Sri Soemantri M mengatakan bahwa demokrasi pancasila ditemukan dalam UUD 1945, khususnya alinea keempat, yang kemudian dipatrikan kembali dalam sila keempat Pancasila yakni, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Semangat demokrasi Pancasila yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut kemudian diterjemahkan dalam mekanisme suksesi kepemimpinan dalam agenda 5 (lima) tahunan yang dikenal dengan pemilihan umum.
Perjalanan dari sejarah panjang bangsa ini sudah mengajarkan bagaimana pemilu harus diselenggarakan dan bagaimana demokrasi harus dibangun secara baik. Pemilu merupakan bagian penting dari prinsip negara demokrasi, jika pemilu bisa diselenggarakan dengan baik maka hal tersebut bisa menjadi pertanda untuk dikatakan sebagai negara yang demokratis.
Meminjam bahasanya Robert Dahl dimana demokrasi menekankan aspek kompetisi, Partisipasi, dan kebebasan politik dan sipil. Kompetisi juga disebut dengan kontestasi yang mensyaratkan kontestan dalam merebut kekuasaan negara.
Kontestasi yang benar adalah adanya kompetisi dalam ruang dan regulasi yang terukur dan menjamin adanya kebebasan dan adil. Begitu hal nya dengan kontestasi penyelenggaraan Pemilu 2019, yang untuk pertamakalinya akan dilaksanakan secara serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Indonesia saat ini bisa dikatakan mengalami krisis multidimensional. Bangsa ini seakan hidup di bibir pantai, menghadap samudra krisis tidak bertepi. Gelombang datang, susul-menyusul, mendamparkan lapisan-lapisan masalah tidak berkesudahan. Ke mana pun berpaling, yang ditemukan wajah kerawanan. Politik berkembang secara teknik, tetapi mundur secara etik; demokrasi melahirkan perluasan korupsi, kebebasan informasi membawa luapan sensasi dan industri kebohongan (hoax). (yudi latif, 2018)
Noda Pemilu
Pemilu 2019 harus dilaksanakan secara sehat dan waras, pemilu tidak boleh hanya dijadikan sebagai jalan untuk meraih kuasa dengan menghalalkan segala cara. Politik uang, politisasi sara, dan hoax harus dijauhkan dari ruang publik dalam setiap ajang demokrasi, karena publik harus dicerdaskan dengan hal politik yang beradab bukan merusak demokrasi.
Esensi berdemokrasi adalah penghargaan dan penghormatan tehadap hak pilih orang lain. Bukan hanya ajang memenangkan persaingan meraih kekuasaan dengan membeli suara rakyat dengan uang, bukan ajang provokasi, menghujat, menghinakan, dan menjatuhkan sesama. Namun bagaimana memenangkan persaingan dengan cara yang elegan, santun dan bermartabat.
Pemilu yang menurut Pasal 22 E UUD 1945 harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil harus di tegakkan sebagai standar pemilu yang demokratis. Pemilu tidak boleh ternoda oleh politik uang, politisasi sara, hoax, narasi kebencian dan sikap saling menjatuhkan tidak boleh dipertontonkan di depan publik. Masyarakat tidak boleh diperlihatkan pada wajah demokrasi yang seram dan suram, demokrasi yang tidak sehat yang merusak persatuan dan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemilu Bersih
Austin Ranney Profesor Ilmuan Politik Amerika yang ahli tentang partai politik, telah membuat rumusan pemilu yang demokratis dengan delapan kriteria pokok, yaitu pertama, adanya hak pilih setiap warga negara secara aktif maupun pasif. Kedua, adanya keseteraan bobot suara. Ketiga, tersedianya kandidat dari latar belakang ideologis yang berbeda untuk para pemilih.
Keempat, adanya hak dan kebebasan nominasi bagi rakyat untuk mencalonkan figus-figus tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Kelima, ada persamaan hak kampanye. Keenam, kebebasan waga negara memberikan suara tanpa tekanan dan diskriminasi. Ketujuh, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara. Kedelapan, Menyelenggarakan Pemilu secara periodik.
Pemilu 2019 harus dijadikan sebagai pemilu yang bersih dan demokratis menurut cara yang beradab dan beretika. Pemilu harus dibersihkan dari noda yang dapat mengotori esensinya seperti politik uang, politisasi sara, hoax, kampanye hitam dan lain sebagainya. Hal-hal yang dapat merusak meriah dan sakralnya penyelenggaraan pemilu harus disingkirkan dan dibuang jauh-jauh.
Target memperoleh kemenangan untuk meraih kekuasaan tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara yang tidak dapat dibenarkan. Pemilu hanya ajang pergantian kekuasaan secara konstitusional, maka cara meraihnya juga harus dilakukan secara konstitusional.
Mengutip kata-kata Presiden ke-4 RI Gusdur bahwa “tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”. Tenun kebhinekaan dan semangat kebangsaan harus berdiri diatas segala kepentingan apalagi hanya atas dasar kekuasaan. Tidak boleh ada kepentingan yang dapat memecah belah persatuan, semua harus bisa mempersatukan sesama anak bangsa. Karena pemilu yang baik bisa melahirkan pemimpin yang baik sesuai harapan semua golongan, pemimpin yang bisa menghadirkan perbaikan dan membawa keluar negara dari krisis multidimensional.
Pada akhirnya seluruh elemen bangsa, baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan seluruh masyarakat tanpa memandang siapa dan darimana harus berpegang teguh pada prinsip yang sama bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai UUD 1945, pemilu harus berwajah meneduhkan bukan menyeramkan, pemilu harus diselenggarakan secara bersih bukan dipenuhi dengan noda kepentingan, pemilu harus berjalan demokratis bukan pemilu tak beretika.