Sabtu, Juli 27, 2024

Benarkah Tiktok Dapat Merusak Mental dan Nalar Penggunanya?

Gati Rianto
Gati Rianto
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i Jember. Tertarik dalam bidang Ilmu Fiqh dan Muamalah Kontemporer.

Jika ada sebuah pertanyaan, “Apakah anda suka dengan Tiktok?”. Maka kebanyakan orang akan menjawab, “Ya, saya menyukainya”.

Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena memang platform ini sengaja dibuat dengan tujuan agar anda menyukainya. Tayangan-tayangan yang ada didalamnya telah disusun sedemikian rupa agar sangat ramah bagi dofamin yang ada di dalam otak. Meskipun Tiktok banyak disukai oleh banyak orang, ternyata Tiktok juga mendapatkan banyak sekali masalah dan cibiran dengan alasan yang sangat beragam.

Ada sekitar belasan negara yang memutuskan untuk memblokir dan membatasi Tiktok untuk negaranya, hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Diantara alasan yang sangat mendasar adalah bahwasanya Tiktok dapat merusak moral penggunanya, merusak nalar mereka, merusak mental mereka dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan indonesia? Apakah Indonesia juga melakukan hal yang sama?

Indonesia merupakan negara yang tidak terlalu mempermasalahkan tiktok, bahkan tidak mempermasalahkannya sama sekali. Sebab, indonesia merupakan negara yang paling kebal terhadap kecemasan-kecemasan yang melanda dunia secara global.

Diantara contohnya adalah ketika Elon Musk takut dan cemas dengan perkembangan AI, tapi Indonesia dan penduduknya tetap santai saja. Ketika China takut dengan perkembangan Tiktok, Indonesia santai-santai saja. Ketika negara-negara Eropa takut dengan pemanasan global, namun penduduk Indonesia justru membakar sampah dihalaman rumah mereka.

Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara yang paling santai. Indonesia akan mulai cemas terkait dengan masalah-masalah yang internal negara. Seperti apakah Presiden Jokowi merupakan PKI atau bukan? Atau permasalahan-permasalahan internal lainnya yang membuat kita justru takut dengan itu.

Bagaimana Tiktok Dapat Merusak Mental dan Nalar Kita?

Pada tahun 1980-an otak manusia sedang berada dimasa jaya-jayanya. Di tahun tersebut,  jika seseorang ingin mendapatkan informasi atau kepuasan, maka otak harus bekerja dengan ekstra terlebih dahulu secara manual. Misalkan untuk mendapatkan suatu informasi dia harus mencari buku kesana kesini atau untuk mendapatkan suatu hiburan dia harus menggerakkan badannya ke suatu tempat untuk bisa menonton layar tancap, dan lain sebagainya.

Lalu pada tahun 2000-an kinerja otak turun drastis karena media sosial seperti Youtube, Google dan yang semacamnya telah memberikan fasilitas yang baru. Sebuah fasilitas alternatif yang membuat manusia tidak harus keluar, tidak harus memproses secara mendalam untuk bisa menemukan sumber kebahagian maupun sumber informasi yang dia inginkan. Hanya dengan mengetikkan di Google atau Youtube kata kuncinya, maka dia akan mendapatkan apa saja yang dia senangi.

Pada tahun 2020-an otak manusia benar-benar lebih hancur lagi dan menjadi lebih kacau, karena Tiktok bahkan tidak memberikan kesempatan bagi kita untuk mencari kata kunci. Tiktok akan secara otomatis melacak apa yang kita sukai dan memata-matai kehidupan kita. Dengan begitu, Tiktok akan menyuguhkan kepada kita apa saja yang kita sukai bahkan tanpa mengetikkan kata kuncinya.

Sehingga dalam hal ini, otak manusia sudah benar-benar tidak perlu bekerja dan tidak perlu berproses. Otak manusia hanya perlu menikmati tayangan-tayangan yang sudah disediakan oleh Tiktok. Luar biasa bukan?

Inilah yang akhirnya menjadikan otak manusia tidak bekerja sepenuhnya untuk mencari informasi, akan tapi bekerja untuk menikmati informasi yang ada disana. Dampaknya apa?

