Belakangan ini, berangkat dari sulitnya memahami konsep-konsep ilmu kalam, yang statusnya sebagai wadah kajian aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ada sejumlah kalangan yang menuding bahwa ilmu kalam itu identik dengan pemikiran-pemikiran rasional ala filsafat yunani yang sudah sangat jelas kesesatannya menurut para ulama terdahulu. Sehingga pada gilirannya, mereka menganggap bahwa ilmu kalam itu adalah saudara kembarnya ilmu filsafat, yaitu “anak haram” dari perselingkuhan antara ilmuwan islam dan yunani. Tentu saja tuduhan keji tersebut tidak proporsional dan ketidakfahaman terhadap metodologi para ulama ahli kalam dalam pemaparan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Jika kita cermati sekilas, memang benar metodologi pembahasan dalam kitab-kitab ilmu kalam seperti kitab al-Umm Barahain, Kifayat al Awam, al-Jawahir Kalamiyyah, dan lain-lain, itu identik dengan pendekatan rasional, dimana penjelasan materinya didasarkan pada argumen-argumen aqli. Dan jarang sekali memakai pendekatan tekstual (naqli), dimana penjelasan materinya berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan hadits. Sehingga menjadi landasan asumsi mereka bahwa ilmu kalam itu identik dengan ilmu filsafat.
Padahal, apabila difahami dengan benar, ilmu kalam itu berbeda dengan ilmu filsafat. Untuk menjernihkan persoalan ini, maka seyogyanya shohibul qolam akan mengupas satu per satu, mulai dari sejarahnya ilmu kalam, kesesatan filsafat, dan sampai pada pembahasan perbedaan keduanya. Menarik Kita ulas, yuk kita ulas sama-sama.
Kesesatan Ilmu Filsafat
Pertama-tama hendaknya para pembaca budiman untuk mengenal dulu apa itu filsafat. Supaya setelahnya akan mudah memahami pemaparan-pemaparan selanjutnya. Adapun Filsafat secara etimologi adalah diambil dari bahasa latin yaitu ‘Philosopiah’(philen= cinta dan sephos = kebijaksanaan). Sedangkan menurut terminologi adalah pembahasan segala hakikat sesuatu secara logika yang dapat mendatangkan kebijaksanaan.
Harus kita akui memang benar terdapat kesamaan antara ilmu kalam dan filsafat. Adalah persamaanya, yaitu metode dalam pemaparannnya yang sama-sama menggunakan pendekatan rasional.
Meskipun para mutakallimun (ulama ahli kalam) dalam pemaparannya mengenai ilmu tauhid dengan menggunakan metode rasional mempunyai alasan tertentu, seperti untuk mendebat musuh bubuyutannya pada saat itu yaitu kaum mu’tazilah, yang sudah kita ketahui bahwa mereka tidak menerima dalil dalil naqli yang tidak sesuai dengan akal mereka. Sehingga membuat sebagian ulama mengharamkan mempelajari ilmu kalam. Dikarnakan mereka masih ‘trauma’ dengan ilmu filsafat. Karena secara garis besar, kesesatan-kesesatan keyakinan para filsuf klasik tidak lepas dari :
1. Alam qodim
2. Para filsuf derajatnya lebih tinggi dari Nabi
3. Tidak percaya pada hari kebangkiran
4. Kenikmatan surga dan siksa neraka hanya bersifat rohani bukan fisik
Seperti yang deterangkan oleh Imam Ghozali rah.a dalam kitab Tahafuz Falasifah.
Adapun diantara kesesatan ilmu filsafat adalah mereka para filsuf selalu menggunakan akal sebagai tendensi mereka, sehingga ketika ada hal dalam agama yang tidak masuk akal akan mereka tolak. Berbeda halnya dengan para mutakallimun (ulama kalam) mereka memposisikan akal hanya sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama. Seperti yang akan kami ulas setelah ini.
Sejarah Ilmu Kalam
Adapun yang menjadi cikal-bikal munculnya ilmu kalam adalah merebaknya firqah-firqah sesat ditenga-tengah umat islam pada saat itu. Karena diantara tujuan lahirnya ilmu kalam sendiri ialah untuk memperkokoh akidah umat dan untuk mematahkan argumentasi yang nyeleneh ditengah-tengah firqah-firqah sesat itu. Sedangkan adanya semua kesesatan tersebut, bermula setelah khalifah ustman ra mati terbunuh.
Adapun Pada zaman khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh
Seperti pada th 30 H timbul faham syi’ah yang diapi-apikan oleh Abdullah bin saba’ yang beroposisi terhadap khalifah Ustman bin affan. Ia membangun gerakan anti sayyidina Utsman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantikannya dengan sayyidina Ali ra. Hingga terjadilah perselisihan2 ditengah-tengah umat islam kala itu.
