Dimulainya periode anti-komunis dengan mula-mula ditetapkannya PKI sebagai Partai terlarang hingga pembuatan film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib ditonton setidaknya 1 kali setahun tersebut, menambah rasa emosi yang kentara dan permanen terhadap bahaya laten ideologi merah itu.
Namun, rupanya masyarakat memiliki perspektif berbeda dalam soal menghadapi komunisme pada era reformasi sekarang ini, yang membaginya 2 golongan pemikiran masyarakat yang sama kuatnya: pertama, yang meyakini bahwa komunisme sudah mati sejak kematian negara induk raksasa komunis, Uni Soviet. Kedua, meyakini dengan teguh bahwa laten ideologi komunisme masih bercokol terang di Indonesia dengan narasi “Komunisme itu nyata!”.
2 Golongan Masyarakat
Suasana tampak lebih serius pada golongan pertama ini. Pada golongan pertama memiliki anggapan yang tetap sama sejak bercokolnya Orde Baru, yakni laten komunisme bisa bangkit dari arah dan tempat manapun. Bahkan ideologi tersebut, jika mengacu pada sebagian besar pernyataan golongan kedua, berubah bentuk pada zaman sekarang menjadi ‘Komunis Gaya Baru’ atau ‘Neo-Komunisme’.
Komunisme yang bertransformasi ini, menurut Kolonel Purnawirawan Amir Syarifuddin, mengatakan gerakan komunis gaya baru memiliki tata cara menguasai kekuasaan dengan memasuki tatanan legislatif dan yudikatif. Golongan kedua ini tidak hanya beranggapan jika Komunis Gaya Baru ini menguasai pemerintahan saja, melainkan juga ekonomi, budaya, sosial, dll.
Bertentanglah jika dihadapi pada golongan kedua. Golongan ini meyakini bahwa komunisme sudah mati lama karena ideologinya saja yang bersifat kaku, “warisan Perang Dingin”, dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi zaman. Banyak tulisan yang berpihak pada golongan ini, contohlah tulisan Fitriya Ramadhanny, tulisan Ichwan Arifin, dan tulisan Aya Oktaviani.
Keseluruhan tulisan yang dikemas secara apik tersebut serempak menuliskan bahwa komunisme telah mati dan slogan yang mengatakan komunisme tetap bangkit hanya petir di siang bolong. Apalagi Romo Magnis Suseno, juga mengatakan komunisme sudah tidak menarik lagi sejak 1989 dan siapa yang ingin mengangkat bendera ideologi kuno tersebut?
Namun jika ditilik lebih mendalam lagi, cara berhadapan terhadap komunisme masing-masing golongan tidak memiliki gaya analisa yang kurang mendetail tentang menghadapi komunisme ini. Coba kita memahami premis dari golongan pertama, mereka menggap komunisme masih ada dan nyata. Namun, bukti-bukti yang mereka tawarkan masih bersifat spekulatif/menebak-nebak dan bersifat sentimentil daripada berbasis ilmiah langsung yang didasarkan pada kondisi-kondisi sosial.
Dikatakan oleh mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, salah satu gerakan PKI gaya baru dicirikan dengan memutarbalik “fakta sejarah” yang ada. Jika memang begitu, upaya sejarawan-sejarawan, seperti Asvi Warman Adam dan Bonnie Triyana misalnya, yang berusaha keras menawarkan basis data dan berkesimpulan yang terkesan “memutarbalikan sejarah” tentu akan dicap sebagai PKI baru.
Sebaliknya, golongan kedua memiliki kekurangan yang sangat mendalam pada pernyataan yang mereka lontarkan yakni komunisme sudah mati. Mengapa saya sebut kekurangan? Karena bersifat skeptis, menganggap enteng dengan kalimat, “Perang Dingin selesai, komunisme selesai”. Padahal, persoalan komunisme jugalah berkaitan erat dengan persoalan kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi yang masih merajalela sekarang.
Golongan ‘Soal Ekonomi’
Ini yang tiada kedua golongan lihat. Komunisme harus dilihat sebagai kondisi-kondisi sosial dari masyarakat dan soal ekonomi kapitalisme yang semakin meluaskan jurang kesenjangan. Bukankah ide komunisme juga muncul di Rusia, Tiongkok, dan tempat lain karena kesenjangan?