Dampaknya adalah bisa menimbulkan kecanduan. Jika sudah kecanduan maka penonton Tiktok semakin hari akan semakin banyak dan juga semakin meningkat. Hal inilah yang bisa menghancurkan pemahaman kita tentang dunia nyata dan bisa membahayakan.

Oleh karena itu, jika kita ingin mendapatkan suatu kesenangan maka kita harus berjuang dan berproses terlebih dahulu.

Contoh sederhananya adalah ketika kita bermain game dan kita  menang melawan musuh, maka kita akan merasa puas dan bahagia. Jika kita kalah melawan musuh, maka kita akan terdorong dan termotivasi untuk berjuang lagi dari awal sampai bisa mendapatkan kemenangan kembali. Sehingga proses otak bekerja itu adalah dengan berjuang terlebih dahulu kemudian baru akan mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan.

Adapun Tiktok justru sebaliknya. Tiktok membiasakan kita untuk tidak perlu berjuang, tidak perlu melakukan apapun, namun kita akan disuguhkan dengan tayangan-tayangan yang menyenangkan. Dengan begitu, tanpa kita sadari ternyata kita mengalami kecanduan. Sehingga kita akan merasa bahwa dunia nyata pun, seharusnya seperti itu. Namun, dunia nyata tentunya tidak akan pernah seperti itu.

Dunia nyata sampai sejauh ini menuntut kita untuk melakukan sesuatu dan berjuang terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan serta menikmati hasilnya. Inilah yang menyebabkan munculnya kesenjangan antara dunia nyata dan dunia Tiktok.

Pada akhirnya manusia akan dipaksa untuk menonton Tiktok secara terus menerus karena dunia nyata ternyata tidak ideal seperti yang ada di dalam Tiktok.

Belum lama ini, ada seorang anak kecil yang merupakan korban Tiktok. Dia disuruh oleh ibunya untuk membantu mencuci piring, kemudian setelah itu dia pun curhat dan menyebutkan bahwa dunia itu memang sangat kejam, dunia hanya untuk orang-orang yang disayang bukan untuk anak broken home. Dia merasa bahwa dirinya sebagai anak broken home hanya karena disuruh untuk mencuci piring.

Apa yang menyebabkan mentalnya menjadi serendah itu? Maka jawabannya adalah karena dia sudah kecanduan dengan Tiktok. Dia merasa bahwa kebahagiannya itu ada di dalamnya, sedangkan dunia nyata tidak memberikan kebahagiaan sama sekali kepadanya. Padahal dia hanya disuruh oleh ibunya untuk mencuci piring.

Ada sebuah penelitian di China yang menyebutkan bahwa Tiktok bukan hanya merusak mental anak, tapi juga merusak nalar anak. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menyajikan tayangan-tayangan yang penuh dengan sesuatu yang menyenangkan namun dalam durasi yang pendek. Pada akhirnya, anak-anak tidak terbiasa untuk menonton dan mencari informasi dalam durasi yang panjang.

Contohnya adalah ketika para siswa disuruh untuk membaca buku karena akan diadakan ujian, maka membaca satu lembar saja itu merupakan hal yang berat bagi mereka.

Ada sebuah penelitian di Indonesia yang menyebutkan bahwa para pelajar di Indonesia hanya bisa konsentrasi selama 15 menit, jika lebih dari itu maka dikategorikan sebagai siswa pintar dan jika kurang dari itu maka dia dikategorikan sebagai siswa yang medium atau bodoh.

Tingkat konsentrasi anak-anak sekarang yang telah kecanduan Tiktok adalah sekitar 5 menit atau bahkan kurang dari itu. Ketika mereka disuruh untuk mengerjakan soal matematika dengan durasi yang panjang, mereka akan langsung menyerah dan mengatakan bahwa dirinya tidak akan mempu untuk mengerjakannya. Sehingga fokus dan mentalnya menjadi gagal.

Hal inilah yang bisa merusak nalar dan menjadikan kemampuan siswa dalam belajar, membaca dan mencari informasi menjadi sangat kurang. Akhirnya nilai-nilai anak yang sering dan kecanduan nonton Tiktok menjadi sangat rendah.

Gati Rianto
Gati Rianto
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i Jember. Tertarik dalam bidang Ilmu Fiqh dan Muamalah Kontemporer.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.