“Ganyang Malaysia!”
Kebanyakan orang Indonesia pernah mendengar kata-kata yang pernah digaungkan oleh Presiden Soekarno. Tapi, bagaimanakah kisah dibalik seruan tersebut?
Indonesia pernah terlibat konflik dengan Federasi Malaysia hingga berujung pada agresi militer selama tahun 1962-1966. Konflik ini dikarenakan Presiden Soekarno menganggap Federasi Malaya yang diberi kemerdekaan oleh Inggris hanya akan menjadi negara boneka di bawah kendali Inggris. Selain itu, ada pula kekhawatiran apabila di kawasan Malaya akan dibangun pangkalan Militer pihak barat di wilayah Asia Tenggara. Soekarno juga meragukan apabila kemerdekaan yang demikian adalah kehendak dari rakyat Malaysia.
Tidak hanya Indonesia, Filipina pun menentang kemerdekaan Malaysia karena terdapat sengketa wilayah Sabah yang mereka klaim merupakan wilayah Kesultanan Sulu yang disewa oleh pihak Inggris. Akan tetapi, Indonesia dan Filipina tidak serta merta memilih menggunakan militer sebagai solusinya. Kedua pihak tersebut memilih untuk menempuh jalur diplomasi terlebih dahulu lewat Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri yang dilaksanakan di Manila, Filipina pada tanggal 7-11 Juni 1963. Semua pihak,termasuk Malaysia sepakat untuk menerima pembentukan Negara Federasi Malaysia dengan syarat bahwa kemerdekaan di bawah payung federasi Malaysia terbukti sesuai kehendak rakyat. Proses penyelidikan ini dilaksanakan oleh PBB.
Akan tetapi, Malaysia justru memproklamasikan kemerdekaannya sebelum hasil penyelidikan diumumkan secara resmi oleh PBB. Presiden Soekarno dan pihak Indonesia pun marah dan menganggap bahwa pihak Malaysia telah melanggar kesepakatan sebelumnya. Indonesia merespon dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura.
Tidak hanya itu, gelombang demonstrasi besar-besaran juga turut mewarnai aksi penolakan ini hingga pembakaran Kedutaan Besar Inggris dan Malaysia diserang. Pihak Malaysia pun membalas dengan melakukan demonstrasi anti-Indonesia dan menyerang Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Para demonstran merobek foto Soekarno dan memaksa Perdana Menteri Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman, untuk menginjak-injak Lambang Garuda Pancasila.
Soekarno murka mengetahui peristiwa tersebut, ia kemudian secara resmi menyerukan, “Ganyang Malaysia!” dan mengeluarkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Ini artinya Soekarno sudah bertekad untuk memerangi dan menghancurkan Federasi Malaysia karena dianggap sebagai proyek Neo-kolonialisme Inggris yang berbahaya bagi revolusi Indonesia.
Perang pun terjadi antara gerilyawan Indonesia dengan Rejimen Askar Melayu DiRaja dari pihak Federasi Malaysia di perbatasan Sabah dan Serawak. Tidak hanya melalui perang, kerasnya protes Indonesia terhadap kemerdekaan Federasi Malaysia ini juga tergambarkan saat Soekarno menarik diri dari PBB karena Malaysia diterima sebagai anggota PBB pada 20 Januari 1965. Banyak pihak khawatir apabila konflik ini dapat mengarah pada perang dunia di wilayah Asis Tenggaha antara Federasi Malaysia, Sekutu Inggris, Australia dan Selandia baru dengan Indonesia yang saat itu dekat dengan pihak Cina dan Rusia.
Amerika yang mengkhawatirkan hal tersebut mengusahakan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Akan tetapi, upaya ini gagal dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai makna “gencatan senjata” bagi kedua belah pihak. Sementara itu, operasi-operasi militer Indonesia terhadap Malaysia juga menemui banyak kegagalan. Di titik ini, wakil Malaysia di sidang Dewan Keamanan PBB tangal 9 September 1964 menyatakan operasi militer yang dilakukan di Indonesia merupakan Agresi terang-terangan dan tidak dapat dimaafkan serta mengancam perdamaian dan keamanan kawasan Asia Tenggara. Bahkan PM Federasi Malaysia juga sempat menyebut Soekarno sebagai Hitler dari Indonesia.
