyarakat, khususnya masyarakat milenial. Apa pasal? Konten-konten yang disediakan medium tersebut dipandang lebih bisa menyentuh serta menyesuaikan kebutuhan masyarakat milenial yang cenderung menyukai kampanye kekinian.

Generasi milenial selayaknya tidak sekadar dimanfaatkan untuk kepentingan instan politik praktis karena besarnya kuantitas. Pertimbangan kualitas juga selaiknya patut dijadikan pertimbangan diperankannya generasi milenial sebagai aktor utama bagi pemberantasan korupsi.

Tantangan tiap zaman mestilah berbeda, namun praktik korupsi akan tetap ada sampai manusia tak lagi punya libido memperkaya diri dan kelompoknya. Kehadiran generasi milenial, dengan sekian daftar kelebihan nilai tawarnya itu, diharapkan mampu membawa angin baru bagi upaya penuntasan korupsi di Indonesia. Kita tunggu.

Ade Chandra Sutrisna
Ade Chandra Sutrisna
Pegiat media berjaringan MediaMahasiswa.com, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Timur
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.