Pernyataan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian pada BBC Indonesia, Kamis (19/10) terkait penanganan kasus perkosaan sangat mengiris nurani. Polisi seharusnya menunjukkan keberpihakan pada korban, bukan malah menyudutkan!
Pada wawancara dengan BBC Indonesia mengenai penangkapan kelompok LGBT, diskursus pembentukan Densus Tindak Pidana Korupsi dan kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan, Pak Jenderal juga menyinggung penanganan kasus perkosaan.
“Misalnya dalam kasus pemerkosaan, terkadang polisi harus bertanya kepada korban, apakah Anda merasa baik-baik saja setelah diperkosa? Pertanyaan semacam itu sangat penting. Jika saya diperkosa, bagaimana perasaan saya selama pemerkosaan terjadi, apakah nyaman? Jika nyaman, itu bukan pemerkosaan.”
Pernyataan Pak Jenderal tersebut sangat tidak bisa ditolerir. Apalagi melihat posisinya sebagai pimpinan tertinggi institusi kepolisian di negeri ini yang seharusnya berdiri di garda terdepan dalam mewujudkan senyata-nyatanya rasa aman dan keadilan bagi korban perkosaan. Namun faktanya selama ini aparat kepolisian masih jauh dari perspektif adil gender dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual termasuk perkosaan.
Hal ini semakin menguatkan fakta di lapangan bahwa polisi tidak benar-benar serius dalam upaya menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Penggunaan istilah “nyaman” dan “tidak nyaman” yang ditanyakan polisi kepada korban perkosaan ini sangat tidak sensitif korban, juga dapat menambah beban berlapis yang dialami oleh korban. Padahal dalam pasal 3 (e), (f) dan (k) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana menyebutkan bahwa prinsip penyelenggara pelayanan saksi dan/atau korban harus dilakukan dengan cara : “…mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak; tidak menghakimi saksi dan/atau korban; dan memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati…”.
Seperti kita tahu, tindak pidana perkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual kepada orang lain dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, pemaksaan tidak hanya mencakup pemaksaan fisik saja namun juga psikis dan aspek lainnya (Booklet #SaveOurSisters – Mengenali dan Memahami Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender).Jelas bahwa perkosaan merupakan hubungan seksual yang dilakukan secara sepihak/tanpa konsensus dengan jalan kekerasan.
Hari ini narasi pikiran yang ngawur tentang perkosaan harus dihapuskan. Itu juga kalau kita masih mengaku bahwa kita manusia. Sadari bahwa perkosaan terjadi bukan karena cara perempuan berpakaian atau berperilaku. Perkosaan terjadi karena laki-laki dan orang-orang yang (merasa) lebih berkuasa menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Ada anggapan bahwa perempuan yang memakai rok mini dan berpakaian minim lah yang “memancing” pelaku untuk melakukan perkosaan. Nyatanya, perempuan yang menggunakan pakaian tertutup kerap menjadi korban perkosaan. Bahkan anak-anak pun menjadi korbannya. Keji! Semakin jelas ya, masalahnya bukan di tubuh perempuan, tapi otak pelaku. Ada nilai yang diinjak-injak di sana yakni penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan anak sebagai manusia. Maka, sangat jelas ya Pak Jenderal, bahwa perkosaan merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mengakarnya konstruksi patriarkis dalam kultur masyarakat kita sangat andil dalam menyudutkan perempuan dalam berbagai situasi. Sejak dalam pikiran perempuan sudah diperlakukan tidak adil. Kemudian, ini terus termanifestasi menjadi tindakan. Dari mulai kontrol terhadap tubuh perempuan, domestikasi peran perempuan dalam keluarga, pembatasan ekspresi dan ruang bersuara bagi perempuan, dan lain-lain. Sialnya, Negara melanggengkan praktik ini yang dituangkan dalam berbagai produk kebijakan yang diskriminatif. Dengan demikian praktik-praktik patriarkis-misoginis ini terus didaur ulang dan dilestarikan menjadi sebuah tindakan yang (seolah) sah-sah saja atau wajar dilakukan.
Pada kasus perkosaan, perempuan korban masih saja disalahkan sebagai penyebab dari perkosaan tersebut. Perempuan dianggap sebagai objek yang “menggoda”. Jadi sah-sah saja jika laki-laki terpancing dan kemudian melakukan tindak kekerasan seksual. Aparat menganggap jika perempuan korban perkosaan tidak melakukan perlawanan, dianggap menikmati perkosaan tersebut. Terlebih, jika tindak perkosaan dilakukan secara berulang-ulang, ini bisa dikatakan korbannya dianggap menikmati. Entah logika antah berantah dari mana yang digunakan sebagai pembenaran ini.
Padahal kenyataannya, perempuan korban perkosaan butuh kekuatan yang sangat besar untuk memberanikan diri bercerita. Mereka juga dihadapkan pada kondisi yang sulit untuk melaporkan kasus perkosaan yang dialaminya. Belum lagi, trauma psikologis yang harus ditanggung oleh korban seumur hidupnya. Korban membutuhkan kondisi yang aman dan nyaman untuk perlahan keluar dari trauma yang terus mengintainya. Penghakiman dari pihak kepolisian berpotensi semakin menyurutkan perjuangan korban untuk bangkit dan melaporkan kasusnya.
Mensahkan RUU PKS adalah Hal Wajib!
Pernyataan “ngawur” Pak Jenderal tentang penanganan perkosaan menjadi lonceng pengingat di diri masing masing, bahwa kekerasan seksual harus kita lawan bersama. Ini momentum juga untuk kembali memperluas dan mempererat simpul simpul gerakan. Laki-laki, woy laki-laki, eh ya kamu itu lho, kok malah bengong aja. Ayo bersama bergabung dan rapatkan barisan dalam gerakan melawan kekerasan seksual #GerakBersama yang diusung oleh Komnas Perempuan, organisasi masyarakat sipil dan individu-individu masyarakat yang sepakat bergandengan hati melawan kekerasan seksual.
Selain melakukan kampanye pencegahan dan perlawanan terhadap kekerasan seksual, #GerakBersama juga mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang saat ini berada di meja wakil rakyat yang (konon katanya) terhormat. RUU PKS ini mengisi kekosongan kebijakan terkait penghapusan kekerasan seksual secara menyeluruh yang memang belum dimiliki oleh Negara kita tercinta. Padahal, bolak-balik Pakde Jokowi dan menteri-menterinya berkali-kali mengungkap data tingginya angka kekerasan seksual, dan mengklaim bahwa Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. Sudah semestinya sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi kemanusiaan, RUU PKS harus menjadi perhatian penuh Negara.
RUU PKS ini sangat penting untuk dipelajari dan diimplementasikan oleh institusi kepolisian. Pertama, RUU PKS menjelaskan dan mengatur secara komprehensif mengenai definisi, ruang lingkup, bentuk dan penanganan kekerasan seksual termasuk perkosaan. RUU PKS juga mengatur standar peran polisi dalam menerima pelaporan korban kekerasan seksual dan menangani kasusnya secara humanis.
Sehingga, wajib hukumnya bagi seluruh Warga Negara Indonesia, terutama Insan-Insan yang mengaku dirinya manusia untuk mendukung dan mendorong Negara untuk hadir dan segera mensahkan RUU PKS. Demi masa depan Indonesia yang bebas kekerasan seksual.