Seperti terjadinya perang siffin, peperangan antara tentara khalifah Ali dengan tentara Mu’awiyah (gubernur mesir). Hingga pada th 37 H timbul pula firqah khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari sayyidina Ali ra dan sayyidina Mu’awwiyah ra. Hal ini pun berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuh aliran-aliran sempalan dalam islam
Kemudian pada zaman Bani Umayyah, masalah akidah menjadi perdebatan hangat dikalangan umat islam. Dizaman inilah munculnya aliran aliran sesat seperti Murjiah,Qodariyah,Jabariah,Mu’tazilah DLL
Hingga puncaknya pada zaman Bani Abassiyah ketika filsafat yunani dan sains banyak dikaji umat islam khususnya pada masa pemerintahan al Ma’mun. Masalah Tauhid pun mendapakan tantangan cukup berat. Kaum muslimin pada saat itu tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula.
Maka bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumen-argumen filosofis tersebut. Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat kontroversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya. Akhirnya lahirlah firqah Ahlussunnah Wal Jamaah dengan tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Manshur al Maturidi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum mu’tazilah. Adalah seorang ulama dari kota Basrah irak, bernama Abu Hasan al-Asy’ari (260 – 324H) yang terdidik langsung dalam alam fikiran mu’tazilah(dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazilah) tetapi ketika umur 40th beliau meninggalkan faham Mu’tazilahnya dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang anti Mu’tazilah.
Ilmu kalam al-Asy;ari itu, yang jg sering disebut faham asy’ariyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk ilmu kalam yang paling berpengaruh dalam islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan mayoritas kaum sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “Jalan Keselamatan” hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah menganut al-Asyari.
Seorang pemikir lain yang ilmu kalamnya mendapatkan pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al Maturidi (wafat di samarkand pada th 333H. al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham sunni, dan konsep ilmu kalamnya dipandang ‘Jalan Keselamatan”, bersama dengan konsep al-Asy’ari.
Perbedaan Ilmu Kalam dan Ilmu Filsafat
Sebelum membaca pembahasan inti yang agak berat ini, sebaiknya bagi para pembaca budiman untuk merebahkan badannya sejenak jika badannya sudah terasa kaku. Atau jika ada secangkir kopi disamping laptop, maka minumlah dulu seteguk-dua teguk untuk mensinkronkan kepala sejenak. Dengan harapan, ketika membaca pemaparan dibawah ini akan menangkap pemahaman baru dengan mudah.
Adapun perbedaan antara ilmu kalam dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Kaldun adalah mencakup metodologi (manhaj), karakter penelitian, objek dan tujuan.
Pertama, dari segi metodologi. Kalau diamati dengan seksama, para filsuf membicarakan eksistensi Allah, para Malaikat dan lain-lainnya hanya berlandaskan pada pemikiran dan rasio. Mereka menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip yang dibawa oleh para Nabi. Adapun menurut para ulama, akal adalah sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama, bukan sebagai fondasi atau titik tolak bagi keyakinan dalam beragama.
Kedua, dari segi objek. Kalau kita amati obyek yang menjadi materi kajian ilmu tauhid atau kalam adalah meliputi akidah-akidah yang diterima dari syari’ah. Dalam pandangan ahli kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari syari’ah itu dianggap sebagai sesuatu yang aksioma yang menjadi titik permulaan kajiannya. Hal ini berbeda dengan para filsuf, dimana mereka tidak memulai kajiannya dari hal-hal aksioma, karena dalam asumsi mereka kebenaran itu masih misterius dan belum diketahui secara pasti ketika kajian mereka dimulai.
Ketiga, dari segi tujuan. Bila kita perhatikan tujuan bidang studi ilmu kalam, itu memiliki tujuan yang konkrit, yaitu bertujuan memperkokoh dan memperkuat akidah. Hal ini berbeda dengan seorang filsuf yang memiliki tujuan yang belum jelas, yaitu mencari kebenaran seperti apapun bentuknya.
Setelah kita baca pemaparan-pemaparan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sangat jelas terjadi perbedaan antara ilmu kalam dan ilmu filsafat. Sehingga menghasilkan hukum yang berbeda pula diantara keduanya, yaitu ilmu kalam diperbolehkan oleh para ulama bahkan dikaji di lembaga lembaga pesantren dewasa ini. sedangkan bagi filsafat sudah barang tentu para ulama sudah mengharamkan untuk dipelajarinya. Dikarnakan ilmu kalam lahiir dirahim umat islam sedangkan filsafat lahir dari para filsuf yunani yang tidak mengenal kpd Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
1. I’tiqod Ahlussunnah Wal Jama’ah Karya KH Sirojuddin Abbas
2. Benarkah Mazhab Asy’ari itu Ahlussunnah Wal Jama’ah ? Karya Ustad Idrus Ramli.
3 Tahafuz Falasifah Karya Imam Ghazali