Satu abadnya Indonesia, diprediksi akan menjadi tahun emas bagi masyarakat luas, pun berdampak bagi negara lain. Karena saat keadaan tersebut, Indonesia akan menyongsong meledaknya angka produktif atau akrab disebut Bonus Demografi.
Bonus demografi akan mengantarkan Indonesia dengan saat-saat dimana kualitas Sumber Daya Manusia menjadi prioritas dalam menentukan masa depan.
Secara pemetaan, Bonus Demografi dapat diartikan sebagai keadaan jumlah usia produktif (15-65 tahun) melebihi jumlah non-produktif. Berdasarkan perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa keadaan ini akan mengalami puncaknya antara tahun 2025-2030, dengan jumlah penduduk produktif 70% dan akan berakhir sekitaran 2036.
Bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Jika pemerintah pun masyarakat mempersiapkan diri secara kualitas, maka bonus tersebut akan berdampak baik bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Akan tetapi, bilamana masyarakat pun pemerintah tidak menyiapkan diri, maka bonus demografi menjadi boomerang bagi kemajuan bangsa, bahkan tak tanggung bisa menjadi bencana baru.
Jika kualitas masyarakat tidak diiringi dengan jumlah usia produktif, akibatnya rendah daya saing secara lokal maupun global.
Pekerja asing akan dengan masif menggantikan posisi anak bangsa, ditambah dengan jendela globalisasi membuka peluang kemajuan teknologi yang semakin menggeser peran manusia.
Beberapa penelitian mengungkapkan, bahwa bonus demografi akan dialami negara Indonesia sekali dalam seumur hidup, maka menjadi hal penting untuk diketahui seluruh lapisan masyarakat harus benar-benar mempersiapkan diri.
Jejak bonus demografi, bahwa banyak negara sukses dalam memanfaatkan keadaan tersebut menjadi peluang bagi kemajuan negara terutama masyarakatnya. Seperti Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara lainnya.
Pun demikian, tetap saja ada negara yang tidak dapat memanfaatkan keadaan tersebut untuk suatu kemajuan, malah sebaliknya menjadi bencana baru dinegaranya, khususnya bagi negara-negara dibagian Benua Afrika. Seperti Ethiopia, Brazil, dan beberapa negara lainnya.
Dari dampak bonus demografi pun negara tidak dapat memandang dengan sebelah mata hal tersebut hanya sebuah angka penduduk produktif, tetapi keadaan ini akan memaksa kebutuhan konsumsi yang meningkat signifikan.
Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk melihat adanya potensi bonus demografi dalam suatu negara ialah dengan menilik jumlah angka rasio ketergantungan penduduk yang rendah.
Rasio ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia non produktif dengan jumlah penduduk usia produktif.
Kondisi suatu negara yang menyambut bonus demografi sebenarnya merupakan suatu anugerah dan berkah yang dapat membawa keberuntungan bagi suatu negara.
Namun, untuk mencapai hal tersebut negara harus benar dalam mempersiapkan semuanya itu dan dikelola sebaik mungkin. Bukan keliru soal peluang kerja.
Dimasa pandemi ini, pemerintah dan DPR sekuat tenaga mengebut UU Minerba, dengan dalih menyerap investor serta pembukaan lapangan kerja.
Padahal, dari 130 juta jiwa tenaga kerja di Indonesia, hanya 1 persen atau sekitar 1,37 juta jiwa yg diserap oleh tambang atau galian. Pun ongkos lingkungan akan semakin mahal jika kegiatan tambang semakin liar.
Ada dua juta jiwa angkatan kerja yang lahir tiap tahun. Bahkan akan semakin meningkat tiap tahunnya. Padahal, kemajuan teknologi semakin menggantikan peran manusia.
Apalagi komputer semakin menggeser manusia diberbagai sektor. Seperti perbankan, gerbang tol, teknologi perusahaan, dan sebagainya.
Konsep berpikir besarnya jumlah investasi yang masuk semakin memperluas lapangan kerja tak akan selalu berbanding lurus.
Hubungan investasi dengan penyerapan tenaga kerja semakin mengalami penurunan. Data Apindo mengatakan, jika tahun 2010 setiap investasi 1 triliun mampu menyerap 5.000 tenaga kerja, akan tetapi pada 2016 hanya 2.200 jiwa.
Sekitar tujuh tahun lalu, menurut data BPKPM, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 750.000 tenaga kerja, akan tetapi tahun 2019 hanya 110.000 jiwa.
Tentunya, semua perubahan signifikan ini akibat kemajuan teknologi seperti yang disampaikan sebelumnya. Semakin memperkuat asumsi, bahwa peningkatan jumlah investasi tak selalu meningkatkan jumlah lapangan kerja.
Alih-alih membuka lapangan kerja, RUU Omnibus Law ini bisa lebih merugikan lagi. Contohnya, upah minimum tidak diatur, syarat kerja untuk kontrak diperlonggar, tidak ada denda keterlambatan pembayaran gaji, tidak ada pesangon, serta kerusakan akibat longgarnya pertanggungjawaban terhadap lingkungan.
Konflik masyarakat terhadap perusahaan bukan lagi barang baru di Indonesia. Menyerang lahan pertanian/perkebunan masyarakat, belum lagi kerusakan laut semakin mencekik profesi nelayan dengan dalih investasi atau pembangunan.
Sehingga menjadi penting, ketika negara benar-benar jeli untuk memajukan bangsa. Bukan malah berpikir mundur soal peluang kerja. Benturan antara kepentingan elit dengan masyarakat luas menjadi masalah dari hulu ke hilir soal kesejahteraan.
Sebab banyak negara yang berhasil memanfaatkan momentum tersebut, dan tak sedikit pula yang gagal dalam menyambutnya.
Untuk dapat mempersiapkan negara dalam menyongsong bonus demografi agar menjadi kesempatan emas bagi negara Indonesia, para pemimpin harus benar-benar serius. Bukan didominasi oleh titipan kepentingan elektoral semata.
Hal dasar seperti peningkatan kesehatan, kualiatas pendidikan, pemerataan pembangunan, harus menjadi agenda prioritas dalam menyambut bonus demografi.
Pun harus memperhatikan soal kualitas tenaga kerja yang masih rendah, rasio jumlah angkatan kerja tidak sebanding (timpang) dengan jumlah kesempatan kerja yang tesedia, persebaran tenaga kerja yang tidak merata (menumpuk pada pusat kota), terbatasnya kesempatan kerja, dan tingginya angka pengangguran.
Dengan nafsu investasi yang kurang sehat dari pemerintah, serta daya tarik kota bagi angkatan muda yang menganggap menjadi peluang satu-satunya kesuksesan, jangan sampai bonus demografi menjadi bom waktu gagalnya negara menyambut kesempatan emas itu.