Siang itu dalam perjalan jalan pulang sehabis menggantar anak les, saya terkejut akan keramaian mendadak di sebuah tempat kecantikan. “Kok ramai banget” dalam hati saya berpikir, orang-orang yang di pinggiran jalan tiba-tiba saja mengerbu dengan ramai bahkan para penjual asongan aneh meninggal kan begitu saja barang dagangan mereka untuk mengerbu tempat itu. Saya pikir wah kayaknya di tempat kecantikan sedang buka diskon buat emak-emak pengasong dan juga bapak-bapak kali yah.
Gedung yang megah dan esotik tiba-tiba ramai semua orang menyerbu ke halaman gedung itu, mereka yang ada di bawah tangga merengsek masuk ke gedung sontak ramai orang-orang naik keatas menyerbu masuk kedalam. Terlihat pemilik dan juga pihak pengaman kewalahan dan ketakutan akan kelakuan “para tamu” dadakan ini. Ibu-ibu dengan baju lusuh membawa anak-anak menyerbu stand kecil di bawah anak tangga dengan beringas, tidak ada antrian semua seperti takut tidak kebagian.
Ternyata tempat usaha kecantikan ini sedang membagikan makanan gratis wajar diserbu namun tampaknya para penyerbu ini tampang-tampangnya tidak biasa setiap saya melewati jalan ini selalu ada mereka. Keberadaan mereka mulai bergentayangan sejak awal pandemi corona.
Biasanya mereka sehabis dari kantor departemen sosial dipagi hari untuk mendapat bantuan mereka akan bergentangan di sejalur jalan besar yang ramai dilewati orang-ornag terutama para pekerja kantoran baik pemerintahan atau swasta. nereja duduk dijalan bahwan membawa anak-anaknya, tentunya mustu bawa “peralatan perang” seperti gerobak isi kardus dan anak mereka, atau karung berisi entah apa, tampak besar dibawa oleh ibu-ibu dan bapak-bapak itu.
Beberapa dari mereka membawa dagangan asongan yang gak guna jumlah juga gak banyak sperti sapu ijuk, sapu lidih di ikat tapi terlihat tujuannya yah buakan buat dijual. Bahkan, ada bapak-bapak yang bawa seikat bambu kecil buat dijual sambil pasang tampang melamun jauh minta rasa Iba.
Mereka bukanlah orang-orang pinggiran, mereka adalah para “pebisnis” dagangan rasa iba. Yang disayangkan, mereka melibatkan anak-anak mereka bahkan memanfaatkan anak-anak mereka untuk menuai rasa iba. Kenapa mereka dapat muncul ? Salah satu penyebabnya adalah karena kita. Kita membutuhkan rasa iba buat mereka, dan kita kadang berpikir berharapkan doa dan ucapan terima kasih mereka.
Padahal jelas sekali secara fisik mereka mampu bahkan beberapa dari mereka merokok kuat, ketika udah sore hari mereka berjejer pulang bawa bekal makanan yang di berikan dari “klien” mereka. tampak senyum puas di tampang mereka karena tidak butuh banyak aktifitas, pendapatan pun lumayan paling kecil Rp 50 Ribu pasti ada ditangan mereka sehari.
Terus kenapa pemerintahan hanya diam saja ? jangan salah mereka pun memanfaatkan bantuan dari pemerintahan beberapa dari mereka mendapatkan jatah dari bantuan langsung dan bantuan tidak langsung tunai perhari jumlahnya juga mayan bisa untuk makan lihat saja di kantor sosial, tiap pagi menjadi kunjungan wajib bagi mereka, dengar-dengan beberapa dari mereka bukan tipe orang susah di kampung halaman mereka yang berada di luar kota.
Jadi pertanyaan kalau bukan kesalahan pemerintahan sepenuhnya ini kesalahan siapa ? Jelas sekali ini kesalahan kita yang awal mulanya saat awal Pandemi ini terjadi 2 Tahun lalu (2019), ketika ada tren orang biasa memberikan bantuan langsung kepada para pekerja jalanan.
Saya ingat beberapa rekan saya begitu antusias untuk membungkus makanan buat dibagikkan langsung ke jalanan, buat para sopir, para gojek online, pedagang asongan yang dorong gerobak, sampai pada pemulung, trend itulah yang melahirkan pebisnis rasa iba ini. Ada celah ada kesempatan, awalnya kita emang benar melakukannya, niat kita pun sudah benar dengan membagikan rejeki kita tapi sayangnya kita tidak bijaksana dalam berbuat. Bahkan, ada beberapa orang yang melakukannya meminta imbalan. Mereka meminta anak-anak yatim dan para kaum duafa ini didoakan agar usaha mereka lancar, karir sukses, dan lulus ujian penyaringan lancar.
Yang menjadi korban dari skema bisnis rasa iba ini bukanlah mereka tapi logika kita dan ketulusan kita dalam tindakan kita. Ketika sebuah tindakan baik walau niat baik juga harus ada rasa bijaksananya. Memberikan langsung kepada mereka bantuan, seperti makanan, pakaian, bahkan uang tunai bukanlah solusi tapi masalah baru, anggap kita tulus memberikan tnapa imbalan tapi kita menyeret mereka untuk terus meminta dan menjadi malas seperti yang terjadi di tempat kecantikan tersebut.
Ketertiban terganggu karena serbuan para “pebisnis” ini, tidak ada manfaat selain pemilik rumah kecantikan itu menjadi trauma (esoknya kegiatan itu udah tidak ada bahkan spanduk pemberitahuan makanan gratis dicabut) biat baik dia sia-sia bantuan diapun tidak tepat jadinya.
Bila kita lebih bijaksana untuk membantu jelas ada banyak lembaga yang dapat kita berikan sumbangan kita melalui mereka, baik sumbangan langsung tunai atau sumbangan barang. Lembaga-lembaga ini lebih kretibel dan mereka jelas lebih memiliki data-data siapa saja orang-orang yang memang membutuhkan bantuan. Lembaga-lembaga ini banyak sekali baik lebaga berlandaskan keagamaan atau indenpenden dan non agama atau kalau jumlah sumbangan kita besar akan lebih baik bila digunakan untuk pembangunan fasilitas di daerah yang emang membutuhkan.
“Dewasa dan bijaksanalah memberikan sebuah bantuan agar tidak dimanfaati para pebisnis ini, bantuan anda amat penting bagi yang benar-benar membutuhkan bukan buat mereka yang memanfaatkan rasa iba anda.”