Di sisi lain, beberapa petinggi militer mulai meragukan manfaat dan jalannya konflik dengan Federasi Malaysia terhadap Bangsa Indonesia sendiri. Karena banyak pasukan yang dikerahkan ke perbatsan Malaysia dan meninggalkan kondisi ibukota rentan. Menpangad Letjen A. Yani dan Mayjend S. Parman mengutus Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk mengupayakan diplomasi perdamaian dengan pihak Federasi Malaysia. Misi ini dilakukan secara rahasia agar tidak diketahui oleh Presiden Soekarno.
Dengan bantuan pebisnis Indonesia yang tinggal di luar negeri, tim yang dibentuk oleh Letjend. Soeharto sebagai Wakil Komando Ganyang Malaysia dan Letkol Ali Moertopo berhasil mengadakan kontak dengan pihak Malaysia. Pada awalnya, PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman meragukan komitmen Indonesia dalam pertemuan ini. Tetapi kemudian pihak Indonesia berhasil meyakinkan Tengku Abdul Rahman mengenai keseriusan pihak Indonesia dalam penyelesaian masalah secara damai.
Keberhasilan ini membuka jalan terjadinya perundingan resmi pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk menormalisasi hubungan kedua negara. Perundingan pertama dilakukan di Bangkok, Thailand, yang dianggap sebagai pihak netral dalam situasi ini. Setelah kedua pihak menyepakati hasil perundingan Bangkok, dilakukanlah penandatanganan Pakta Perdamaian “Jakarta Accord” pada tanggal 11 Agustus 1966.
Berikut isi kesepakatan Bangkok yang ditandatangani dalam “Jakarta Accord” :
- Kedua negara sepakat untuk memberikan rakyat Sabah dan Serawak kesempatan menegaskan suara mereka untuk bergabung dengan Federasi Malaysia melalui pemilu yang bebas dan demokratis
- Kedua negara sepakat untuk memulihkan hubungan diplomatik
- Kedua negara sepakat untuk menghentikan permusuhan
Demikianlah hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia terjalin cukup erat yang saling menguntungkan kedua negara hingga saat ini, meski gesekan di wilayah perbatasan masih terjadi. Demikianlah cara negara kita menghindari ancaman perang dunia di wilayah Asia Tenggara.
Dari sejarah Indonesia ini, kita dapat belajar bahwa :
- Apabila kita menduga apabila sebuah negara merupakan negara boneka dan mengkhawatirkan akan adanya ancaman pangkalan militer dari negara lain, maka agresi militer tidaklah menjadi satu-satunya solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak, maupun pihak-pihak yang lainnya.
- Bangsa yang gigih mempertahankan kemerdekaannya adalah bangsa yang sulit untuk dikalahkan, seperti halnya agresi militer Indonesia yang banyak menemui kegagalan
- Agresi hanya dilakukan pada area yang dianggap kebebasan rakyatnya terenggut untuk memilih nasibnya sendiri, bukan dengan menyerang seluruh wilayah negara tersebut dan melumpuhkan pemerintahannya.
- Agresi yang disebabkan dengan tuduhan adanya kehendak rakyat yang tidak diakomodasi oleh suatu negara, haruslah juga diakhiri dan tunduk pada suara rakyat negara tersebut.
- Diplomasi dan penghormatan terhadap hak rakyat untuk memilih nasibnya sendiri tetaplah menjadi prioritas di atas agresi militer itu sendiri. Kini, kita bisa melihat bahwa kenyataannya, Malaysia adalah bangsa yang menentukan nasibnya sendiri. Negara ini membentuk konstitusi dan hukum berdasarkan apa yang dikehendaki oleh rakyatnya, yang berbeda dengan Inggris.
Indonesia telah membuktikan komitmennya dalam menghormati kemerdekaan setiap bangsa untuk memilih nasibnya sendiri. Kekuatan militer bukanlah jawaban, diplomasi selalu menjadi cara utama bangsa Indonesia dalam menyelesaikan masalah.