Teringat kembali penulis kata-kata Bung Karno, walaupun tidak ada Aidit, Nyoto, Lukman, dll komunisme tetap muncul, dimana munculnya komunisme? Bukan di gedung Kebayoran, akan tetapi di kampung-kampung kumuh dengan gubuk-gubuknya yang bocor. Di situ ibu-ibu tak mampu memberi susu yang cukup buat anak-anak. Lalu anak-anak itu ngesot di tanah akibat kemiskinan yang mencekik, darisitulah komunisme muncul.
Merambah kita pada soal ekonomi, komunisme berangkat dari filsafat materialisme historis, ialah filsafat membahas gerak sejarah perkembangan umat manusia sejak masyarakat primitif hingga masyarakat komunis. Kapitalisme, menurut Marx, yang berada diantara tingkatan perkembangan sejarah itu pasti menuju pada komunisme.
Mengapa pasti? Karena seluruh tahapan perkembangan sejarah sebelum tahap komunisme terdapat kontradiksinya masing-masing, kontradiksi inilah yang membawa kehancuran dan kemajuan tahap selanjutnya, yakni komunisme. Bentuk kontradiksi kapitalisme berada pada lantai industri, yakni pertentangan kelas buruh dan pengusaha. Jika merujuk pada buku karya Marx, kontradiksi dimulai dalam bentuk upah buruh. Kelas buruh—karena tidak memiliki alat produksi–harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah sebagai sarana penghidupannya. Namun, nilai upah yang didapat ternyata tidak sebanding dengan tenaga kerja yang dikerahkannya.
Mari asumsikan nilai tenaga kerja seorang buruh mesin bernilai 3 rupiah, biaya bahan baku senilai 20 rupiah, biaya pengoperasian mesin, depresiasi mesin, dll senilai 3 rupiah, dan asumsikan lagi total upah dalam sehari senilai 4 rupiah. Berarti total pengeluaran untuk produksi pada seorang buruh sekitar 30 rupiah.
Tetapi perhitungan pengusaha, ia mendapatkan 34 rupiah sebagai penjualan komoditas hasil produksi itu. Menurut ekonomi politik klasik, harga komoditas adalah refleksi dari tenaga kerja yang dicurahkan para buruh tersebut. Jika 34 rupiah adalah total harga tersebut sedangkan 30 rupiah adalah nilai inti komoditas, bukankah terdapat kelebihan 4 rupiah? 4 rupiah inilah dinamakan ‘nilai lebih’ yang seharusnya dimiliki buruh jika merujuk pada ekonomi politik klasik, sehingga total upah upah yang seharusnya diberikan sebesar 8 rupiah.
Secara tidak langsung, para pengusaha mendapatkan keuntungan dari kerja produksi ini dan mengeksploitasi para buruh. Para pembaca dapat melihat langsung kontradiksi ini dalam konteks Indonesia, dalam data tentang rasio upah relatif pekerja seluruh Indonesia dengan keuntungan perusahaan.
Keuntungan yang diterima para pengusaha semakin hebat dan pada lain pihak kaum buruh semakin miskin. Keuntungan yang diterima pengusaha, dihabiskan untuk meningkatkan kualitas mesin kerja daripada memberikan ke buruh. Sehingga, membawa produktivitas produksi semakin giat dilakukan karena harga-harga bahan baku semakin murah akan tetapi umumnya terjadi penggantian tenaga kerja menjadi mesin, dan peningkatan ‘nilai lebih’ pada buruh mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang semakin luas. Produktivitas yang semakin kencang dan tingkat daya beli buruh semakin turun mempercepat over-produksi. Ekses kontradiksi di atas, kata Marx, yang membawa kapitalisme menggali makamnya sendiri dan memungkinkan digantikan oleh tatanan komunis lewat revolusi buruh yang semakin miskin itu.
Untuk menghalau munculnya komunisme, pemerintah dan segenap rakyat Indonesia harus mewujudkan kondisi sosial ekonomi yang bermuara pada keadilan sosial yang menyeluruh. Pada akhirnya, Indonesia menjadi masyarakat adil dan makmur.