Minggu, April 28, 2024

Berbeda Penafsiran, tetapi Hidup Rukun

Odemus Witono
Odemus Witono
Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral STF Driyarkara, Jakarta.

Beberapa tahun lalu saya ditanya oleh seseorang pemuda mengenai apa itu kebenaran. Spontan saya menjawab kebenaran terkait erat dengan pandangan agama dan kultur di masyarakat. Di dalam agama dan kultur terdapat sistem nilai yang memuat kebenaran. Hanya saja, dalam kenyataan hidup ada orang yang mengalami kesulitan mengungkapkan esensi dari kebenaran. Oleh karenanya butuh pemahaman lebih lanjut mengenai kebenaran.

Apa itu Kebenaran? 

Dalam Merriam-Webster Dictionary, kebenaran mempunyai arti yang beragam. Salah satu artinya, kebenaran dipandang sebagai properti atau pernyataan yang sesuai dengan fakta atau kenyataan. Dengan kata lain, kebenaran (dalam Reese, 1996) didefinisikan sebagai keadaan yang cocok dengan situasi yang sesungguhnya; dan sesuatu yang sungguh-sungguh ada.

Kebenaran dalam arti demikian terlihat empiris dan dapat dipahami melalui panca indera. Melalui indera, orang dapat menyadari bahwa kebenaran itu sesuai dengan kenyataan, misalnya Joni melihat teman di hadapan dia berkaki dua. Pernyataan Joni benar, jika mengatakan bahwa memang sang teman berkaki dua. Konsep kebenaran semacam ini nampak sederhana, tetapi sesungguhnya dapat menjadi pijakan awal untuk memahami kompleksitas sesuatu yang dipikirkan benar.

Dalam merumuskan kebenaran sederhana, orang perlu memahami relasi antara afirmasi dan realitas melalui persepsi panca indera. Orang melihat, mendengar, merasakan atau menyentuh sesuatu dan mengatakan apa yang dialami. Namun demikian persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang ada, misalnya saya tidak dapat melihat dalam kegelapan. Karenanya, untuk menilai suatu kebenaran dibutuhkan situasi dan kondisi yang jelas, sehingga pilihan persepsi apa itu benar/salah menjadi lebih tepat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataan, seseorang hanya dapat mengambil sedikit pengalaman yang dirasakan di dunia. Orang itu dapat mengetahui sesuatu lewat kesimpulan (inference) yang ditarik berdasarkan fenomena apa yang terjadi di sekitar misalnya, jika ada asap yang membumbung ke langit, maka kesimpulan yang potensial diambil, di sumber asap itu terdapat bara api. Alasan menarik kesimpulan jelas, karena tidak mungkin ada asap tanpa ada bara api di sana. Kesimpulan ini secara tidak langsung membantu proses pembentukan persepsi.

Karena kemampuan panca indera manusia terbatas, maka manusia memerlukan bantuan ilmu pengetahuan – entah sains, filsafat, maupun teologi — untuk menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan tidak tergantung pada penilaian persepsi indera semata. Begitu banyak material di dunia yang tidak dapat dipahami oleh indera kita, misalnya atom. Atom adalah partikel yang begitu amat kecil, sehingga tidak dapat dilihat, namun energi atom dapat menimbulkan ledakan yang sangat besar.

Kebenaran sebagai ungkapan ekspresi

Jika jawaban ilmu pengetahuan atas realitas dianggap memadai, maka dalam hidup normal manusia membutuhkan bahasa untuk menceritakan suatu peristiwa. Banyak orang percaya ada sesuatu pada realitas karena ada yang menyampaikan. Mereka berbagi pengalaman dan kita percaya atas testimony yang didapat.

Setiap bahasa digunakan secara konvensional dan merupakan tanda kehadiran manusia melihat dunia. Manusia mempunyai bahasa yang berbeda-beda untuk menamai suatu objek. Penamaan suatu objek sangat bergantung pada, dari kelompok mana orang itu berasal. Dalam berinteraksi dengan sesama, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi.

