Pembangunan tak akan mandeg jika birokrasi bekerja, pembangunan tak akan gagal ketika birokrasi bekerja keras, dan pembangunan tak akan dikorupsi ketika birokrasi berbasis merit-system. Fakta historis telah menjelaskan bahwa tiap-tiap negara maju memiliki birokrasi yang bekerja dengan baik. Bahkan dalam era turbulensi ekonomi 90-an para pemimpin reformis seperti Margareth Thatcher dan Ronald Reagan telah mengalokasikan banyak energi untuk merubah birokrasi mereka dalam termin reformasi sektor publik New Public Management. Mereka menyadari bahwa ketika birokrasi tak mampu mendukung tujuan Negara maka perubahan besar-besaran harus dilakukan, meskipun mainstream tersebut kini banyak dikritik karena bernafas agenda liberal akan tetapi transfer pengetahuan atas keberhasilan reformasi mereka sampai sekarang tetap menjadi bahan pembelajaran. Konteks Indonesia yang tentu juga memiliki dinamika tekanan tersendiri seperti krisis moneter 1998 bersamaan dengan reformasi politik nasional, krisis global 2008 & 2013, problematika akibat Brexit dan terpilihnya Donald Trump. Beberapa analisis kini juga banyak menyudutkan kebijakan ekonomi pemerintah seperti kebijakan hutang dan perpajakan, akan tetapi sejak dimulai tahun 2005 dengan road map reformasi birokrasi sejauh ini dampak yang dihasilkan masih cukup minim. Kita harus segera berbenah bahwa fakta negara gagal adalah human-made (Acemoglu & Robinson, 2012). Birokrasi akan berubahan oleh campur tangan manusia lewat kebijakan reformasi birokrasi yang tepat sebab tak ada perubahan yang anonim. Jelas-jelas pemerintahan saat ini tidak mau menjadi sasaran tembak generasi berikutnya seperti pemerintahan terdahulu ketika terjadi kegagalan dalam reformasi birokrasi termasuk kegagalan eksekusi pembangunan.
Ide-ide segar muncul dalam pemerintahan era Jokowi-JK untuk mengarahkan pembangunan nasional akan tetapi titik tumpu dalam reformasi birokrasi masih belum muncul usaha radikal. Perubahan yang terjadi bisa dikatakan hanya inkremental, sedikit-sedikit dan tidak mengarah pada fundamental masalah. Kita lihat mulai kebijakan remunerasi warisan SBY yang tetap dipertahankan diperparah kini dengan mandegnya implementasi UU ASN bahkan beberapa bulan kemarin muncul inisiasi dari DPR untuk mencabut Komisi ASN. Adanya tim saber pungli hanya mampu menangkap aktor pungli yang masih rumit pembuktian aktor utamanya bahkan publik dapat curiga jangan jangan tim saber pungli ternyata menjadi bagian dari masalah. Agenda terpusat penyederhanaan perizinan bersamaan dengan berjiilid-jilid paket ekonomi juga belum mampu menciptakan birokrasi yang cepat dan responsif. Selain itu sudah terlalu lama aturan ajudikasi khusus ombudsman belum diterbitkan, padahal adanya aturan tersebut dapat memperkuat posisi penerima pelayanan publik karena terdapat mekanisme ganti rugi pelayanan publik. Kontrak pelayanan publik yang juga dijanjikan dalam Visi Misi terdahulu juga belum menjadi gelombang perubahan di Indonesia, banyak institusi publik yang tidak memiliki citizen charter sampai service blue printing sehingga melayani publik dengan seenaknya. Menurut Ridha (2014) reformasi birokrasi Jokowi adalah sebentuk upaya untuk mengembalikan peranan pelayanan publik pemerintah ke masyarakat. Sudah jelas fokus reformasi birokrasi merupakan agenda penting yang sudah lama terabaikan, padahal dalam era Jokowinomics/Jokowi Plan sangat diperlukan birokrasi yang efektif dan efisien untuk mengeksekusi kebijakan. Birokrasi bukan figuran maka sudah jelas birokrasi menjadi aktor dan syarat utama sebelum melangkah pada perubahan besar yang lain.