Bahasa manusia digunakan untuk berkomunikasi. Manusia dalam berkomunikasi dengan sesama merupakan salah satu penanda sebagai makhluk sosial. Komunikasi disadari sebagai proses pengiriman pesan di mana pengirim mengirim pesan kepada penerima. Dalam kenyataan, komunikasi lebih bersifat dialogis yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia.

Pengirim berita mengambil inisiatif dalam berkomunikasi. Dia mempunyai perasaan, dapat berpikir, dan mempunyai pengalaman untuk menyampaikan pesan kepada penerima. Komunikasi yang berasal dari penerima berita sangat tergantung pada pengalaman terhadap realitas dan kemampuan pengirim dalam menafsirkan kode-kode, atau medium komunikasi lainnya, sosial, dan mengetahui konteks psikologis dalam hubungan komunikasi. Penerima mengerti isi pesan yang disampaikan. Untuk mengerti pesan dibutuhkan penafsiran. Dalam menafsirkan teks yang penuh arti pun tergantung siapa yang menafsirkan.

Saat seseorang membaca suatu teks, maka orang itu perlu menghubungkan dengan situasi dan mempertanyakan apa yang penting dari teks tersebut. Komunikasi dapat berjalan jika ada orientasi dan cakrawala; ada hasil dari interaksi antara pengirim dan penerima berita dan atau adanya penggabungan orientasi dan cakrawala antara pengirim dan penerima berita.

Komunikasi menjadi benar-benar sulit dan kompleks ketika seseorang berhadapan dengan karya seni dan sastra, seperti karya puisi. Lewat simbol dan metafor penulis puisi mengekspresikan pengalaman dirinya. Jika komunikator menyampaikan pesan lewat karya seni dan sastra, maka orang itu membutuhkan tafsir, agar dia atau mereka dapat menangkap pesan yang ada. Membaca kembali teks-teks yang berisi pesan-pesan simbolis tak jarang menimbulkan aneka penafsiran. Perbedaan penafsiran dapat juga terjadi dalam memahami teks-teks suci, dan aneka ritual.

Aneka penafsiran atas suatu kebenaran bukan berani satu benar yang lain kurang benar, atau malah dipersalahkan. Kebenaran bisa jadi bersifat plural manakala masing-masing kelompok mengklaim kebenaran sendiri. Kendati berbeda, sebagai manusia relasi komunikatif perlu tetap dijaga. Dengan demikian making harmony yang digambarkan oleh salah seorang teolog, Michael Amaladoss dapat terjadi dengan baik. Walau berbeda-beda nada, tetapi jika dinyanyikan bersama menciptakan melodi yang indah. Itulah harmoni kehidupan, berbeda tetapi tetap rukun dalam keseharian hidup bersama.

Epilog

Sebagai catatan akhir, penulis menyimpulkan bahwa esensi kebenaran terletak pada realitas, teks, dan penafsiran. Penafsiran atas teks dan realitas tidak hanya berdasarkan persepsi panca indera tetapi juga ilmu pengetahuan yang secara tradisi terus mengalami perkembangan. Oleh karenanya dalam penafsiran perlu memahami konteks dan struktur yang membentuk penyataan dianggap benar atau tidak.

Klaim atas kebenaran yang berbeda bisa saja terjadi, tetapi dialog dalam harmoni kebersamaan hidup tetap perlu dirawat dan dijaga. Manusia pada dasarnya sama, sama-sama ciptaan Tuhan, dan berbeda karena unik. Oleh karenanya walau beda penafsiran atas kebenaran, kita sebagai manusia tetap hidup rukun, saling menghormati, membantu, hidup damai di bumi dan langit yang sama.

Odemus Witono
Odemus Witono
Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral STF Driyarkara, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.