Agenda Reformasi Birokrasi
Birokrasi kita belum kompetitif, dalam peringkat World Economic Forum juga belum banyak perubahan. Baru-baru ini hasil evaluasi kemudahan berusaha oleh KPPOD (2016) menghasilkan fakta bahwa untuk melakukan usaha di daerah masih belum mudah seperti lama waktu, biaya dan banyaknya prosedur. Sangat tidak efisien bahkan Jokowi beberapa hari yang lalu juga mengatakan bahwa terlalu banyak broker di sektor energi kita yang membuat harga menjadi tinggi. Fakta tersebut membuat semakin tidak efisiennya birokrasi kita. Akan tetapi reformasi birokrasi juga tidak hanya merubah birokrasi untuk menjadi lebih efektif dan efisien serta lebih kompetitif yang berbasis meritokrasi sebab jika terlalu vokal paradigma tersebut justru akan menyebabkan konflik. Seperti pengalaman Perancis yang sering mengalami konflik antara birokrat street level dan para migran karena meritokrasi justru menciptakan kelas birokrat kelas atas yang seragam tanpa ada keberpihakan pada kelas menengah ke bawah (Meier & Hawes, 2009). Perlu adanya reformasi birokrasi yang inklusif. Selain itu reformasi birokrasi membutuhkan daya besar, dan jika seorang Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan sudah mengeluarkan kebijakan reformasi total maka sudah pasti publik akan mendengar. Pengalaman Inggris dan Amerika Serikat berguna dalam hal ini. Kabinet akan bergerak dan akan terancam jika dukungan publik tidak mereka akomodasi dengan baik. Seharusnya susunan kabinet tidak akan merubah kinerja birokrasi, dan kabinet akan mampu berkinerja lebih baik jika birokrasi sudah mumpuni. Alhasil juga akan muncul berbagai inovasi kebijakan sebab kabinet tidak akan memikirkan lagi hal sepele yang sudah mahir dilakukan oleh birokrat, kabinet harus berbicara soal strategi dan inovasi kebijakan karena tugas pemimpin memang mengarahkan. Perlu perubahan inisiasi Top-Down yang memahami persoalan beserta inovasi kebijakan.
Konteks reformasi birokrasi di Indonesia juga berbeda karena terdapat dua lingkungan pemerintah yaitu daerah dan pusat. Kedua belah pihak memiliki pengalaman tersendiri dan harus berbagi pengalaman sehingga reformasi birorkasi yang dilakukan adalah reformasi birokrasi Indonesia bukan copy-paste dari Negara lain. Sudah banyak daerah yang sudah berada di jalur yang tepat akan tetapi juga ternyata banyak daerah yang sama sekali tidak peduli dengan nasib birokrasi yang terkooptasi oleh kepentingan politik yang membuat ketimpangan kebijakan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Bukti tertangkapnya beberapa Kepala Daerah kecil di Jawa oleh KPK membuktikan hal tersebut. Oleh karena itu perlu untuk memeratakan reformasi birokrasi ke seluruh daerah di Indonesia, birokrasi harus bekerja hingga ke pelosok nusantara.
Kita juga memiliki pengalaman buruk dalam membirokratisisasi sesuatu yang tidak perlu seperti studi Andrew Goss yang menelurkan konsep Floracrat dimana para ilmuwan biologi dan botani justru diberikan tugas-tugas birokrasi sehingga mereka sibuk sendiri, menghasilan temuan dengan dampak kecil daripada perubahan radikal (2011). Semoga hal tersebut tidak terjadi kembali. Agenda besar dan berat memang sedang dipanggul dalam era pemerintahan saat ini, akan tetapi dengan kepemimpinan yang tegas dan kuat setidaknya akan ada visi yang benar-benar disepakati bersama agar agenda reformasi birokrasi dieksekusi bersama.